Episode 5 (Pertemuan Kedua)

#Mengejar Cinta Suamiku part 5 (Pertemuan Kedua)

Pagi ini begitu syahdu. Suara burung berkicauan seolah saling menyahut.

Bapak dan Ibu sudah lebih dulu pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat berjamaah. Seperti biasanya, Bapak mengimami shalat jamaah subuh ini.

Aku menyusul mereka setelah terlebih dahulu menyelsaikan mandi. Rasanya berbeda sekali suasana di sini dengan di Kota rantauan.

Kabut pagi, kicauan burung, suara angin yang membuat ranting pohon saling beradu, membuat jiwa merasa tentram dan damai.

Bapak memimpin shalat dengan bacaan yang tartil dan khusu. Sudah lama rasanya aku tidak merasakan jiwa yang setenang ini.

Berada di barisan shaf paling depan, larut dalam ke khusuan shalat yang terasa nikmat.

Selesai shalat berjamaah, kami berkumpul di meja makan untuk sarapan sebelum Bapak dan Ibu pergi ke ladang.

Ibu memasak nasi jamblang khas Cirebon yang merupakan makanan favoritku.

Tidak butuh waktu lama, makanan itu sudah berhasil membuat perutku kenyang.

“Kamu sampai kapan cutinya, nak?” tanya Bapak yang masih sibuk dengan makanannya.

“Besok terakhir, Pak. Dan lusa sudah harus kembali bekerja.”

Memang rasanya berat sekali untuk pergi ke rantauan, tetapi apa boleh buat. Pekerjaan, tetaplah pekerjaan.

Sebenarnya Bapak sudah beberapa kali membujuk-ku untuk tinggal di sini. Bapak bilang akan memberikan modal usaha agar aku bisa leluasa bekerja tanpa terikat waktu dengan perusahaan.

Tapi, aku belum sampai hati harus menggunakan uang Bapak. Aku ingin buka usaha dengan uangku sendiri. Dengan begitu, setidaknya meski belum mampu memberi, aku tidak lagi menjadi beban mereka.

“Kalau begitu, mumpung kamu masih di sini, tolong antarkan ini kepada Ummi Yuna.”

Tiba-tiba Ibu menyodorkan kantong plastik yang berisikan beberapa macam makanan buatannya, dan sayuran organik segar yang ditanam oleh Ibu di kebun belakang.

“Ibu ikut juga kan?” tanyaku sambil mengemasi piring kotor bekas makan.

“Ndak bisa, nak. Ibu hari ini harus menyiapkan makanan buat para pekerja, kebetulan hari ini mau panen kacang tanah. Itulah kenapa Ibu minta tolong kamu yang antarkan. Takut sayurannya keburu layu.”

“Baiklah, Bu. Iki antarkan ini sekarang, ya.” Setelah mengecup tangan Bapak dan Ibu, akupun pergi membawa kantong plastik yang akan diberikan kepada Ummi.

Ditemani oleh sepeda motor metik kesayanganku saat SMA dulu.

Ini masih sekitar jam tujuh pagi. Matahari masih bersembunyi dibalik kabut pagi. Aku teringat kembali pesan dari Sheila kemarin.

Haruskah aku mengundangnya di pernikahanku nanti? Sanggupkah aku kembali bertemu dengannya dengan situasi yang akan sama-sama menyakiti hati kami?

Terlebih, jika kelak Annisa tahu tentang semua ini. Aku yakin, dia pasti akan sangat sakit hati.

Dengan pikiran yang berisik, aku masih mengendarai motor ini menyusuri setiap jalan yang sudah cukup padat dengan orang-orang yang hendak berangkat bekerja dan bersekolah.

Sekitar 20 menit dari rumahku, kini aku sudah sampai di rumahnya Ummi Yuna.

Aku membuka pagar hitam dan memasuki halaman. Terlihat sepi. Mungkin Ummi dan Annisa sedang berada di dapur.

Ku ketuk pintu rumah beberapa kali sambil mengucap salam. Dari dalam, terdengar suara lembut menyahuti.

“Waalaikumsalam, sebentar sedang menggunakan hijab dulu” sahutnya.

Tidak lama, pintu pun terbuka. Gadis itu terlihat di balik pintu.

“Maaf, Mas. Ibu sedang tidak di rumah, jadi saya tidak bisa mempersilakan Mas masuk. Apa tidak masalah kalau duduk di bangku halaman saja?” tanya Annisa dengan wajah menunduk dan sesekali melirikku.

“Oh, iya. Gak masalah, kok. Lagian Mas cuma mau antar ini saja, titipan Ibu.”

Setelah memberikan kantong plastik itu kepadanya, akupun pamit pulang.

“Nggih, Mas. Terimakasih, sampaikan juga terimakasih kepada Ibu.”

Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataan Annisa.

Namun saat hendak pergi, motorku tiba-tiba tidak menyala. Aku cek mesin tidak ada yang salah. Tidak lupa kelistrikan dan kabel-kabel, namun tetap tidak ada yang salah.

Annisa yang masih di halaman, memperhatikanku dengan heran.

“Kenapa Mas motornya?” tanya dia sambil berjalan mendekat ke posisiku.

“Nggak tau nih, padahal mesin dan kelistrikannya tidak bermasalah.” Jawabku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Itu, loh Mas bensinnya habis” ucap Annisa dengan menahan tawa.

“Allahuakbar, iya benar. Sampai lupa melihat jarum bensin.”

Malu sekali rasanya, akibat melamun sepanjang jalan tadi, sampai tidak sadar bahwa bensin motor habis. Aku menggerutu dalam hati, mengomeli diri sendiri yang tidak teliti.

“Apa di dekat sini ada tukang jualan bahan bakar? Pertalite atau Pertamax?” aku bertanya kepada Annisa, sedikit pesimis karena rumahnya berada di desa yang cukup jauh dari Kota.

“Tidak ada, Mas. Yang terdekat hanya pom bensin di persimpangan jalan sana, samping gapura desa ini. Jaraknya sekitar satu kilometer. Kalau Mas memperhatikan, sebelum kesini pasti melewati pom bensin tersebut.”

Sudah kutebak, jawaban Annisa pasti begitu. Karena memang sepanjang yang kulihat, jalan menuju kesini hanya jalan kecil dan tiap sisinya adalah rumah para warga saja.

“Terus gimana, ya? Mas tidak mungkin mendorong motor kesana. Jauh solanya.” Aku menghembuskan nafas panjang sambil melirik Annisa.

Sepertinya dia paham kegalauan-ku.

“Motor Nisa juga sedang dipakai Ummi, Mas. Apa Mas tidak keberatan kalau menunggu? Sebentar lagi Ummi pulang, biar Nisa mintakan tolong ke Ummi supaya dibelikan bahan bakarnya.” Nisa memberikan solusi karena tahu aku sedang kebingungan.

“Baiklah, kalau boleh, Mas tunggu Ummi saja.”

Kami kemudian duduk di bangku halaman dengan kesunyian. Tidak ada obrolan diantara aku dan Annisa. Hening sekali.

“Nisa baru 18 tahun kan, ya?” tanyaku memecah kesunyian diantara kami.

“Iya, Mas.”

“Apa tidak masalah menikah dengan Mas yang sudah berusia 25 tahun, bahkan sebentar lagi 26 tahun. Usia kita terpaut jauh, nanti kamu bisa dikatain teman-teman bahwa kamu nikah sama Om-om”

Aku mencoba menggoyahkan hati Annisa dan berharap dia merubah keputusannya untuk menikah denganku.

“Umur, bukan patokan untuk menilai manusia. Banyak yang sudah tua, namun sedikit sekali kebaikannya. Banyak yang masih muda, namun terlena dengan usianya, dan sibuk dengan pergaulan yang dilarang syariat, dengan dalih mumpung masih muda. Nisa dan Ummi, mengukur dari ke sholihannya, mengukur dari kesantunannya, dan menilai dari bagaimana dia memperlakukan kedua orang tuanya. InsyaAllah, kriteria tersebut ada dalam diri Mas Rizki. Nisa percaya apapun yang dipilihkan oleh Ummi.”

Ucapan Annisa sedikit menohok hatiku. Begitu lembutnya dia, jauh sekali dari gadis kota yang sering kulihat di rantauan sana.

Penilaian Ummi dan Nisa kepadaku begitu jauh dari ekspektasi. Mereka menerimaku dengan tulus, apa adanya.

Sedangkan, aku hanya menjadikan Annisa pelarian dari kisah cintaku yang gagal.

“Bagaimana kalau Mas tidak sesuai dengan ekspektasi Nisa dan Ummi?”

Pertanyaan itu membuat Annisa menoleh kepadaku. Sekilas, pandangan kami saling bertemu. Namun dengan cepat, Nisa kembali menundukkan pandangannya.

“Nisa pun demikian. Jika banyak kekurangan, maka kita belajar untuk saling melengkapi. Jika Nisa tidak sesuai ekspektasi Mas Rizki, Nisa akan berusaha agar memenuhinya selagi Nisa mampu. Begitupun dengan Mas. Nisa tidak berekspektasi apa pun. Segala yang Nisa dengar tentang Mas, adalah perkataan dari orang tua Mas sendiri, orang yang paling mengenal diri kita, adalah orang tuanya sendiri. Itulah mengapa, Nisa dan Ummi percaya. Terlepas dari itu semua, sepenuhnya, Nisa serahkan kepada Allah.”

Hatiku bergetar mendengar setiap jawabannya. Gadis ini, usianya saja yang muda, tapi pikirannya sudah dewasa.

Tidak lama kemudian, Ummi pun datang dengan membawa satu jerigen kecil berisi bahan bakar motor yang tadi dipesan Annisa lewat telepon.

Setelah berbincang sebentar dengan Ummi, aku lalu pamit pulang. Karena sudah cukup lama, terlebih Ibu dan Bapak sedang sibuk panen di ladang, aku harus pulang untuk membantu mereka.

Di perjalanan pulang, aku merenungi kembali setiap perkataan Annisa. Jika di renungkan, ucapan Annisa banyak memiliki kalimat cukup mencontok hati untuk di renungkan, terutama untuk orang sepertiku.

 

Bersambung...

 

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!