“ Besok adalah hari terakhirku, Mir, tapi entah kenapa rasanya seperti setahun.” Jia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
“ Rencanamu itu malah menyusahkanmu’ kan. Kalau saja kamu mau mendengarkanku untuk memakai uangku, pasti tidak akan jadi begini.”
“ Aku cuma ingin mandiri.”
“ Mandiri versimu itu sudah menjerumuskan. "
Jia mendengus. " Berurusan dengannya membuat kepalaku pusing. Aku tidak ingin berurusan lagi dengan pria itu.”
“ Mana mungkin kamu berurusan lagi dengannya.”
“ Ha? Aku di pecat?” Jia langsung bangkit dari tempat tidur.
“ Bukan di pecat, dia mau check out besok. Kata om pekerjaannya sudah selesai lebih cepat, makanya besok dia keluar.”
“ Jadi, besok aku tidak perlu datang?”
“ Aku akan menemanimu bertemu dengan om sekaligus memberikan upahmu. Semuanya berjalan sesuai keinginan.”
Jia lega. Akhirnya dia tidak harus bertemu dengan Erlan. Pria itu juga tidak memberikan komplain kepada om Rahmat. Dia menepati ucapannya dan itu membuat Jia salut.
Sebenarnya Jia tidak terlalu menikmati liburannya kali ini. Ada saja masalah yang datang, mungkin inilah konsekuensi yang harus di bayarnya karena tidak mendengarkan ibunya. Jia pun menyadari itu, makanya Ia langsung menghubungi ibunya dan meminta maaf. Selain Jia bercerita bagaimana hari-harinya di Bali, pada akhirnya ibunya memberitahukan kalau kakeknya jatuh sakit.
Mendengar kakek kesayangannya sakit, Jia tak kuasa menahan tangis. Sejak kecil, kakek dan neneknyalah yang lebih sering bersamanya di saat ayah dan ibunya mencari nafkah. Tanpa berpikir panjang Jia memutuskan untuk pulang hari ini juga, walaupun tiket yang sudah dibelinya akan hangus.
Jia tak ingin menyesal seperti dulu saat neneknya meninggal. Waktu itu, ia tak bisa pulang karena sedang menjalani program pertukaran pelajar di Australia. Sedih rasanya hanya bisa mengantar kepergian sang nenek melalui video call. Daripada terjadi sesuatu pada kakeknya saat ia tak ada, Jia harus merelakan liburannya kali ini.
“ Maaf, Mir, sepertinya aku tidak bisa menemui om Rahmat besok. Tolong sampaikan permintaan maafku.”
“ Tidak perlu khawatir, om Rahmat pasti mengerti. Nanti aku transfer saja upahmu.”
“ Iya, terima kasih.”
“ Aku akan membantumu untuk packing. Kamu urus tiket pesawatmu.”
“ Sudah, untung saja masih ada kursi untukku sore ini.”
“ Dari mana kamu mendapatkan uang untuk membeli tiket?”
“ Mama sudah membuka blokir semua akses keuanganku. Makanya, aku bisa membeli tiket.”
“ Sekarang kamu jadi Jia Nayyara bukan Jana lagi.” Namira terkekeh, Jia melemparkan pakaiannya ke arah Namira, namun ia langsung menangkis.
“ Paling tidak hidupku kembali normal lagi setelah pulang, walaupun sama saja harus kembali ke rutinitas lagi.”
“ Sama saja denganku, setelah kamu pulang, kemungkinan dua hari lagi aku juga menyusul pulang. Rutinitas kuliah di saat kritis untuk anak tahun terakhir seperti kita.”
“ Benar sekali.” Jia mengaminkan pernyataan sahabatnya itu.
Tepat pukul 5 sore, Namira mengantar Jia ke bandara. Jia akan berangkat pukul 7 malam. Jarak antara vila dan bandara tidak terlalu memakan waktu banyak, jadi Jia tidak akan ketinggalan pesawat.
“ Kabari aku saat kamu sampai di rumah,” ujar Namira memeluk Jia.
“ Ok,” jawabnya. “ Kamu juga hati-hati saat pulang ke rumah.”
“ Iya,” sahut Namira. “ Pergilah. Pesawatmu akan segera berangkat.”
Jia mengangguk, lalu memeluk Namira lagi.
“ Bye.” Jia melambaikan tangannya, lalu berbalik melangkahkan kakinya kembali.
Burung besi itu membawa Jia kembali ke kota tempatnya menjalani kisah kehidupan. Sesampainya di sana, Jia di jemput seorang sopir dan mengantarkannya ke kediaman sang kakek.
Pria setengah baya yang sudah berambut putih itu terbaring di atas ranjang di temani keluarga besarnya. Jia langsung memeluk kakeknya itu sambil menangis segugukkan.
“ Kenapa Jia menangis? Kakek baik-baik saja,” ucap sang kakek menenangkan cucu kesayangannya ini sambil mengelus lembut rambutnya.
“ Kakek pasti kesakitan. Maafkan Jia, Kek.”
“ Jia salah apa sampai minta maaf,” tanyanya, “ Kakek cuma perlu istirahat. Dokter juga sudah merawat kakek tadi.”
“ Benarkah?” Jia menatap kakeknya dengan air mata yang masih mengalir. “ Kakek jangan sakit-sakit lagi. Jia takut.”
“ Kakek sudah tua, Jia, kalau sakit itu wajar.”
Jia menggelengkan kepala. “ Jia yang akan menjaga kakek. Jia tinggal di sini saja.”
“ Tidak boleh,” tolak kakek. Ekspresi wajah Jia langsung berubah. “ Jia akan menikah suatu hari nanti. Setelah itu tinggal bersama suami, tidak boleh tinggal di sini.”
“ Jia masih muda, Kek. Kuliah saja belum selesai. Menikah itu masih jauh dari pikiran Jia. Bisnis kecil yang Jia bangun juga masih harus di perhatikan. Menikah masih di urutan nomor sekian.”
“ Menikah sambil kuliah dan berbisnis juga bisa di lakukan bersama, tidak ada halangan. Kakek sudah rindu suara anak kecil di rumah ini, Ji.”
“ Ah, Kakek. Tapi, Jia masih mau bermanja sama Kakek. Mas Bagas saja yang menikah, Jia masih lama.”
“ Jodoh, lahir dan maut itu, tidak ada satu pun manusia yang tahu. Kalau kata Tuhan besok kamu menikah, kamu bisa bilang apa.”
“ Kakek..,” rengek Jia.
Kakek tersenyum kecil. “ Ya sudah, kakek tidak bahas lagi,” ujarnya. “ Kakek mau istirahat. Sana temui mama kamu.”
“ Iya, Kek” jawabnya. “ Sus, tolong jaga Kakek, ya.”
“ Iya, Mbak Jia.”
“ Terima kasih.”
Di ruang tamu sudah berkumpul beberapa keluarganya. Om, tante, sepupu serta keponakannya memenuhi ruangan itu. Sebenarnya kakek Jia tidak tinggal sendiri semenjak nenek meninggal. Ada om Hamid, anak kedua dari keluarga ayahnya. Ayah Jia sendiri merupakan anak ketiga dari lima saudara.
“ Mama.” Jia memeluk ibunya dari belakang dengan manja. “ Jia, kangen Mama.”
“ Dasar anak nakal,” celetuk ibunya yang membuat Jia tertawa. “ Bagaimana liburanmu di sana? Menyenangkan?” Sindir ibunya.
“ Menyenangkan sekali Mamaku sayang,” jawab Jia agak kesal. Jia mendengus. “ Jia sepertinya kena kualat karena Mama. Masa iya liburan di Bali jadi kena musibah.”
“ Makanya kalau orang tua bicara di dengarkan, jadi kualat kamu' kan.”
“ Iya, Mama sayang,” ucapnya mengecup pipi ibunya.
“ Pertemuan kemarin yang tidak jadi itu akan diadakan di hari minggu nanti, jadi kamu jangan coba-coba membuat ulah lagi. Kamu dengar itu!”
“ Iya, Ma.”
“ Untung saja kemarin itu mereka sedang ada kegiatan, kalau tidak, Mama bisa malu karena kamu yang kabur dari rumah.”
“ Memangnya kehadiran Jia penting, Ma?”
“ Pentinglah. Mama mau kenalkan kamu dengan anaknya tante Rima.”
“ Duh, apa-apaan ini, Ma? Jangan bilang Mama punya niat untuk menjodohkan Jia dengan anaknya tante Rima.”
“ Pintar.” Ia mencolek hidung sang anak. “ Tidak percuma Mama menyekolahkan kamu.”
“ Mama jangan bercanda. Kemarin Malin Kundang Jia dibilang durhaka, eh, sekarang malah perjodohan kayak cerita Siti Nurbaya. Keluarga kita mengadaptasi kehidupan dari novel dan cerita rakyat ya, Ma.”
“ Jangan banyak protes.” Ibunya tak menggubris ocehan Jia. “ Hari minggu, titik tidak pakai koma.”
“ Ma!” Jia pun kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments