Pria Cacat itu....

Sontak Carra terkejut dan kembali berlari. Tanpa disadarinya, pria misterius tadi ikut berlari bersamanya, menarik lengannya untuk ikut bersamanya. Laju lari pria itu sangat kencang, iapun tidak dapat mengimbanginya.

Walaupun tidak mengenalnya, ia tetap berlari bersamanya, bahkan tidak ragu mengikutinya bersembunyi di sebuah tempat bekas kamar mandi umum yang kotor. Mereka berada di sana sampai kedua pria itu berlari melewati tempat itu. Dan mereka keluar, ketika keadaan benar-benar sudah aman.

Pria itu kembali membawanya berlari di tempat yang aman, kemudian meninggalkannya. Tapi, Carra mengejarnya dan mencegatnya. “Tunggu dulu! Aku belum sempat mengucapkan terima kasih padamu.”

Pria itu terdiam menatapnya sejenak. “Sudah, ‘kan? Kalau begitu aku pergi....”

“Belum selesai!” sela Carra menghentikan gerakan pria itu. “Aku belum mengucapkannya.” Ia mendeham. “Terima kasih sudah menolongku. Em ... siapa namamu?”

Pria itu malah mengacuhkanya dan kembali melangkah pergi. Bukan Carra namanya, jika gampang menyerah pada sesuatu yang dikehendakinya. Ia kembali mengejar dan mencegatnya. Berdiri di hadapannya, menatapnya tanpa ragu dan gentar, ketika pria itu menatap tajam padanya.

“Mau apa lagi?” tanya pria itu geram.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” jawab Carra lugas.

“Apa sepenting itu?”

“Tentu saja!” sahut Carra. “Aku perlu tahu nama dan wajah orang yang telah menolongku.”

“Tidak!” Dengan sangat tegas pria itu menjawabnya, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Carra.

“Tidak bagimu, tapi iya bagiku,” gumam Carra, kembali mengejarnya.

Tapi kali ini, Carra tidak mencegatnya, malah meraih tangan pria itu, dan mengenggamnya. Pria itu berhenti bergerak, tetapi tidak menoleh. Carra mengatakan akan tetap bersikeras menagih jawabannya dan melihat wajah pria itu.

Maka dengan sangat kesal, pria itu benar-benar memperlihatkan wajah yang tertutup ke hadapan Carra, berharap gadis itu ketakutan melihat wajahnya yang buruk dan menjijikkan akibat luka bakar yang dideritanya. Namun ternyata, dugaannya meleset. Ia malah memperhatikan wajahnya terus, merasa kasihan padanya. Tangannya akan memegang wajah pria itu, tapi ditepis olehnya.

“Sudah puas?!”

Pria itu menutup wajah dan kepalanya lagi, lalu pergi meninggalkan Carra yang masih mematung di sana menatap kepergiannya. Selang beberapa saat, Bu Yuni muncul, berjalan menghampirinya. Seperti yang dipikirkannya, wanita itu mencemaskannya. Dia mencari-cari keberadaannya, begitu menyadari kepergiannya secara tiba-tiba. Ia mencoba menenangkannya dengan mengatakan, bahwa ia hanya pergi berjalan-jalan sebentar.

Meskipun ganjil, Bu Yuni tetap mempercayainya, lalu mengajaknya pulang ke rumah. Ia mengangguk dan akan berbalik. Namun, sebuah selebaran yang menuliskan sebuah lowongan.pekerjaan, menghentikan gerakannya. Diambilnya kertas yang tertempel pada tiang listrik itu.dan membacanya.

“Ada apa, Nak Carra?” tanya Bu Yuni penasaran.

Carra tidak menjawabnya. Ia terdiam, tampak sedang berpikir dengan keras, kemudian keluarlah sebuah keputusan yang dipikirkannya secara matang. Lalu, pandangannya dialihkan pada Bu Yuni yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya. Baru ia menjawabnya, sedetik kemudian:

“Aku akan melamar pekerjaan ini.”

“Kamu yakin, mau melamar pekerjaan ini, Ra?” tanya seorang gadis yang duduk didekat Carra, setelah membaca selebaran yang tadi dibawanya.

Seorang gadis lainnya yang duduk di samping gadis tadi, merebut selebaran itu, membacanya sekejap, lalu meletakkannya di atas meja. “Kamu nggak cocok kerja beginian. Pantasnya kamu jadi model, Ra.”

Ibu Yuni yang datang dengan membawa sepiring pisang goreng yang masih panas, ikut nimbrung. “Memangnya kenapa? Yang penting kerjanya halal.”

“Tapi, Bu. Kecantikannya jadi mubazir kalau dia jadi pembantu?” jawab gadis tadi.

“Eh ... kamu tahu ndak, film jaman dulu? Judulnya “Inem pelayan seksi”. Nah, pembantu saja ada yang cantik, malah seksi lagi,” protes Bu Yuni yang malah mengundang tawa dari gadis-gadis penghuni kos yang sedang berkumpul di ruang tamu.

Terkecuali Gea. Tidak ada sahutan atau pun komentar dari gadis itu. Dia memang gadis yang terkenal pendiam. Namun, di balik diamnya, ia mengamati setiap topik dan arah pembicaraan mereka, barulah ia dapat memberi komentar yang lugas.

“Tidak ada salahnya,” katanya mengubah posisinya, mengambil pisang goreng yang menjadi incarannya sejak tadi, “menjadi asisten rumah tangga. Itu adalah pilihannya. Kenapa kalian yang repot?”

Semua orang menoleh padanya, tercengang mendengar komentar Gea yang seolah sangat tidak acuh pada Carra. Mereka memprotes sikap Gea itu. Tapi orang yang mendapat protes itu, asik mengunyah gorengannya dan tidak mendengarkan.

Kemudian, seorang gadis berpakaian seksi dengan riasan berani, terpekik setelah alamat rumah yang membutuhkan asisten rumah tangga itu. Dia memperlihatkannya pada ibu Yuni yang juga ingin tahu.

“Ini, 'kan ... sebaiknya kamu pikir-pikir lagi deh untuk bekerja di sana?” kata gadis itu.

Ibu Yuni mengambil kertas itu dan membaca alamat rumah yang tertera di sana. Sama halnya dengan gadis tadi, ekspresi ngeri yang ditunjukkan olehnya pada Carra. “Mika benar, Carra. Sebaiknya kamu pikirkan lagi. Aku dengar, pemilik rumah itu memiliki wajahnya

mengerikan.”

“Apa mengerikannya seperti hantu?” sahut Carra yang malah menganggapnya sebagai lelucon.

“Nggak! Ibu Yuni serius!” timpal gadis yang bernama Niken. “Wajahnya mengerikan dan menjijikan; ada banyak bekas luka bakar yang mengering, yang bukan cuma di wajah, malah hampir di sekujur badannya.”

Carra terdiam mendengarkan. Ciri-ciri orang yang seperti tadi, mengingatkannya pada pria misterius yang menolongnya tadi. Luka bakar yang dilihatnya hanya dibagian wajahnya, tapi kemungkinan bahwa pria itu adalah pemilik rumah yang sedang mereka bicarakan.

“Terus, pemiliknya juga cepat sekali marah. Sudah banyak orang yang bekerja di sana, tapi tidak bertahan lama karena tidak tahan dengan caci dan makian dari majikannya.” tambah Niken.

Sebuah realita yang cukup mengerikan dan menjadi pertimbangan utama dalam membuat keputusan. Tapi, entah mengapa, hasratnya untuk tetap bekerja di sana semakin besar. Cerita itu tidak serta merta membuat nyalinya menciut.

Sosok dengan wajah yang katanya mengerikan, tidak tampak menakutkan buatnya. Sebenarnya, ada rasa simpati pada pria tadi, membuatnya merasa kasihan padanya. Dan ia juga menyakini, di balik sifatnya yang pemarah, pasti ada sebuah alasan yang menjadi penyebabnya.

Semua orang melihat ke arahnya, menunggu keputusan darinya. Meskipun mereka menyarankannya untuk menolak, tapi mereka juga menyerahkan seluruh pertimbangan dan keputusannya. Dan tekadnya kini sudah sangat yakin untuk mengambil keputusan ini:

“Aku akan tetap melamar pekerjaan di sana.”

Semua orang terkejut, cemas, juga menyayangkan keputusan itu. Tapi mereka tidak bisa melakukan apa pun, karena keputusan itu diserahkan pada Carra. Pembicaraan ini langsung saja berakhir. Satu per satu mereka masuk ke kamar, tinggal Carra dan Gea. Ibu Yuni juga memutuskan untuk kembali ke kediamannya yang bersebelahan dengan kos-kosan ini.

Carra dan Gea masih berada di sana dalam keheningan yang berlangsung sejenak, karena Gea beranjak dari kursinya. Selang beberapa saat kemudian. Dia berdiri, menatap Carra. Kemudian, ia berkata:

“Kalau hatimu yakin, maka teruskanlah. Keinginan yang kuat, biasanya terdapat sebuah takdir yang tak terduga.”

Carra tertengun sejenak, lalu tersenyum. Bersamaan dengan itu, Gea pergi menuju kamarnya. Sementara itu, ia masih terduduk di sana sendirian sambil merenung.[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!