Carra mulai menikmati tempat tinggalnya. Tidak masalah walaupun tidak dapat makan mewah—hanya menikmati mie instan sebagai sarapan—dan tidur beralaskan tikar, semua itu tetap dijalaninya yang sudah terbiasa hidup mandiri dan sederhana saat di London.
Tapi, meskipun punya uang tabungan yang cukup untuk satu bulan ke depan, ia tetap harus mencari pekerjaan untuk meneruskan kehidupannya dan membantu melunasi utang ayahnya. Sayangnya, ijazahnya tertinggal di London, hanya ada ijazah SMU yang dapat diandalkan.
Ia menghela napas. Di tangannya memegang ijazah SMU miliknya. “Mana bisa kerja kantoran pakai ijazah SMU?” Koran yang ada di atas meja diambilnya, lalu dibacanya.
Bukan membaca berita, yang dicarinya adalah halaman lowongan pekerjaan yang ada di halaman tengah koran. Dicarinya lowongan kerja yang menurutnya cocok. Kebanyakan bidang yang dicari sesuai dengan keahliannya. Akan tetapi, perusahaan itu hanya menerima lulusan sarjana. Ia memang lulusan sarjana, tapi mana bisa melamar pekerjaan itu kalau ijazahnya tidak ada. Jadinya, ia mencari pekerjaan untuk lulusan SMU.
Ada sih, tapi pekerjaan rendahan seperti: pelayan restauran, kasir supermarket, dan pembantu. Semua pekerjaan itu sangat tidak cocok untuknya yang notabene adalah seorang putri dari keluarga kaya. Belum lagi gajinya yang kecil, sulit sekali mengumpulkan uang dalam waktu singkat.
Lelah melihat lowongan pekerjaan yang perlu banyak pertimbangan, Carra memutuskan untuk pergi ke ruang bawah yang sedang sepi. Siang itu, para penghuni kos sedang bekerja dan kembali pada sore hari. Saat ia sudah akan sampai di lantai bawah, Gea yang masih menikmati cuti kerjanya, duduk di ruang tamu dengan tangan yang penuh dengan makanan dan minuman dingin. Semua makanan itu dimakannya tanpa menyadari kehadirannya yang kemudian duduk agak menjauh darinya.
Carra mencoba tidak menatap ke arahnya. Ia tidak menduga, Gea menyodorkan dan menawarinya sebuah gorengan yang berbungkus kertas koran. Diterimanya makanan itu setelah tertengun sejenak. Tak lupa ia mengucapkan rasa terima kasihnya. Kebetulan gorengan itu ada satu, dan ia mengambil gorengan itu bersama dengan bungkusannya.
Walaupun hanya separuh, tetapi masih bisa terbaca olehnya sebuah lowongan pekerjaan yang tertulis di sana. Ia membacanya, lalu tak menghiraukannya karena kecewa dengan jenis pekerjaan yang ditawarkannya.
Lagi-lagi lowongan mencari pembantu. Kemampuan memasaknya dan membersihkan rumah dibilang tidak jelek. Namun yang ditakutkannya, orang yang harus dilayaninya dalam rumah itu. Ia tidak mau jika mengurusi satu keluarga yang sudah memiliki anak. Jika hanya mengurus pekerjaan rumah tidak jadi masalah buatnya, tapi ia menolak merangkap menjadi pengasuh anak. Ini bukan masalah ia tidak menyukai anak-anak, malah ia sangat senang dengan manusia kecil yang menggemaskan itu, tapi ia tidak mau direpotkan dengan pekerjaan lain selain menjadi pembantu. Jika ada orang khusus pengasuh, ia akan sangat senang menerima pekerjaan itu.
Sejak tadi, Carra tidak sadar telah diperhatikan oleh Gea. Gadis itu memandangnya beberapa saat, sebelum menyedot minuman es berperisa coklat. Diletakkannya minuman itu, lalu kembali mengunyah makanan manis berbentuk lonjong yang dilapisi dengan gula merah.
“Kamu lulusan apa?” tanyanya tanpa melihat ke arahnya. Carra tertengun, berpikir sejenak, lalu bertanya untuk memastikan kalau pertanyaan itu untuknya. Kepastian itu dijawab oleh Gea. Ia akan menjawabnya, tapi terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat; karena menurutnya tidak mungkin menjawab jujur, jika ia lulusan sarjana.
Meskipun Gea tidak akan menanyainya lebih lanjut, ia tetap harus berhati-hati pada siapa pun, apalagi jika sampai tahu mengenai jati dirinya yang sebenarnya.
“Aku hanya lulusan SMU, Gea,”
“Em ... memangnya pekerjaan apa yang kamu inginkan?” tanya Gea, berpikir sejenak.
“Kalau bisa kerja di kantoran.”
“Untuk lulusan SMU.” Gea mengubah posisi duduknya dengan memajukan tubuhnya, “paling jadi OB atau Cleaning service.”
Carra tersenyum getir sambil mengelus lengan kanannya. Pekerjaan tidak lebih baik dari pembantu, karena melayani banyak orang, dan gajinya pun juga kecil. Tapi mau dikata, pekerjaan yang bisa diterima oleh ijazahnya hanya pekerjaan rendahan yang gajinya hanya cukup untuk sebulan dan sulit untuk ditabung. Ia berpikir, mungkin lebih baik menjadi kasir supermarket daripada menjadi asisten rumah tangga.
...****************...
Brian memasuki dapur setelah memberikan beberapa berkas untuk Darrel sahabatnya itu. Ia mencari keberadaan bibi Lani yang sedang membuat secangkir teh. Ia bermaksud mengagetkan wanita itu dengan sambil berjalan berjingkat, dihampirinya Bibi Lani, lalu menepuk pundaknya sambil berseru. Kejahilannya berhasil membuat bibi Lani terkejut dan latah. Ia menertawakan wanita itu yang sedang mengeluhkan kejahilannya yang selalu dilakukannya.
“Aduh, Tuan Brian. Suka banget ngagetin Bibi.”
Brian berhenti tertawa. “Habisnya, Bibi lucu kalau lagi kaget.”
“Untung aja saya tidak jantungan. Teh ini juga hampir saja tumpah,” kata Bibi Lani menunjukkan secangkir teh yang sedang dipegangnya.
Brian kembali menjahilinya dengan mengambil teh itu dari tangan Bibi Lani. “Buat aku ya, Bi?" Lalu ia meminumnya tanpa mengacuhkan Bibi Lani yang akan memprotesnya “Terima kasih ya, Bibi Lani yang cantik.”
“Sama-sama, Tuan. Tapi tehnya bukan buat Tuan Brian.”
“Buat Darrel, kan? Ya, sudah, tinggal bikin aja lagi, Bi,” jawab Brian enteng.
Bibi Lani menyerah dengan kelakuan Brian. Pria itu memang sengaja berbuat jahil untuk menggodanya. Apa boleh buat, ia berjalan ke rak piring, mengambil cangkir dan piring tatakannya, kemudian kembali membuatkan teh untuk Darrel. Di saat itu, Brian yang sedang termenung seusai menyeruput tehnya, mengajaknya mengobrolkan soal Darrel yang kembali membuat pembantunya keluar. Dia juga mengeluhkan keletihannya mencari pembantu baru.
“Yah, mau diapakan, Tuan. Wong tuan Darrelnya kayak gitu?” timpal Bibi Lani pasrah.
“Semua itu tidak akan terjadi, jika ia tidak mengalami hal itu,” gumam Brian setelah termenung sejenak. “Bagimana kalau kita carikan dia istri?” gagasnya tiba-tiba.
Bibi Lani cukup terkejut mendengar ide Brian yang menurutnya tidak akan berhasil. Namun, ia tidak mengatakan ketidaksetujuannya itu. Ia memilih pergi keluar dapur untuk mengantarkan teh Darrel yang sejak baru selesai dibuatnya. Tapi, langkahnya terhenti saat ia sudah di depan pintu masuk dapur. Ia berbalik, menatap Brian dan berkata:
“Luka di kulit akan sembuh dengan obat. Cinta. Hanya itulah yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka di hati tuan Darrel.” Kemudian bibi Lani melanjutkan langkahnya keluar dapur meninggalkan Brian yang masih termenung di sana.
"Hah? Apa?" gumam Brian heran.
...****************...
Minggu ke Minggu berlalu begitu saja. Sudah dua pekan Carra tinggal dengan aman di kota itu, namun sebagai pengangguran. Selama itu, ia sudah mencoba mencari pekerjaan yang sesuai dengan ijazah yang dimilikinya.
Tapi, tidak ada satu pun panggilan dari tempatnya melamar pekerjaan. Uang yang ia punya hampir menipis, walaupun sebisa mungkin dihemat olehnya. Hampir menyerah rasanya. Mencari pekerjaan di sini tidak semudah saat ia di London. Itu juga atas rekomendasi dosen, makanya ia bisa bekerja di perusahaan bonafit yang ada di Ibukota negara yang dijuluki Three Lions.
Sekarang—entah antara termenung, tapi matanya melihat ke layar tv—duduk di ruang tamu yang sepi pagi itu. Tidak ada siapa pun selain dia. Gea juga sudah masuk kerja sekitar seminggu yang lalu.
Berkali-kali menghela napas. Wajahnya muram, sinar cerahnya seolah menghilang, layu seperti bunga yang jarang disiram, padahal sudah mandi. Acara tv pagi itu adalah infotainment, sedang mengulas seorang artis yang gemar melakukan kontroversi untuk mendongak popularitas.
Namun, acara yang digemari oleh wanita sepertinya, tidak dapat menghilangkan rasa suntuknya. Tidak ada kegiatan lain, selain berbaring di kamar. Akan tetapi, ia tidak biasa tidur setelah mandi pagi, walaupun itu hari libur. Berpikir untuk berjalan-jalan di luar. Memang tidak buruk, tapi kemana? Arah jalan kota ini masih asing baginya.
Rasa bosannya terselamatkan oleh ajakan ibu Yuni yang kebetulan datang ke sini. Ia tahu bahwa Carra belum juga mendapatkan pekerjaan, dan pasti merasa bosan tinggal sendirian di tempat kos.
Bu Yuni kebetulan lewat di ruang tamu, akan menuju pintu keluar. Ia tertegun melihat Carra sendirian di sana sambil menonton TV, tapi wajahnya muram.
Maka, didekatinya gadis itu. "Carra, ikut ibu, yuk! Daripada bengong sendirian di rumah," ajaknya, wanita itu tahu bahwa Carra tak kunjung mendapat pekerjaan.
Benar juga! Wajah Carra langsung berbinar dan sigap beranjak. "Ya udah, aku ikut. Ibu tunggu di luar, ya. Aku mau ganti baju dulu," katanya semangat.
Gegas ia berlari ke lantai atas setelah bu Yuni mengangguk. Ia mencari baju yang pantas agar bisa pergi keluar, meskipun hanya ke pasar. Dan ia sudah siap dengan memakai kaus lengan pendek dan celana pendek selutut.
Rutinitas pasar di pagi hari selalu ramai. Pengunjung yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang ingin membeli macam-macam bahan makanan untuk diolah menjadi makanan untuk keluarganya. Ada juga yang membeli makanan untuk dijual sebagai makanan jadi di.warung makan yang lokasinya dekat pasar.
Mereka berada di tengah-tengah para pengunjung pasar yang sedang membeli bahan yang mereka butuhkan di toko yang ada di setiap sudut. Ini adalah pertama kalinya Carra ke tempat ini. Ia tercengang melihat keramaian dan tempat pasar tradisional yang bisa dibilang jauh dari kata “nyaman” baginya. Tempat itu becek dan kotor. Walaupun begitu, tempat ini sama lengkapnya dengan supermarket.
Perbedaannya, harga di sini bisa dinego dan juga murah. Oleh sebab itu, mayoritas pembeli adalah masyarakat kelas menengah bawah. Tapi, pengalaman berbelanja ke pasar tradisional ini, cukup menyenangkan. Melihat kegiatan masyarakat berstatus sosial rendah yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Mengenal orang-orang pasar yang dijumpainya, dan mengobrol bersama mereka selama berbelanja. Kegiatan mereka hampir berakhir, sebelum ibu Yuni membeli satu bahan makanan lagi. Ibu Yuni ke toko lain, sementara Carra melihat barang yang menarik perhatiannya.
Di toko tempatnya berdiri, terdapat macam-macam aksesoris murah yang lucu. Ia melihat-lihat koleksi kalung yang berdekatan dengan tempat koleksi gelang. Sebuah kalung berliontin unik, menarik minatnya. Ia menanyakan harganya, bermaksud untuk membelinya.
Kira-kira sepuluh meter dari tempatnya, terlihat dua orang pria sedang bertanya sambil memperlihatkan selembar foto. Mereka juga menyebutkan nama gadis yang ada digambar itu. Sejenak, mereka tidak merasa puas dengan jawaban orang yang mereka tanya, karena orang itu tidak pernah melihatnya. Namun, orang itu menunjuk pada Carra beberapa saat kemudian. Carra yang baru saja keluar dari toko itu terkejut.
Dan sekonyong-konyong, mereka langsung mengejar Carra yang telah lari lebih dulu. Aksi kejar-kejaran itu tidak seimbang. Mereka hampir saja berhasil mendekatinya yang larinya tidak secepat mereka. Carra hampir saja kehabisan napas, tapi ia tetap berusaha untuk menjauh dari kejaran mereka. Karena tidak sanggup lagi berlari, lantas ia mencari tempat bersembunyi di toko-toko yang kosong, untuk menghindari mereka sejenak.
Ia menemukan sebuah ruko yang gelap dan pintunya tertutup sedikit. Agar tidak ketahuan, ia bersembunyi di antara kaleng drum besar yang kosong.
Persembunyiannya berhasil mengelabuhi mereka. Kedua pria itu tidak bisa menemukannya, lalu kembali mencarinya ke tempat lain. Dan sementara itu, Carra dapat bernapas lega, dan beristirahat sementara waktu sebelum kembali menemui ibu Yuni, yang pasti sangat mengkhawatirkannya karena tiba-tiba saja menghilang.
Sayangnya, ia kembali ditemukan oleh mereka, ketika sedang akan berjalan ke tempat tadi. Mereka kembali.mengejarnya, hingga keluar dari area pasar.
Carra hanya bisa berlari di jalan yang asing, berharap bisa menemukan tempat untuk bersembunyi. Jalan yang ditempuhnya adalah jalan bergang sempit yang sepi. Terdengar suara kedua orang itu memanggilnya, dan itu membuatnya semakin panik dan lelah.
Di ujung gang, napasnya hampir saja habis. Tanpa sengaja, ia menabrak pria berbaju hitam, memakai penutup mulut dan penutup kepala yang ada dijaket hitamnya. Pandangan mereka saling beradu, tapi berhenti ketika mendengar suara teriakan kedua pria itu.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments