Jia mendatangi Namira dengan langkah lemas. “ Matilah aku.” Jia mengumpat pada dirinya sendiri. “ Pria itu benar- benar menyebalkan. Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya.”
“ Sudah ketahuan, ya?”
“ Iya,” jawab Jia lirih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “ Aku rasa dia itu bukan manusia. Bagaimana dia bisa tahu, padahal aku sudah mengubah penampilanku, dia juga tahu aku berbohong soal namaku. Aku harus bagaimana, Mir,” rengek Jia.
“ Kenapa jadi ruwet." Namira menepuk pundak Namira agar ia bisa tenang. “ Dia tidak akan melakukan apa-apa, aku jamin.”
“ Kamu yakin?”
“ Yakin.” Namira tanpa keraguan menjawab pertanyaan Namira, tapi pada akhirnya Namira tertawa lepas. Jia pun kesal, lalu memukul sahabatnya itu.
Pada malam harinya Jia benar-benar tak bisa tidur. Mana mungkin juga ia bisa tertidur pulas setelah apa yang terjadi. Ia terus memikirkan jalan keluar dari masalah itu. Ia hanya membolak balikkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan tanpa bisa memejamkan mata.
“ Aku rasa tidak ada yang salah. Aku juga tidak berbohong, kecuali soal nama.” Jia menghela. “ Aku memang sudah berbohong. Tapi, aku melakukan pekerjaan dan tidak melakukan hal yang buruk. Apa yang salah.” Jia mengkaji-kaji persoalan antara ia dan Erlan. “ Argh!!!” Jia mengacak-acak rambutnya. “ Kalau merasa tidak salah kenapa tadi malah bersembunyi Jia!! Kamu ini bodoh sekali!! Dia merasa di atas angin jadinya. Pria bernama Erlan itu sudah mengintimidasiku. Ha! Dasar pria menyebalkan!!”
...****************...
Keesokan harinya, seperti biasa Jia datang ke hotel. Satu hal yang tak biasa di pagi ini adalah keberadaan Erlan. Dia dengan santainya duduk sambil mengawasi Jia bekerja. Padahal biasanya ia sudah sibuk mempersiapkan dirinya untuk bekerja. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
“ Sampai kapan kamu akan mengawasiku?” Jia tak senang karena menganggap Erlan memperlambat pekerjaannya. “ Apa kamu tidak punya pekerjaan.”
Jia tak menggunakan kata Tuan lagi kepada Erlan karena insiden kemarin.
“ Ada. Mengawasimu seperti yang kamu katakan.”
“ Orang aneh.”
Erlan memang sengaja tidak keluar hari ini. Selain pekerjaannya sudah di tangani oleh Hans. Ia seperti mendapat mainan baru yaitu Jia. Kebenaran yang sebenarnya tak sengaja ia dapati saat berada di bar. Bermula saat Jia dan Namira memasuki bar. Erlan seperti tak asing dengan wajah Jia. Walaupun saat itu Jia sangat berbeda di banding saat menjadi pelayan, tapi mata tajam serta instingnya tak bisa di bohongi. Pertama kali bertemu saja Erlan sudah curiga.
Erlan hanya penasaran kenapa Jia harus menjadi pelayan, padahal barang-barang yang melekat dan di pakainya bukanlah barang yang murah serta mengapa ia harus menyembunyikan identitasnya.
“ Bagaimana kamu tahu kalau aku bukan pelayan di hotel ini?” tanya Jia penasaran.
“ Gampang saja. Kamu itu kaku, pekerjaan yang kamu lakukan juga tidak sedetail pelayan hotel di sini dan...” Erlan menghentikan ucapannya.
“ Dan?” Jia mengucapkan kata yang sama karena penasaran.
“ Mana ada pelayan hotel memakai jam tangan super mahal yang kamu pakai saat ini.”
“ Ha?” Jia langsung melirik jam yang ada di lengannya. Ia langsung lemas. Jia lupa untuk melepaskan jam tangannya karena ia pikir tidak akan ada orang yang menyadarinya. “ Ini palsu,” kilah Jia.
“ Kamu pikir sedang bermain dengan siapa, ha? Aku tahu mana yang palsu mana yang asli. Tidak usah berkilah lagi.”
“ Kamu-.”
“ Bukan hanya jam tangan. Sekali lihat saja aku tahu kalau kamu bukan pelayan di sini.”
“ Kamu jangan mengintimidasiku. Memangnya ada aturan kalau memakai barang mahal tidak boleh bekerja sebagai pelayan.”
“ Siapa yang mengintimidasi? Apa kamu merasa terintimidasi olehku?” Erlan tertawa kecil yang membuat Jia tidak senang. “ Lagi pula aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu.”
“ Kamu- .” Jia menahan emosinya. “ Aku tidak ingin bertengkar.”
“ Tapi, aku senang bertengkar denganmu.”
“ Lagi pula aku bekerja di sini karena suatu hal. Tolong jangan tuntut pihak hotel.” Jia sedikit takut kalau Erlan akan bertindak.
“ Aku tidak akan menuntut hotel ini karena aku tahu bagaimana bagusnya hotel ini. “
“ Syukurlah.” Jia pun lega.
“ Kamu tidak lupa’ kan?”
“ Lupa apa?”
“ Aku akan lakukan apa pun. Bukankah itu yang kamu katakan malam itu.”
“ Ha??” Jia masih tak percaya kalau pria ini masih mengingat ucapannya malam itu. “ Baru saja aku ingin memujimu, ternyata...”
“ Aku tidak sebaik itu, Nona.” Erlan sepertinya sangat senang menjahili Jia. “ Janji harus di tepati, bukankah begitu.”
Jia mulai kesal. “ Menyebalkan,” gerutunya. “ Memangnya kita akan bertemu lagi.”
“ Siapa yang tahu.”
“ Aku tidak mau bertemu denganmu lagi. Untuk apa! Aku juga tidak selamanya ada di sini.”
“ Aku juga tidak selamanya ada di sini, itu berarti kita jodoh.”
“ Aku rasa kamu sudah tidak waras. Tolong periksa dirimu.”
“ Aku akan melakukannya.”
Jia mengepal tangannya. Ia merasa di permainkan oleh Erlan. “ Sudah berapa kali aku menyebut pria ini menyebalkan. Kenyataannya ia memang menyebalkan bahkan sangat menyebalkan,” gumam Jia melirik Erlan.
...****************...
Jia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Akhirnya ia bisa terbebas dari tempat ini segera mungkin. Erlan, sang pengawas, malah tertidur pulas di sofa.
“ Padahal masih jam 11, dia malah tertidur. Apa kamu kelelahan setelah mencecarku, ha!”
“ Apa kamu mengumpat padaku?”
“ Astaga.” Jia terkaget karena Erlan yang tiba-tiba membuka mata. “ Aku tidak melakukan apa pun.”
“ Oh.”
“ Oh?” Kata oh yang keluar dari bibir Erlan di artikan mengejek bagi Jia. “ Pekerjaanku sudah selesai. Aku pamit pulang,” ujar Jia dengan nada sedikit tinggi.
“ Semoga harimu menyenangkan.”
Jia melirik tajam. “ Semoga harimu menyenangkan? Yang benar saja!” gumamnya.
Setelah kepergian Jia, Erlan mendapatkan telepon dari Hans. Ia mengabarkan kalau urusan di Bali sudah selesai dan berjalan lancar. Esok hari mereka bisa pulang lebih awal dengan menggunakan pesawat pribadi.
Erlan juga merasa pekerjaan di kantor tidak mungkin di tunda lagi. Secepat mungkin ia pulang maka pekerjaan akan cepat selesai. Di tambah lagi dengan janji kepada ibunya sebelum ke Bali. Tak mungkin ada alasan lagi untuk menolak. Mengikuti kemauan orang tua tidak ada salahnya juga apalagi sejak ayahnya sudah tiada, kini Erlan hanya berdua dengan ibunya. Keinginannya hanya satu yaitu membahagiakan orang yang sudah melahirkan dan mendidiknya itu.
“ Hans, hal yang kuminta padamu waktu itu, apa sudah kamu cari?”
“ Sudah,” jawab Hans. “ Aku akan mengirimkannya padamu.”
“ Ok. Terima kasih.”
“ Tapi, Lan, kenapa kamu jadi penasaran dengannya. Walaupun aku senang saja kamu tertarik dengan seseorang, tapi Ini bukan kebiasaanmu’ kan.”
“ Aku ingin memastikan kecurigaanku dan ternyata aku tidak salah.”
“ Apa maksudmu?”
“ Nanti juga kamu tahu.” Erlan pun menutup teleponnya. Ia tersenyum puas begitu mendapatkan hasil yang ia mau dari Hans. Tak salah ia mempunyai sahabat sekaligus keluarga seperti Hans yang bisa ia andalkan.
“ Sepertinya permainan akan segera di mulai.” Erlan menyunggingkan senyuman seperti orang yang mendapatkan kemenangan besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments