Pembantu Cantik Dan Majikan Buruk Rupa

Pembantu Cantik Dan Majikan Buruk Rupa

Pelarian

Sinar matahari telah tergantikan oleh bulan. Sinarnya sudah cukup menerangi gelapnya langit malam. Namun, tidak dapat menghapus kesedihan seorang gadis yang dikurung oleh ayahnya selama 2 hari di dalam kamarnya. Ia meratap, memandangi sang bulan, memanggil ibunya yang telah berpulang sambil terus berdo’a. Mengharapkan sebuah keajaiban yang dapat mengubah pikiran ayahnya, atau meloloskan diri dari marabahaya yang mengancam masa depannya.

Kebahagiaanya terenggut oleh ayahnya yang sangat disayanginya. Teganya sang ayah menggadaikannya sebagai jaminan atas utangnya kepada seorang renternir yang kelicikannya telah turun-temurun dari kedua orangtuanya. Si renternir itu memang umurnya tidak jauh lebih tua darinya, tetapi karena sifatnya yang jahat dan kejam yang sangat tidak disukainya.

Ayahnya tahu hal itu; bahkan pernah mengatakan, kalau beliau sama sekali tidak akan menyerahkannya pada lelaki seperti itu. Namun kini, dia menelan air liurnya sendiri, mengingkari janjinya.

Terkadang ia menyesal, telah menuruti keinginan ayahnya untuk kembali ke Indonesia. Ia luluh pada bujukan ayahnya yang katanya sangat merindukannya karena sudah hampir 3 tahun tidak bertemu sejak terakhir kepulangannya pada Natal saat itu.

Tapi pikirnya, tidak ada salahnya kembali ke tanah air untuk beberapa hari sebelum kembali bekerja di salah satu perusahaan bonafit yang ada di London. Hanya saja, keputusannya itu sangatlah salah. Ia malah dipaksa menyetujui perjodohan dengan si renternir yang bernama Pedro.

Ia mendesah. Hanya dapat pasrah menyesalinya. Seorang pria setengah baya, muncul di balik pintu kamarnya yang telah dibukanya. Matanya menatap sendu, sedih melihat anaknya yang sedang berdiri membelakanginya.

Entah karena tidak tahu dia datang, atau karena masih marah padanya, gadis itu masih saja tidak menoleh kepadanya. Setelah menutup pintu, perlahan ia berjalan menghampiri putrinya, berhenti dan berdiri dengan jarak yang cukup jauh, karena merasakan kemarahan yang masih dirasakan oleh anaknya itu.

“Papa tahu, kamu masih marah pada Papa. Tapi, kamu harus mengerti alasan Papa melakukan semua itu,” katanya, suaranya terdengar sedikit gemetar. “Maafkan Papa ... Papa tidak punya pilihan lain.”

Sebenarnya, gadis itu merasa sangat kasihan padanya. Tapi ia sangat kesal padanya yang dengan teganya menggadaikannya selayaknya barang pada renternir licik itu. Matanya dipejamkan, air matanya menitik membasahi pipinya, tangannya dikepalkan, lalu berbalik menghadapnya dengan tatapan nanar.

“Papa sudah tahu siapa dia dan keluarganya. Tapi kenapa Papa berutang padanya?”

“Tidak ada pilihan lain, Nak. utang papa sudah terlalu banyak, sedangkan perusahaan tidak mengalami kemajuan sama sekali,” jawab ayahnya penuh emosional. Kemudian menatapnya seperti meminta permohonan agar dimengerti. “Papa terpaksa melakukan ini.”

Gadis itu memalingkan wajahnya. Hatinya hancur. Air matanya tidak mampu ditahannya lagi, sehingga mengalir seperti aliran sungai jernih di pipinya.

“Tapi maafkan aku, Pa. Aku tetap tidak akan menerima perjodohan ini!” jawabnya tegas, lalu kembali berbalik sambil menangis yang sedemikian rupanya disembunyikan isakannya.

Ayahnya nampaknya sangat mengerti, tapi tidak dapat memberikan jawaban atas keinginan keras anaknya. Ia hanya dapat menerima kemarahan anaknya dengan pasrah dan sedih.

Kemudian, ia berbalik, keluar dari ruangan itu dengan langkah tertatih, setelah itu mengunci pintunya kembali dari luar. Suara pintu yang tertutup, terdengar semakin menyakitkan bagi gadis yang bernama Carra Sanchez.

Matanya tertutup, bersamaan dengan turunnya air mata yang semakin tidak dapat dibendung. Ia kembali termenung, menatap ke luar jendela, lalu menghapus air matanya. Tekadnya sudah bulat, jika perjodohan ini tidak dapat dibatalkan.

Ia akan pergi dari tempat ini, walaupun nampak mustahil karena penjagaan super ketat yang diberlakukan oleh ayahnya. Sepertinya, Tuhan terlalu menyayanginya, sehingga ia mengutus seorang pelayan yang sudah lama bekerja di sana, sebagai perantara untuk melaksanakan rencananya.

Pelayan tua itu sangat menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri, setelah sang ibu meninggalkannya sejak kecil. Kasih sayang itu menimbulkan rasa iba begitu melihat penderitaannya.

Maka, malam itu, pelayan yang sering dipanggil “Bibi Ina”, datang ke kamarnya, membawa nampan berisi makanan sebagai alasan untuk menemui gadis itu. Begitu melihat kondisinya, Bibi Ina tidak dapat menyembunyikan wajah sedihnya. Nampan itu diletakkan di atas meja, kemudian menghampirinya.

“Apa Nona dalam keadaan baik?” tanyanya terdengar cemas.

“Tidak begitu baik, Bi,” jawab Carra sedih. “Papa tetap tidak mau membatalkan perjodohan itu.”

“Lalu, apa Nona terpaksa menerima Tuan Pedro?”

“Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi!” kata Carra dengan berapi-api. “Kalau aku bisa, aku mencoba untuk kabur sebelum pertunangan itu terjadi.”

“Jadi, Nona sudah punya rencana?” tanya bibi Ina dengan senyum penuh harap.

“Iya. Asal Bibi mau membantuku.”

Tentu saja, demi kebahagiaan Nonanya, bibi Ina akan melakukan apa pun. Jikalau harus mendapat hukuman atau dipecat sekali pun, tidak jadi masalah. Sebisa mungkin, ia akan membantunya. Maka, pada malam ini, Carra langsung memberitahukan rencananya; dan rencana ini akan berlangsung tengah malam nanti, setelah semua orang sudah tertidur pulas.

Kunci pagar telah diberikan oleh bibi Ina, setelah kembali ke kamarnya–alih-alih ingin mengambil nampan makanan bekas Carra. Dan rencanapun segera dimulai. Carra telah mempersiapkan diri, tepat pada waktu tengah malam. Bermodalkan sprai ranjang sebagai tali untuk turun dari lantai atas lewat jendela kamarnya, kemudian mengendap-endap melalui semak-semak dan pohon, menuju pintu pagar yang sedang dijaga oleh seorang satpam.

Pelariannya hampir saja ketahuan, ketika seorang satpam sedang memeriksa keadaan sekitar rumah. Tubuhnya hampir saja terkena sorotan lampu senter, jika saja tidak cepat-cepat bersembunyi di baik semak.

Carra menghela napas lega. Saat keadaan mulai aman, dan satpam itu sudah tidak ada di sekitar tempat itu, ia keluar dari tempat persembunyiannya, kembali mengendap-endap menuju pintu pagar yang hampir dicapainya. Sebelumnya, ia memeriksa keadaan di sekitar tempat itu, melongok ke dalam pos satpam yang sedang tidak dijaga.

Namun, keberuntungannya hampir saja hilang, karena dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya, ketika pintu pagar akan dibukanya dengan kunci yang diberikan oleh Bibi Ina.

Karena saking terkejutnya, kunci itu tidak sengaja dijatuhkannya. Ia mematung, tidak berani menoleh ke belakang sebab takut jika orang itu bukan Bibi Ina.

“Siapa kamu?” tanya satpam itu dengan suara tegas dan galak. Carra hanya diam. Mengigit bibir bawahnya, matanya terpejam karena ketakutan.

Karena tidak adanya respon, satpam itu kembali menanyakan hal sama. Yang paling mengejutkan, satpam itu menduga kalau orang yang sedang ditanyanya adalah anak majikannya. Ketakutan Carra semakin menjadi—satpam itu hampir saja membuatnya berbalik menghadapnya dengan agak memaksa.

Hal itu dapat dicegah, dengan datangnya bibi Ina untuk membantu Carra. Bibi Ina berseru menegur satpam itu dengan nada marah bercampur logat Jawa yang menjadi ciri khasnya. Tangan si satpam ditepisnya dari pundak Carra, memelototkan matanya seolah sedang menunjukkan kemarahannya.

“Kurang ajar! Beraninya kamu pegang-pegang ponakanku, ya?” omelnya sembari terus memukul satpam itu. “Aku tahu kamu genit, tapi jangan sama ponakanku!”

“Aduh, Bik. Siapa yang godain ponakanmu? Mana aku tahu kalau dia ponakanmu?” jawab satpam itu sembari mengelus tangannya yang terkena pukulan. “Habisnya, gelagatnya mencurigakan.”

“Oalah! Sampean pikir, ponakanku ini maling, ******* gitu?” Bibi Ina kembali memukul satpam itu, diam-diam memberikan isyarat pada Carra. “Sembarangan kamu, ya?!”

Carra mengerti. Tanpa menghilangkan kesempatan itu, kembali ia mengambil kuncinya, membuka pintu pagar dan langsung berlari meninggalkan rumah itu menuju halte bis yang cukup jauh jaraknya, sementara bibi Ina mengalihkan perhatian satpam itu.

Keadaan jalanan malam itu tidak terlalu lengang, banyak kendaraan yang melaju di sana. Hanya saja, tidak ada bis yang melintas. Takut para pesuruh ayahnya mengejar, ia memutuskan untuk menaiki taksi. Mujur, ia mendapatkan taksi, ketika para pria berbadan kekar yang sering berjaga di kamarnya berlari menghampirinya. Buru-buru ia menaiki taksi itu, lantas menyuruh supirnya untuk segera melajukan mobilnya secepat mungkin, sampai akhirnya tidak terkejar.

Kini ia dapat bernapas dengan lega sampai ke tujuannya, yaitu stasiun kereta. Ia berencana untuk pergi keluar kota untuk sementara waktu. Tapi ia masih bingung, kota apa yang cocok sebagai tempat persembunyiannya.

Ia memilih berbagai kota di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia berdiri cukup lama di dekat peta jalur kereta Jawa yang ada di dekat pembelian tiket. Seorang gadis tomboy yang tengah tiba gilirannya untuk membeli tiket, memberikan ide untuknya. Gadis tomboy itu membeli tiket kereta dengan tujuan ke Surabaya. Senyum cerahnya merekah. Seketika ia masuk ke dalam antrean, menunggu tiba gilirannya memesan tiket.

“Satu tiket ke Surabaya,” katanya bersemangat pada petugas tiket.

Petugas itu memproses tiketnya, lalu memberikannya setelah Carra membayarnya. Senang karena telah mendapatkan tiket, tanpa buang waktu lagi ia langsung bergegas mencari keretanya yang ada di jalur sebelah selatan. Beberapa menit lagi, keretanya akan berangkat, maka ia segera masuk ke dalam kereta, mencari tempat duduk. Namun, baru akan masuk ke dalam kereta, terdengar suara teriakan yang memanggil namanya. Ia menoleh.

Matanya mendelik saat mengetahui kedua bodyguard itu berhasil menyusulnya. Kepanikan melanda, tatkala salah satu bodyguard berhasil lolos dari hadangan petugas, lalu mengejarnya.

Ia segera berlari, berusaha menghindari kejaran si bodyguard pelari cepat. Mereka berlari di sekitar stasiun, memasuki kereta yang akan ditumpangi olehnya. Pengejaran itu membuat heboh seisi penumpang kereta. Tak banyak juga orang-orang yang ada di dalam kereta yang marah dan mengeluh pada mereka berdua yang tidak sengaja ditabraknya.

Napas Carra hampir habis. Laju larinya semakin melambat karena tak kuat lagi berlari. Namun, ia tidak mau pria kekar itu berhasil menangkapnya. Tanpa mempedulikan kakinya yang mulai sakit, sebisa mungkin ia terus berusaha. Lagi, Tuhan menolongnya lewat seorang gadis tomboy yang ditemuinya tadi. Kaki bodyguard itu disenggol oleh gadis tomboy itu hingga jatuh terjungkal. Menyadari hal itu, ia menoleh ke belakang, melihat pria itu terjatuh.

“Satu menit lagi, kereta akan berangkat,” kata gadis itu memperingatkannya.

Ia mengangguk, lalu kembali berlari sebab si bodyguard hampir terbangun. Ia berlari menyusuri gerbong, mengecoh bodyguard itu dengan berlari ke luar kereta. “Satu menit lagi”, begitulah kata gadis tomboy yang terlintas dalam otaknya. Pintu kereta hampir tertutup; dan ketika bodyguard itu lengah, ia langsung masuk ke dalam kereta.

Setelahnya, pintu kereta tertutup, tidak dapat memberikan kesempatan pada siapa pun untuk masuk, termasuk bodyguard tadi. Dan keretapun melaju.

Carra tersenyum menang, melihat bodyguard itu terpaku lalu bergumam kesal karena tidak dapat menangkapnya. Kemudian ia berjalan mencari tempat duduk. Ia berhenti di tempat gadis tomboy duduk, setelah melihatnya. Ia tersenyum, mengucapakan “terima kasih” padanya. Dengan gayanya yang cuek, gadis tomboy itu menjawabnya.

“Em..., boleh nggak aku duduk di sini?” tanya Carra ragu-ragu.

“Duduk aja.”

Dengan hati senang, ia duduk di sebelahnya. Tempat duduknya dekat dengan jendela, sehingga ia dapat melihat pemandangan. Ia sangat senang melihat pemandangan; dalam keheningan karena teman perjalanannya tidak mengajaknya bicara. Akhirnya, ia duluan yang

mengawali topik pembicaraan dengan memperkenalkan diri, karena sebenarnya ia ingin tahu juga nama gadis itu.

“Hai, namaku Carra,” katanya sembari mengulurkan tangan. “Boleh aku tahu siapa nama kamu?”

Gadis tomboy itu menoleh malas padanya. “Gea,”

Carra sedikit kecewa karena uluran tangannya tidak diterima. Ditariknya kembali uluran tangannya, kembali tersenyum setelah memahami sifat lawan bicaranya.

“Ini perjalananku yang pertama ke Surabaya. Jadi, mau nggak kamu menunjukkan beberapa tempat di sekitar Surabaya.”

Sepertinya Gea tampak tidak senang. “Kamu pikir aku ini pemandu wisata?” jawabnya ketus.

Carra beringsut mundur. Mulutnya terkatup, tidak mau berbicara lagi dengannya. Rasa kantuknya telah datang, apalagi waktu menunjukkan pukul satu malam. Ia tertidur sambil tersenyum, karena sudah berhasil terhindar dari kejaran mereka. Memang dirasa belum 100% aman, tapi setidaknya mereka tidak bisa menemukannya dalam waktu yang cukup lama.

Rencananya, ia akan mencari tempat tinggal, sekaligus pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya selama pelariannya di kota itu.[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!