Bis yang membawa Carra dan Gea berhenti di sebuah jalan dekat perkampungan yang cukup ramai. Beberapa meter dari halte bis, mereka memasuki perkampungan itu. Clara mengikuti Gea, yang entah sadar atau tidak, telah dibuntuti olehnya. Gea baru berhenti dan berbalik menghadapnya saat mereka tengah berada di sebuah gang.
Tasnya diletakkan di aspal, melipat kedua tangannya di dada, lalu berbalik. Carra terkesiap, spontan beringsut mundur, apalagi ketika Gea menatapnya dengan pandangan tidak suka.
“Berhentilah membuntutiku!" seru Gea marah.
Mata Carra membulat menatap Gea. Dengan polosnya ia menjawab, “Hanya kamu saja yang aku kenal. Tapi jika begitu maumu, aku akan berjalan ke arah yang lain. Terima kasih sudah menunjukkan jalannya.”
Gea menghela napas agak kencang sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Baiklah. Ikut aku!” Ia mengangkat kembali barang-barangnya, kemudian berjalan di depan Carra.
Gea membawanya ke sebuah tempat yang banyak sekali pintu. Di sanalah tempat tinggal Gea selama ini, bersama gadis-gadis lainnya yang menyewa tempat ini. Mereka masuk ke dalam tempat itu. Gea langsung disambut oleh seorang gadis berpakaian cukup seksi dan cantik.
Setelah menyapanya, gadis itu melirik ke arah Carra yang sedang melihat-lihat di sekitar tempat itu dan menanyainya. Pertanyaan gadis itu tidak di jawab, malah Gea menanyakan keberadaan ibu pemilik kos yang biasanya meminta uang sewa bulan ini.
Wanita yang ditanyakannya sedang menuruni tangga sehabis menagih uang sewa penghuni lantai atas. Ia tersenyum senang melihat kedatangan Gea, dan langsung menghampirinya.
“Pas sekali kamu datang, Ge. Hampir saja aku menyewakan kamarmu pada orang lain,” katanya bermaksud mengajaknya bercanda
“Ibu bercandanya kelewatan banget! Kan sudah saya bilang kalau saya bakal balik lagi ke sini.” Gea menjawabnya dengan nada serius.
Pemilik kos-kosan yang biasa dipanggil “Bu Yuni” ini berhenti tertawa. Pandangannya dialihkan pada Carra yang baru disadarinya, sedang berdiri di belakang Gea. Kemudian ia kembali menatap ke arah Gea dan bertanya:
“Siapa gadis ayu ini, Ge? Teman kamu?”
Tapi Gea tidak menjawabnya. “Ada kamar kosong buat dia, Bu?” Mendengar pertanyaan itu, dengan sigap dan semangat, Bu Yuni mengiyakan. Diajaknya Carra ke kamar yang kosong yang ada, sementara itu Gea langsung masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang ditunjukkan, berada di lantai atas.
Bu Yuni menjelaskan, bahwa kamar itu bekas seorang gadis yang baru saja melangsungkan pernikahannya. Carra mendengarkan perkataan wanita itu dengan penuh perhatian. Logat Jawa Bu Yuni yang sangat medok tidak menjadi masalah baginya, sebab ia sudah menpelajari
bahasa itu dari bibi Ina; dan ia menjawabnya dengan Bahasa Indonesia.
Namun, pelarian yang cukup melelahkan ini, membuatnya harus menghentikan ocehan Bu Yuni. Ia langsung menanyakan harga sewa, dan segera membayarnya tanpa bernegosiasi.
Karena kamar itu kosong, dan Carra tidak memiliki peralatan tidur, Bu Yuni memberikan sebuah tikar, bantal dan selimut untuknya. Carra menerimanya dengan senang hati, dan ia langsung tertidur setelah menggelar tikarnya. Tapi, matanya belum terpejam.
Matanya menatap langit-langit kamar yang lampunya tidak begitu terang. Pikirannya mengarah pada ayahnya yang mungkin saja sedang mendapatkan kesulitan. Dan firasatnya memang benar. Sebentar lagi, ayahnya akan mendapatkan sebuah masalah yang sangat besar.
Pelayannya mengabarkan, bahwa Pedro telah kembali dari luar negri, dan akan segera ke rumahnya untuk menemui Carra. Sontak saja, ia langsung panik, tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghadapi pria kejam itu.
Pria kejam yang bernama Pedro telah berada di luar. Mobilnya memasuki pekarangan rumah keluarga Sanchez dan berhenti di depan pintu masuk rumah. Ia keluar sambil tersenyum. Di sampingnya terdapat dua bodyguard; yang satu berbadan kurus, satunya lagi berbadan cukup kekar—hanya saja terlihat bodoh. Mereka memasuki rumah yang pintunya telah dibuka oleh pelayan yang wajahnya terlihat memucat. Tuan Sanchez, keluar dari kamar, dan langsung menyambutnya.
“Apa kabar, Tuan Sanchez? Saya harap Anda dan putrimu dalam keadaan baik,” katanya dengan sombong ia menoleh ke belakang; pengawalnya yang bertubuh kekar membawa hadiah yang akan diberikan untuk Carra. “Mana Carra, Tuan Sanchez? Aku ingin bertemu dengannya.”
Ayahnya Carra panik dan bingung. Tangannya yang berkeringat, diremasnya. Mulutnya seolah terkunci dengan rapat, sehingga tidak mampu menjelaskannya pada Pedro yang sejak tadi menunggu jawabannya. Bahkan ketika pertanyaan Pedro kembali diulang, ia masih tidak dapat menjawabnya.
Kemarahan Pedro mulai tersulut. Menyadari ada suatu kesalahan yang sudah terjadi. Dan ini pasti berkaitan dengan Carra. Maka, tanpa meminta izin dari pemilik rumah, Pedro langsung berjalan ke atas, ke kamar Carra.
Ternyata kamar itu tidak dijaga oleh siapa pun, padahal ia sudah menyuruh Tuan Sanchez untuk menjaga ketat kamar Carra. Ia memandang lelaki tua itu dengan sangar. Kemudian melanjutkan kembali langkahnya sampai di depan kamar Carra, dan langsung membuka pintunya.
Kosong, tidak ada siapa pun. Wanita yang sangat diinginkannya tidak ada di kamar ini. Dialihkan pandangannya ke arah Tuan Sanchez yang telah mati ketakutan melihat sepasang mata kejam miliknya. Kerah baju Tuan Sancez digenggamnya, lalu mendorong tubuh rentanya hingga ke dinding dengan cukup kencang. Tidak terlihat rasa kasihan pun darinya, meskipun pria tua itu telah mengeluh kesakitan dan meminta maaf padanya.
“Dasar lelaki tua lemah dan bodoh! Menjaganya saja tidak bisa!” bentaknya.
“Maafkan saya, Tuan Pedro. Saya sudah memaksimalkan penjagaan super ketat. Hanya saja ...,” jawab Tuan Sanchez yang kemudian terputus karena Pedro menyelanya dengan suara yang sangat kencang.
“Hanya saja apa?!”
“Carra ... bisa meloloskan diri dan kabur keluar kota, Tuan....”
Pedro melepaskan Tuan Sanchez. Kemarahannya semakin membuatnya beringas, hingga barang yang ada di kamar itu diberantakan olehnya, seperti telah terjadi angin topan yang sangat parah. Tidak ada yang mampu meredakan emosinya, kecuali dirinya sendiri. Ia akan benar-benar tenang, jika telah puas meluapkan kemarahannya.
Walaupun sudah merasa cukup meluapkan kemarahannya itu, ia tetap merasa geram. Kemudian, dipanggilnya kedua pengawalnya itu. “Kalian! Cepat cari tahu di mana keberadaan Carra!” perintahnya, “temukan, dan bawa dia ke sini!”
“Baik, Bos!” jawab kedua pengawal itu kompak, lalu pergi bersama dengan Pedro yang terlebih dahulu keluar kamar.
Saat Pedro keluar kamar itu, matanya menatap tajam dan marah pada Tuan Sanchez. Pria paruh baya itu sontak bergidik, matanya mendelik, merasa sangat ketakutan melebihi rasa ngeri melihat hantu.
Meskipun pria itu telah melewatinya, perasaan itu dan kecemasan masih tetap ada hingga menjelang malam. Yang ia khawatirkan adalah Carra. Pria kejam itu bisa melakukan hal yang buruk, jika Carra mencoba melawannya. Kini, ia tidak lagi menginginkan anaknya itu ditemukan oleh Pedro.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments