“ Rencanamu menyerahkan dokumen itu saat pertemuan penting kali ini benar-benar membuat pak Broto tidak berkutik,” puji Hans habis-habisan. Ia benar-benar salut dengan pemikiran sahabatnya ini.
“ Aku sudah bilang’ kan kalau proyek ini tidak akan lepas dari tangan kita. Walaupun dia senior, tapi bukan berarti dia bisa menggertak seenaknya.”
Erlan bukan tanpa alasan berada di Bali. Proyek prestise yang sudah di rencanakan lama itu malah membuat pesaingnya kepanasan. Siapa lagi kalau bukan pak Broto. Orang yang selama ini ingin menjatuhkannya. Ia adalah pesaing Erlan dalam dunia bisnis. Ia cukup di kenal banyak orang, namun naiknya Erlan membuatnya ketar-ketir.
Segala macam cara akan di lakukannya demi membuat reputasi Erlan rusak. Ada kalanya ia akan berhasil, namun bukan Erlan kalau ia tidak bisa memulihkannya kembali.
“ Kita harus rayakan kesuksesan ini,” ucap Hans yang di setujui Erlan. “ Kita ke tempat biasa, bagaimana?”
“ Ok,” angguknya.
Sebuah bar menjadi tujuan Erlan dan Hans. Bukan untuk bermabuk-mabukan, hanya sekedar berbincang dan bertemu dengan temannya yang merupakan pemilik bar tersebut.
“ Sudah lama kalian tidak ke sini. Terakhir kali sekitar enam bulan yang lalu,” ujar Jeremy, teman sekaligus pemilik bar. “ Apa proyek kalian berjalan lancar di sini?”
“ Ada sedikit masalah, tapi sudah bisa di selesaikan,” jawab Erlan lalu meneguk segelas air yang di berikan oleh Jeremy. “ Aku dengar kamu akan segera menikah. Apa itu benar?”
Jeremy tersenyum kecil. “ Padahal aku belum memberitahu kalian, tapi kamu malah tahu informasi itu lebih dahulu. Aku terlalu memandang rendah informan yang kamu punya, Lan.”
Erlan menyunggingkan senyuman. “ Calon istrimu yang memberitahuku. Bukankah informanku sudah jelas. Kamu yang malah diam, tidak mengabari apa-apa.”
“ Indah yang memberitahumu?” Erlan mengangguk. “ Erlan, aku berterima kasih padamu karena memberitahuku hal ini. Aku masih memikirkan apakah Indah benar mau menikah denganku apa tidak. Sekarang aku semakin percaya diri.”
“ Apa maksudmu?” tanya Hans cepat. “ Kalian mau menikah, tapi kenapa kamu malah ragu dengan calon istrimu.”
“ Itu karena mantannya Indah. Ia semakin hari mendekatinya. Aku yang tidak percaya diri ini, takut menyakitinya karena aku tahu Indah dengan mantannya itu sudah lama berhubungan. Aku pikir demi kebahagiaan Indah- .”
“ Kamu ingin meninggalkannya,” potong Erlan. Jeremy terdiam. “ Apa yang kamu putuskan belum tentu yang terbaik buat Indah. Asal kamu tahu, Indah dengan semangat menceritakan rencana pernikahan kalian. Aku mengenal kalian berdua. Indah tulus bersama denganmu dan kamu mencintai Indah' kan.”
“ Aku beruntung karena kedatangan kalian. Jika saja aku memutuskan pemikiranku ini, aku pasti akan menyesal seumur hidup,” ujar Jeremy lirih.
“ Jer.” Hans menepuk pundaknya. “ Indah sudah memutuskan menikah denganmu dan kamu jangan lagi ragu padanya.”
Jeremy mengangguk. “ Aku mengerti.”
Jeremy yang sudah memantapkan hatinya, segera menghubungi kekasih hatinya itu. Ia pun meninggalkan Erlan dan Hans. Kedua orang itu pun mengerti posisi Jeremy dan memakluminya.
“ Erlan, apa kamu tidak mau menemui wanita yang ada di ujung sana,” tanya Hans menunjuk seorang wanita yang sedang menikmati minumannya.
“ Aku tidak tertarik,” jawabnya lugas. “ Kalau kamu tertarik. Silakan saja.”
“ Aku jadi bingung. Kamu ini masih lurus apa sudah bengkok.”
Erlan berdecak. “ Kamu mau jadi pasanganku.”
“ Berarti kamu masih lurus.” Hans kembali menikmati minumannya. “ Aku mengenalmu sejak kecil. Saat kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan, ayah dan ibumu membawaku ke rumahmu. Aku menjadi saksi setiap pertumbuhanmu. Tidak pernah sedikit pun aku melihatmu bersama dengan seorang wanita, maksudku, kamu tidak pernah tertarik dengan wanita yang selalu mendekatimu. Apa tidak ada satu wanita pun yang bisa membuatmu tertarik?”
“ Memang kenapa?”
“ Biar aku bisa mencarikan seorang wanita yang sesuai dengan keinginanmu.”
Erlan terkekeh. Hans kebingungan. “ Mama dan sekarang kamu, Hans. Kalian sama saja dengan pertanyaan yang sama. Aku akan menikah dengan seorang wanita bukan pria. Ada seorang wanita yang membuatku tertarik. Apa kamu puas dengan jawabanku?”
Hans menyandarkan bahunya di punggung kursi. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan memberikan jempol tanda kepuasannya atas jawaban Erlan, sedangkan Erlan menggelengkan kepalanya karena tingkah Hans.
...****************...
Jia dan Namira tiba di tempat yang sama dengan Erlan dan Hans. Namira sebelumnya pernah datang ke tempat ini bersama dengan teman-temannya. Ia memesankan dua gelas minuman koktail non alkohol untuknya dan juga Jia.
“ Tempat ini lumayan juga,” puji Jia.
“ Iyalah. Tempat ini lumayan terkenal di sini,” ujarnya. “ Ji, coba lihat di sana.” Jia menoleh ke arah yang di tunjuk Namira.
“ Ada apa?” Jia malah celingak celinguk karena tidak mengerti dengan maksud Namira.
“ Itu, pria yang ada di sana. Pria yang pakai jas hitam.”
“ Ha! Pria?” Jia menelisik pria yang di maksud. Begitu mengenali pria yang Namira tunjuk. Jia langsung menutupi wajahnya dengan tangannya.
“ Kenapa, Ji?”
“ Itu...”
“ Itu kenapa?”
“ Pria yang kamu tunjuk itu, tamu VVIP di hotel om kamu.”
“ Ha? Serius?” Jia hanya mengangguk. “ Wah... Jia, pantas saja kamu cuci mata, ternyata orangnya begitu.”
“ Ssst...” Jia menyuruh Namira untuk mengecilkan suaranya. “ Dia tidak akan mengenaliku' kan?”
“ Sepertinya tidak. Makanya, kamu biasa saja, kalau kamu terus menutupi wajahmu, malah mengundang kecurigaan.”
“ Benar juga.”
“ Ya iyalah.”
Jia beranjak dari tempat duduknya hendak pergi. “ Mau kemana?” tanya Namira heran. Jia yang sibuk mengubek tasnya belum sempat menjawab pertanyaannya itu.
“ Mau ke toilet,” jawabnya sambil memakai kacamata hitam yang susah payah di dapatnya. “ Jangan kemana-mana.”
“ Ok,” jawabnya. Namira geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
Di dalam toilet Jia sibuk mendandani dirinya agar tidak di kenali oleh Erlan. Ia tidak mau ketahuan olehnya. “ Sudah ok.” Jia mencoba meyakini dirinya kalau penyamarannya sudah baik. “ Semangat Jia.” Ia pun perlahan keluar dari toilet. Awalnya masih aman saja, namun Jia sontak kaget begitu melihat Erlan tengah berdiri menyandar di tembok tak jauh dari toilet.
Jia berusaha tenang sambil melewati Erlan.
“ Apa aku seperti orang tak di kenali,” celetuk Erlan. Tak di sangka Jia malah menghentikan langkahnya. “ Ternyata aku benar. Melihatmu tiba-tiba ada di tempat ini membuatku penasaran apa aku salah orang atau tidak. Walaupun kamu menutupi wajahmu atau memakai kacamata hitam, tapi melihat reaksimu saat ini, rasanya aku benar 100 persen."
Jia menghela napas, lalu berbalik. Tak perlu lagi menyangkal, dia sudah ketahuan. “ Memangnya seorang pelayan tidak boleh ada di tempat seperti ini?
" Tidak ada yang melarang."
" Lalu apa salahnya?"
" Karena aku tidak suka orang yang berbohong." Erlan menatap tajam Jia " Apa benar kamu ini hanya tamat SMA? Tulang punggung keluarga atau jangan-jangan soal nama saja kamu juga berbohong."
Jia terdiam.
" Aku baru tahu kalau pihak yang aku percaya akan berbuat seperti ini."
" Apa yang akan kamu lakukan?” Jia agak ketar ketir dengan perkataan Erlan.
“ Tergantung.”
“ Maksudnya?”
“ Tergantung bagaimana dengan sikapmu.”
“ Aku bekerja dengan baik. Aku juga mengikuti semua yang kamu perintahkan. Lagi pula aku tidak melakukan kesalahan.”
“ Tidak melakukan kesalahan? Sepertinya pihak hotel memang membantumu, bukan begitu?”
“ Jangan membawa nama hotel.” Jia agak kesal. “ Aku yang salah, tapi tolong jangan ganggu hotel itu. Aku akan melakukan apa pun.”
“ Apa pun?” Jia mengangguk tanpa ragu. “ Berarti dengan kata lain kamu mengakui kebohonganmu. Semua yang kamu katakan bohong, benar' kan."
" Aku tidak berniat berbohong."
" Baiklah, siapa namamu? Jana...”
“ Anggap saja begitu.”
“ Kamu tak ingin menyebut nama aslimu?” Jia hanya diam tak menggubris pertanyaan Erlan. “ Baiklah. Soal nama hanya perkara kecil. Besok, jangan terlambat kalau tidak-.”
“ Ok,” sahut Jia memotong.
Erlan tersenyum sinis. “ Ini hanya permulaan,” ucapnya sambil lalu. Jia masih berdiri mematung melihat kepergian Erlan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments