Tuan Sanchez, ayahnya Carra, kalang kabut mendengar kedua bodyguard-nya gagal membawa kembali putrinya. Tak henti-hentinya ia menyalahkan mereka, membuang kertas-kertas yang ada di meja dengan kesal.
Tidak hanya itu, ia menjadi semakin stres, begitu memikirkan reaksi Perdo jika mengetahui kaburnya Carra. Pria itu akan memakinya, atau mungkin melakukan hal yang lebih kejam lagi dari kemurkaannya.
Kini, ia tidak tahu harus melakukan apalagi, hanya terus melakukan pencarian dengan menugaskan dua bodyguard yang tidak dikenali oleh Carra. Pencarian akan dimulai, dengan menyelidiki tujuan kereta yang dinaiki oleh Carra.
Kedua bodyguard yang mengejarnya mengatakan nama kereta itu; dan segera Tuan Sanchez memerintahkan pesuruh lainnya untuk menyelidik soal kereta itu. Tak hanya itu, sebuah informasi ingin didapatkannya dari Bibi Ina, yang diduga membantu Carra kabur—menurut informasi dari satpam yang berjaga semalam.
Tanpa merasa sedikitpun takut, Bibi Ina menghadap Tuan Sanchez begitu namanya dipanggil. Sambil terus menunduk untuk menghormati majikannya, ia mendengarkan pertanyaan Tuan Sanchez yang langsung diajukannya.
“Demi kebahagiaan Nona Carra, kalau pun saya tahu, tetap tidak akan saya beritahu,” jawabnya yang terdengar suaranya bergetar.
“Jangan keras kepala! Tahu dari mana kamu soal kebahagiaan anak saya?” kata Tuan Sanchez murka.
“Dia menangis, makanannya juga tidak disentuh. Apa Tuan tidak merasakan kesedihannya?”
“Kamu tidak tahu apa-apa, Bi! Baiklah, jika kamu tidak mau memberitahu. Dengan terpaksa, kamu saya PECAT!” Tuan Sanchez menggebrak mejanya sampai bibi Ina terlonjak kaget.
Meskipun sedih, bibi Ina harus menerima keputusan ini, sebab sudah tahu kalau ini adalah resiko yang harus diterimanya. Tanpa mengatakan apa pun, perlahan ia berbalik, lalu berjalan meninggalkan ruangan Tuan Sanchez sambil menangis.
Ia melangkah ke kamarnya untuk membereskan semua barang-barangnya sebelum keluar dari rumah majikannya yang sudah mempekerjakannya sebelum Carra lahir. Namun, ia tidak menyesal telah membantu Carra kabur, yang malah membuatnya harus dipecat.
Tas besar lusuh telah diisi oleh beberapa helai pakaiannya. Diresleting tas itu, ditatapnya dengan mata yang telah dibasahi oleh air mata. Pikirannya dipenuhi oleh kenangan-kenangan yang terjadi selama bekerja di sini. Kebaikan-kebaikan yang diterima oleh keluarga ini, termasuk kenangan bersama dengan Carra, sepertinya sulit untuk dihapus.
Dan kini, ia harus keluar dari rumah ini. Semua itu karena demi kebahagiaan Carra yang disayanginya.
“Aku harap, Nona baik-baik saja di sana dan selalu di bawah perlindungan Tuhan. Bibi tidak akan berhenti mendo’akan keselamatan nona,” harapnya.
...****************...
Kereta berhenti di stasiun Pasarturi pada pagi harinya. Carra masih saja terlelap di dalam kereta. Kalau saja petugas kereta tidak membangunkannya, pelariannya akan sia-sia karena kereta akan membawanya kembali ke Jakarta. Carra segera bangun, mengambil ranselnya yang ada di atas, kemudian keluar dari dalam kereta. Berdiri di sana, menatap sekitar stasiun yang ramai sambil tersenyum.
Takjub, karena telah berada di kota ini. Matanya mengarah ke sebelah kanan, mencari pintu keluar stasiun ini. Berjalan-jalan, sambil mencari sosok Gea. Menurutnya, mungkin saja Gea bisa membantunya mencarikan tempat tinggal, atau kost-kostan. Tapi mencari seseorang di tempat ramai tidaklah mudah, apalagi di tempat yang asing baginya.
Berbeda di London. Sudah 6 tahun ia di sana, dan sudah banyak jalan yang ditempuh dan dihapalnya. Sayangnya, ia tidak bisa memilih tempat itu karena posisinya pasti mudah dilacak oleh ayahnya. Dan uang yang dimilikinya juga tidaklah begitu banyak, apalagi setelah ayahnya jarang mengirimkannya uang. Kabur di sekitar wilayah Indonesia adalah langkah yang sesuai dengan uang yang dimilikinya.
Matanya melihat-lihat ke segala arah di luar stasiun. Memutarkan tubuhnya, hingga tanpa sengaja menabrak seseorang. Suara ‘aduhan’ orang itu terdengar familiar. Saat itu juga, ia menemukan sosok Gea yang nampak kesal menatapnya. Ia menyengir sungkan karena merasa bersalah telah menabraknya. Karena Gea langsung pergi tanpa mengatakan apa pun, ia mengikuti dan menyusulnya.
“Hei, aku boleh ikut denganmu, 'kan?” tanya Carra sesopan mungkin.
“Nggak,” jawab Gea tanpa menoleh padanya dan terus berjalan.
“Ayolah..., kita kan sama-sama cewek. Masa kamu tega biarin aku sendirian di tempat asing?” bujuk Carra memelas.
“Memangnya, siapa yang suruh kamu ke sini?”
“Ya....” Carra tercenung sejenak sebelum menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Tapi Gea menyelanya duluan sebelum Carra kembali melanjutkan. “Kamu itu buronan? Atau ...” Ia melihat penampilan Carra dari atas ke bawah. “Kabur dari rumah?”
Carra mendelik, terkejut mendengar dugaan Gea yang hampir mendekati. Ia terdiam lama menatapnya tanpa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya. Kemudian ia berpikir cukup lama untuk menjawab Gea yang kembali berjalan menuju halte bis.
Carra terkekeh. “Bisa dibilang, kabur dari jeratan orang-orang jahat,”
Entah tidak mendengar atau memang sengaja mengacuhkannya, Gea tidak menjawab dan masuk ke dalam bis yang datang bertepatan dengan cerita Carra. Namun, lagi-lagi Carra mengikutinya masuk ke dalam bis. Sempat merasa kesal, tapi dibiarkannya saja, bahkan sampai Carra duduk di sampingnya lagi.
Malas mendengar ocehan Carra yang mungkin akan kembali dilanjutkannya, ia memasang headset pada kedua telinganya, memutar musik cukup keras, memandang ke arah jalan kota Surabaya yang cukup ramai.
Mengerti dengan sikap Gea, Carra juga memutuskan untuk diam. Mungkin ia hanya akan mengikutinya sampai ke rumahnya, lalu mencari kontrakan, yang syukur-syukur, bisa langsung ditempatinya. Karena merasa tidak enak pada Gea, ia memilih pindah tempat duduk di sampingnya, duduk di dekat jendela bis agar dapat melihat pemandangan.
Ia tersenyum, lalu merasa sedih, sebab meninggalkan ayahnya seperti ini. Ia khawatir, ayahnya pasti akan mendapat masalah begitu Pedro tahu mengenai kepergiannya. Ayahnya bisa disalahkan atas kejadian ini, dan mungkin saja, pria itu memperlakukannya dengan kasar. Ia menutup matanya, meringis membayangkan hal itu. Ia termenung sedih, sampai air matanya keluar. Lalu menatap hiruk-pikuk kota yang sama sekali tidak dapat mengalihkan kesedihannya.
Gea menoleh padanya, menatapnya cukup lama tanpa diketahui olehnya.
...****************...
Seorang pelayan berdiri di depan sebuah kamar yang tertutup sambil memegang sebuah nampan berisi makanan. Sudah cukup lama dia berdiri di sana, dengan keragu-raguan, atau mungkin lebih terlihat seperti ketakutan.
Wajah dan tangannya berkeringat, tangannya bergetar. Kadang, kakinya hendak melangkah pergi dari tempat itu, namun ragu lagi-lagi menghadangnya.
Hari ke 7 dia bekerja rumah mewah ini. Dan seperti biasanya, pagi ini pelayan itu mengantarkan makanan untuk Sang majikan. Pada hari pertama, ia melakukannya seperti biasa, hanya saja pada hari kedua dan seterusnya, dia merasa enggan untuk melakukannya.
Jika tidak mengingat dia sedang membutuhkan uang, apalagi gajinya sangat besar, maka ia terpaksa melakukannya. Kali ini, ia berpikir dan berdiri di sana lebih lama dari kemarin. Takut tuannya semakin marah, maka perlahan ia masuk ke dalam kamar yang sinarnya temaram, bahkan hampir gelap. Berseru pelan meminta izin, menyusuri kamar sambil berusaha melihat ke segala arah yang cukup sulit untuk dilihat karena kurangnya cahaya.
Kamarnya kosong, tidak ada Tuannya di manapun. Entah mungkin sedang berada di kamar mandi. Tapi, itu cukup melegakan bagi pelayan itu, sehingga tidak perlu bertemu dengannya. Sayangnya, kelegaannya itu tidak berlangsung lama.
Kursi yang ada di belakang meja kerja majikannya berputar, bertepatan dengan diletakkannya nampan makanan di meja. Tampaklah seorang pria berpakaian hitam, wajahnya tidak terlihat jelas, tapi mampu membuat pelayan itu bergidik ngeri melihatnya.
Matanya yang tajam berkilat, menatap sangar pada si pelayan yang sudah merasa ketakutan. Kemudian dia melihat ke arah nampan makanan yang ada di atas meja. Suaranya yang berat dan serak, serasa merinding ketika mendengarnya.
“Apa ini? Lagi-lagi kamu membawa benda ini?” Tunjuknya pada sebuah botol obat berwarna putih. Benda itu diambilnya, berdiri menatap si pelayan yang tidak sanggup melihatnya. “Sudah saya bilang, saya tidak mau memakan obat-obatan apa pun!” Obat itu dilemparkannya ke arah samping pelayan itu, membentur dinding, hingga isinya berantakan.
Pelayan itu terkejut dan bergidik. Lalu kepalanya ditundukkan, terdengar isakan kecil darinya. “Maaf, Tuan....”
“Apa itu yang hanya bisa kamu katakan? Dasar pelayan tidak berguna!”
Lagi, setiap pagi. Nampan itu dibalikan hingga seluruh isinya tumpah, piring dan gelas pecah, berserakan di lantai. Semua itu terdengar sampai luar kamar. Si pelayan hanya bisa menangis ketakutan melihat kelakuan Tuannya yang pemarah.
Selama pelayan itu bekerja, selalu seperti itu kejadiannya setiap mengantarkan makanan pada pagi, siang dan malam. Hanya karena menolak minum obat, dialah yang menjadi sasaran kemarahannya. Kini dirasanya, sudah cukup baginya bekerja di sini. Tidak peduli dengan gaji besar yang akan didapatkannya, ia tidak mau lagi mendapat tekanan psikis dari majikannya.
“Bereskan ini! Dan suruh bibi Lani membawakan aku makanan!” perintah majikannya. “Cepat!”
Pelayan itu mengangguk, lalu mengambil nampan yang sebelumnya membereskan piring dan gelas yang pecah. Sambil terisak, dia pergi meninggalkan ruangan itu. Ketika di luar, ia berpapasan dengan seorang pria tampan dengan senyuman menawan, dan gayanya yang modis. Ia berdiri di hadapan pria itu sambil menunduk dan berkata:
“Tuan, saya sudah tidak sanggup bekerja di sini. Saya ingin berhenti dari pekerjaan ini.”
Sepertinya pria itu sudah mengerti. Ia menghela napas, lalu menjawab, “Baiklah. Gaji kamu nanti akan diberikan oleh Bibi Lani.”
Pelayan itu mengangguk. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.”
Pria itu mengizinkannya, dan pelayan itu langsung pergi dari hadapannya. Ia menatap kepergian si pelayan, menggelengkan kepala, mengherankan sikap sahabatnya yang memperlakukan seluruh pelayan yang bekerja di sini dengan buruk, kecuali Bibi Lani.
Kemudian ia masuk ke dalam kamar sahabatnya, meletakkan seluruh dokumen yang.dibawanya di atas meja kerja. Menyadari kedatangannya, sahabatnya itu hanya mengalihkan pandangannya sejenak, lalu melihat kembali pada dokumen yang sejak tadi dibacanya. Dokumen itu ditandatanganinya, kemudian membaca dokumen yang dibawa oleh pria tadi.
“Hanya ini?” tanyanya. “Bagaimana kerjasama dengan perusahaan Jepang itu?”
“Mereka menyetujuinya,” jawab pria tadi, yang bernama Brian.
“Kudengar, pemiliknya seorang janda muda yang cantik.”
Brian terkekeh, menggoda sahabatnya. “Oh, jadi seleramu sudah berubah?”
“Aku tidak membicarakan tentang aku, tapi kamu.”
“Aku?” tunjuk Brian pada diri sendiri. “Oh, maaf. Dia memang cantik, tapi aku lebih tertarik pada wanita yang masih perawan.”
“Oh, ya? Sejak kapan? Bukannya kamu sering bermain dengan wanita-wanita yang sudah tidak suci?”
“Sudah hampir 5 tahun,” tukas Brian tersinggung, “aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku.”
Sahabatnya itu terdiam menatapnya sejenak. “Terima kasih, kamu telah melakukannya.”
Brian tertengun sejenak, lalu tersenyum renyah. “Jadi gimana? Apa kita perlu mencari pelayan lagi?” Dialihkan topik pembicaraan yang sebenarnya sejak tadi ingin dibahasnya.
“Bukannya kita punya pelayan?”
Brian mendengus. “Gara-gara kamu pelayan itu pergi," debatnya geram.
“Bukannya itu bagus? Kita tidak butuh pelayan yang kerjanya tidak becus.”
Sebenarnya Brian cukup kesal mendengarnya, tetapi sebisa mungkin ditahannya. Dihelanya napas perlahan, kemudian ia menjawab, “Dalam bulan ini, kita sudah 5 kali ganti pelayan. Aku lelah melihat mereka keluar dari kamarmu sambil terisak. Belum lagi harus menyuruh orang menempelkan iklan lowongan kerja yang tadinya sudah dicopot.”
Sahabatnya itu menoleh padanya, menatapnya tak acuh. “Tapi aku tidak.”
“Ngeselin!” gumam Brian kesal, memalingkan wajahnya ke arah lain. “Terserah padamu sajalah! Dokumen itu segera kamu tandatangani, ada banyak pekerjaan lain yang harus aku lakukan.”
Kekesalan Brian, malah ditertawakan oleh sahabatnya itu secara diam-diam, sambil menandatangani dokumen terakhir yang dibawa oleh Brian.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments