Dua hari tak sadarkan diri setelah menjalani operasi besar, pria itu akhirnya siuman dan sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Sementara, gadis yang menemani sejak awal, duduk dengan raut tegang di samping tempat tidur. Dia menyembunyikan wajah cantiknya yang agak pucat, dari tatapan pria yang telah melewati masa-masa kritis setelah menjalani serangkaian tindakan medis.
“Siapa kau?” tanya pria itu dengan suaranya yang berat dan dalam, meski masih agak lemah. “Bagaimana aku bisa berada di sini?” tanyanya lagi.
Gadis berambut hitam itu perlahan mengangkat wajahnya. Dia memberanikan diri, melawan tatapan sepasang mata biru pria yang masih terlihat belum memiliki tenaga sepenuhnya. “Namaku Olivia Bellamy. Aku menemukanmu terdampar di pesisir pantai. Kau tak sadarkan diri dengan beberapa luka tembak. Namun, untungnya tim dokter di rumah sakit ini telah berhasil menyelamatkan nyawamu,” tutur gadis bernama Olivia tersebut. Nada bicaranya terdengar pelan dan juga lembut. Sepertinya gadis itu merupakan seseorang yang baik dan ramah.
“Di mana ini?” tanya pria itu lagi, tanpa mengalihkan tatapan dari Olivia yang mulai salah tingkah karenanya.
“Kita berada di Ajaccio,” jawab Olivia yang seketika membuat pria itu tersentak.
“Apa? Itu artinya aku berada di Pulau Corsica?” Pria itu menggumam pelan seperti pada dirinya. Sesuatu yang sulit dipercaya. Kembali terlintas dalam ingatannya, saat-saat terakhir ketika dia masih berada di Pulau Elba. Bayangan itu hadir dan tampak begitu jelas, ketika dirinya ditembak oleh wanita yang sangat dia cintai. “Tolong panggilkan perawat,” pinta pria itu dengan segera.
Olivia mengangguk. Dia beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu lalu menekan tombol yang berada di atas tempat tidur.
Tak berselang lama, seorang wanita berseragam perawat masuk ke ruangan. “Ada yang bisa dibantu, Tuan?” tanya perawat itu sopan.
“Aku ingin menghubungi seseorang. Bisakah Anda membantuku, Suster?” jawab pria itu dengan nada bicaranya yang terdengar cukup tegas, meskipun dia masih terlihat lemah.
“Oh, iya. Tentu,” jawab perawat itu.
“Bolehkah jika aku meminjam ponselmu? Aku berjanji akan memberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih,” ucap pria itu lagi, membuat si perawat tadi terlihat senang. Tanpa banyak bertanya, wanita berseragam putih tersebut segera menyodorkan benda yang akan dipinjamkannya, kepada pria yang sedang dalam masa pemulihan tersebut.
Tak berselang lama, si pria tampak menghubungi seseorang. “Pierre? Ini aku, Adriano D’Angelo. Datanglah ke rumah sakit pusat di Ajaccio hari ini juga. Jangan lupa bawakan aku pakaian.” Pria yang tiada lain adalah Adriano, kemudian memberitahu nomor kamar tempatnya dirawat. Setelah itu, dia menutup sambungan telepon dan mengembalikan ponsel milik perawat tadi. “Terima kasih, Suster. Ajudanku akan segera kemari. Tidak perlu khawatir. Aku tak akan mengingkari janji,” tutupnya.
Perawat itu tersenyum seraya mengangguk penuh semangat. “Setengah jam lagi aku akan kembali, karena waktunya Anda meminum obat. Sekarang, aku permisi dulu.” Perawat itu kemudian berlalu dari dalam kamar.
Sementara, Olivia hanya diam terpaku menatap pria yang sebagian tubuhnya dibalut perban, karena luka tembak yang dia alami. “Dari mana asalmu, Tuan?” tanya Olivia, masih dengan nada bicaranya yang pelan dan lembut.
“Monte Carlo,” jawab Adriano seraya melirik gadis berambut hitam yang masih tampak kebingungan. “Siapa yang bertanggung jawab atas operasi yang telah kujalani?” tanya Adriano.
“Aku,” jawab Olivia dengan segera. Namun, dengan segera gadis itu kembali terdiam. “Maaf, jika aku telah lancang. Akan tetapi, kau memerlukan penanganan dengan segera,” ucapnya kemudian.
“Terima kasih banyak, Nona Bellamy. Aku tak akan melupakan budi baikmu,” balas Adriano. Sesaat kemudian, pria bermata biru itu terdiam. Tatapannya tertuju ke luar jendela. Menerawang jauh entah ke mana. Siapa sangka, ternyata dirinya masih diberi kesempatan kedua untuk tetap berada di dunia.
Adriano begitu bersyukur, meskipun pada kenyataannya luka di dalam hati kian membesar. Di memejamkan mata dengan erat. Bayangan paras cantik wanita yang teramat dia cintai kembali hadir. Senyuman manis itu tak dapat dirinya singkirkan begitu saja dari ingatan.
“Mia …,” ucap pria itu pelan dan terdengar begitu lirih. Satu nama yang selalu mengisi hatinya, tetapi tak mampu untuk dia miliki. Sementara, Olivia lagi-lagi hanya terdiam memperhatikan pria yang saat itu sepertinya akan kembali tertidur.
Menjelang sore, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun, datang mengunjungi Adriano. Pria itu adalah Pierre Corbyn, ajudan setia Adriano yang baru tiba dari Monaco. Melihat keadaan sang majikan yang cukup memprihatinkan, pria bertubuh tinggi tersebut segera mendekat dengan raut wajah yang teramat khawatir. ”Tuan, bagaimana keadaan Anda?” tanyanya. “Siapa yang sudah melakukan hal seperti ini?” tanya pria itu lagi.
“Sudahlah, yang terpenting saat ini aku masih hidup,” jawab Adriano pelan. Sesekali, pria itu meringis saat merasakan luka bekas operasinya yang dirasa tak nyaman.
“Katakan, Tuan. Apakah Matteo de Luca yang melakukan ini terhadap Anda?” tanya Pierre lagi dengan sedikit memaksa. Loyalitasnya yang begitu tinggi terhadap sang majikan, tak dapat diragukan lagi. Hal itu membuat dirinya merasa tak terima, saat melihat kondisi sang ketua dari organisasi bernama Tigre Nero tersebut dalam kondisi seperti saat ini.
“Sudah dua hari kami mencari keberadaan Anda. Aku mendatangi Brescia dan juga Kastil Coradeo. Orang-orang yang kutemui, semuanya mengatakan bahwa Anda telah bertolak dari Pulau Elba malam hari setelah pesta. Menurutku itu sangat aneh, karena beberapa hari yang lalu saat Anda datang ke pulau, Anda memerintahkan pilot helikopter untuk langsung kembali ke Milan. Setelah itu, Anda tidak meminta pilot untuk menjemput saat pulang. Dengan kendaraan apa Anda bertolak dari Pulau Elba?” cecar Pierre yang tak putus asa demi mendapatkan jawaban yang memuaskan diri sang majikan.
Sementara Adriano sepertinya tak ingin menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Pria berparas rupawan tersebut kemudian mengalihkan tatapannya kepada Olivia, yang masih berdiri dan seakan tak tahu harus berbuat apa. Gadis itu terlihat bingung. “Bisakah kau tinggalkan kami sebentar, Nona?” Tatap mata Adriano, mengisyaratkan bahwa dirinya ingin membahas sesuatu yang pribadi dengan sang ajudan.
Olivia segera mengangguk. Tanpa banyak bicara, gadis berambut hitam itu melangkah keluar dari ruangan tersebut.
“Siapa gadis itu, Tuan?” tanya Pierre yang mengikuti kepergian Olivia dengan tatapannya.
“Dia yang membawaku ke rumah sakit ini. Siapkan sejumlah uang sebagai hadiah untuknya,” jawab Adriano. Sesekali, pria itu mendesis pelan seraya memejamkan kedua mata, demi menahan rasa sakit dari luka yang dia alami. “Apakah ada berita penting selama aku tidak ada?” tanyanya. Dalam keadaan seperti itu pun, Adriano masih sempat memikirkan organisasi dan juga bisnis.
“Ya, Tuan. Ada beberapa email yang masuk dari rekan bisnis Anda. Dalam bulan ini, Anda seharusnya menghadiri beberapa pertemuan penting. Akan tetapi, aku rasa itu hal yang tidak mungkin mengingat kondisi kesehatan ….”
“Jangan meremehkanku, Pierre! Aku tidak selemah itu. Aku justru ingin segera pergi dari sini,” sela Adriano.
“Maafkan aku, Tuan. Bukan itu maksudku. Tuan Sergei Redomir datang ke mansion beberapa hari yang lalu. Dia menanyakan keberadaan Anda. Aku pikir, Anda masih berada di Italia. Karena itulah aku benar-benar terkejut, ketika tiba-tiba Anda mengatakan tengah berada di Ajaccio. Katakan yang sebenarnya, Tuan. Aku akan mengerahkan anak buah pilihan kita untuk membalaskan semua yang telah mereka lakukan terhadap Anda.” Pierre mengepalkan tangannya dengan sempurna.
“Sudah kukatakan bahwa aku tak ingin membahasnya!” sentak Adriano dengan nada cukup tinggi. Namun, pada akhirnya dia harus meringis kesakitan.
Dengan segera Pierre mendekat. Rasa cemas akan keadaan tuannya, membuat pria itu terlihat tak karuan. “Tenanglah, Tuan. Jika memang itu kemauan Anda, maka aku akan menahan diri,” ucapnya mengalah.
“Lebih baik sekarang kau urus agar aku bisa segera kembali ke Monaco!” titah Adriano setelah rasa sakitnya mulai mereda.
“Ya. Akan tetapi, kondisi Anda ….” Pierre lagi-lagi tak sempat melanjutkan kata-katanya.
Adriano kembali menyela dengan cukup tegas, meskipun dengan penekanan yang tak terlalu tinggi seperti tadi. “Aku tidak mau tahu! Bagaimanapun caranya, aku ingin segera kembali ke Monaco!” ucap pria bermata biru itu, membuat sang ajudan tak mampu untuk membantahnya lagi.
Pierre mengangguk setuju. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Pria itu pun kemudian berpamitan untuk keluar sejenak. Dia hendak mengurus proses pemindahan Adriano ke Monaco.
Setelah Pierre keluar, Olivia kembali masuk. Gadis itu lagi-lagi menunjukkan sikapnya yang canggung. Dia lalu mendekat kepada Adriano yang tampak memejamkan mata. Entah Adriano benar-benar tertidur atau tidak. “Tuan, apakah Anda tidur?” tanya gadis berwajah pucat tadi terdengar ragu. Dia terus memperhatikan Adriano sambil berdiri di sisi tempat tidur.
“Ada apa?” tanya Adriano tanpa membuka matanya.
“Tuan yang tadi berbicara dengan Anda, mengatakan bahwa dia akan mengurus pemindahan Anda ke Monaco. Apakah itu benar?” tanya Olivia lagi.
“Ya,” jawab Adriano masih dengan matanya yang terpejam.
Suasana hening untuk sesaat. Tak terdengar Olivia bertanya apa-apa lagi. Sementara, Adriano pun seakan tak peduli. Pria itu terus memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara lembut Olivia memecah keheningan di dalam ruangan tersebut. “Maukah kau membawaku bersamamu ke Monaco?” tanyanya memberanikan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 375 Episodes
Comments
Peni Sayekti
kayaknya di novek ini bagiannta Andriano bahagia ya?
2023-03-27
1
Neviya
Thor apa Adriano jd jahat SM Mateo n Mia nantinya?
2022-06-22
3
Fitri Raisa
ayokk kak lanjut lagi hehehe...😁😍😍
2022-06-21
1