#Mengejar Cinta Suamiku part 3 (Kau, Aku dan Annisa)
“Assalamualaikum, Ki. Sehat-sehat kamu nak?”
Suara Ibu terdengar begitu hangat di seberang telepon sana.
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah Iki sehat Bu. Ibu sama Bapak bagaimana keadaanya?”
“Alhamdulillah nak, kami sehat juga.”
“Syukurlah. Bu, Iki mau minta tolong ke Ibu boleh?” kataku dengan sedikit ragu.
“Loh, yo boleh toh nak. Minta tolong sama Ibu sendiri kok pakai izin segala. Ono opo memang? (ada Apa memang?)”
Logat Jawa ibu sangat medok meski dia berbicara dalam bahasa Indonesia. Maklum, ibu adalah orang Jawa tulen. Cirebon tepatnya.
“Iki kepingin menikah Bu. Secepatnya, kalau bisa bulan depan. Iki minta tolong Ibu atau Bapak yang carikan calonnya.”
“MasyaAllah, Ibu tidak salah dengar toh nak? Alhamdulillah kalau begitu . Tapi ngopo minta di carikan Ibu dan Bapak? Lalu, sepertinya buru-buru begitu?”
Aku diam sebentar mendengar pertanyaan Ibu. Mereka memang belum sempat aku kenalkan kepada Sheila.
Aku juga tidak pernah bercerita apa pun tentangnya. Rencananya, setelah aku melamar Sheila, baru akan kuberi tahu Ibu dan Bapak, tapi takdir berkata lain.
Sheila ternyata bukan jodohku. Tiga tahun berpacaran tidak menjamin bahwa dia akan menjadi istriku.
Wajar saja, Ibu keheranan dengan keinginan aku untuk menikah bulan depan.
Ibu dan Bapak memang tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi padaku dan Sheila.
“Ki, kamu masih di sana kan?” suara ibu memecah lamunanku.
“Eh. Iya, Bu. Iki rasanya udah capek saja hidup sendirian Bu, kepingin ada yang menemani, jadi penghilang penat saat Iki lelah bekerja. Alasan Iki minta tolong di carikan sama Ibu dan Bapak, karena Iki percaya pilihan Ibu dan Bapak tidak akan salah. Ibu dan Bapak pasti akan mencarikan yang terbaik buat Iki.”
“Mmmm... Ibu kira ndak ada yang mau sama kamu. Hahaha” sahut Ibu menggodaku di tengah seriusnya perbincangan via telepon ini.
“Loh, ya moso wajah tampan begini ndak ada yang mau, Bu. Iki kan mirip Bapak waktu muda. Banyak yang ngantri” aku mendengar Bapak menimpali perkataan Ibu.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Bapak, mereka tertawa bersama, dan mendengar tawa mereka, membuat hatiku sejuk.
“Bagaimana, Bu? Apa kira-kira Ibu dan Bapak bisa mencarikan Iki jodoh?” tanyaku meyakinkan kembali bahwa keinginanku untuk menikah ini serius.
“InsyaAllah bisa nak. Tapi bagaimana kalau lebih dari satu bulan? Apa ndak masalah? Karena kami juga perlu mencarikan wanita yang betul-betul tepat untukmu.” Kini kudengar Bapak yang mengambil alih telepon di seberang sana.
“Tidak masalah Pak, tapi Iki berdoa, semoga bisa secepatnya ya” ucapku dengan sedikit memohon.
“Baik nak. Kami akan usahakan. Kamu dari sana bantu doa ya. Kalau sudah waktunya, pasti Allah permudah.” Ucap Bapak menenangkan.
“Baik, Pak. Terimakasih ya, Pak. Iki izin pamit berangkat kerja dulu ya, kebetulan hari ini kebagian shift malam. Assalamualaikum, Pak.”
“Waalaikumsalam, nak. Hati-hati, ya. Jangan lupa, dalam keadaan apapun jangan pernah tinggalkan shalat.” ucap Bapak.
Setiap kali menelepon, Bapak tidak pernah lupa memberikan pesan tersebut.
Aku sedari kecil ditanamkan untuk tidak pernah meninggalkan shalat, apapun keadaannya.
Dan hal ini sudah melekat hingga sekarang. Bapak dan Ibu memang orang yang religius.
Dahulu, mereka sama-sama pernah menempuh pendidikan di pesantren. Hingga akhirnya bertemu dalam sebuah organisasi dan memutuskan untuk taaruf saat mereka selesai menempuh pendidikan di pesantren.
Meskipun Ibu dan Bapak seorang petani, namun pendidikan mereka cukup tinggi. Bapak, merupakan lulusan sebuah Universitas ternama di Cirebon, dari fakultas Ilmu Agama Islam.
Tidak heran, di kampung, Bapak menjadi ketua DKM masjid dan sering mengisi kajian rutin.
Bapak juga merupakan imam rutin dalam shalat jamaah di masjid kampung. Tidak jarang, Bapak di undang ke masjid di kampung lain untuk mengisi kajian.
Begitupun jika ada pengajian di acara hajatan. Bapak sering diminta untuk menjadi pendakwahnya.
Sedangkan Ibu, pernah menempuh pendidikan tafsir dan ilmu hadits di sebuah Universitas di Kota Bandung.
Ibu juga aktif dalam berbagai organisasi di kampung, terutama pada majelis taklim.
Dahulu, Bapak pernah bekerja pada sebuah lembaga keagamaan di pemerintahan.
Ibu, sempat mengajar menjadi guru les privat bagi yang mau belajar mendalam ilmu Alquran dan hadits.
Dari sanalah, mereka berjuang mengumpulkan uang, lalu membeli beberapa hektar lahan untuk dijadikan perkebunan dan sawah.
Hingga sekarang, Ibu dan Bapak menikmati hari tuanya dengan berkebun dan beribadah kepada Allah.
Aku sendiri berbeda dari mereka. Bapak sempat memasukkan aku ke pesantren saat aku menempuh pendidikan MTS.
Namun saat SMA, aku memutuskan untuk menempuh pendidikan di sekolah formal. Aku protes pada Bapak, bahwa aku tidak ingin lagi berada di lingkungan pesantren.
Mungkin karena saat itu, jiwa mudaku masih menggebu-gebu, itulah mengapa aku meminta Bapak untuk menuruti apa keinginanku.
Saat itu aku mengancam, jika mereka tidak menuruti mauku, aku tidak akan melanjutkan sekolah ke SMA.
Menyerah dengan keinginanku yang kuat, mereka akhirnya setuju dengan keputusanku. Namun, mereka memberikan syarat agar aku bisa menjaga diri dan menjauhi pergaulan yang dilarang oleh syariat agama.
Dari situlah, awal mula aku keluar dari lingkungan pesantren dan menempuh pendidikan formal hingga lulus dari bangku kuliah.
Saat di kampus, aku mengambil jurusan teknik mesin. Hingga akhirnya aku berada di sini dan bekerja sebagai teknisi pemeliharaan mesin pada sebuah perusaan cukup ternama di Ibu Kota ini.
******
Dua minggu setelah percakapan via telepon waktu itu, aku di suruh pulang kampung. Ibu dan Bapak sudah menemukan calon.
Katanya, dia anak teman pengajian Ibu. Entah seperti apa wajah dari wanita itu, Ibu tidak menceritakan detailnya padaku.
Tapi, akan ku pastikan tidak akan mengingkari janji, aku tidak akan menolak apapun alasannya dari wanita pilihan Ibu dan Bapak.
Ada sedikit rasa keraguan di hati. Aku takut, jika setelah menikah nanti, aku tetap tidak bisa melupakan Sheila.
Aku takut akan menyakiti wanita pilihan Ibu, dan Bapak. Namun, aku mengembalikan segala urusan ini kepada-NYA.
Aku pun sedikit heran karena akhir-akhir ini Sheila tidak begitu sering menghubungiku.
Mungkin karena pesanku tempo hari yang dikirimkan kepadanya.
Tapi aku yakin perkataannya hari itu tidak main-main, aku sangat mengetahui karakter Sheila.
Bus melaju menyusuri terik matahari. Semilir angin dari balik pintu bus cukup menyejukkan panas di siang ini.
Sepertinya, hari ini jalanan tidak begitu padat, aku bisa sampai ke Cirebon lebih cepat.
***
Tok..tok..tok
“Assalamualaikum.”
Pintu kayu jati berukir itu di ketuk Bapak. Rumah ini cukup luas, tapi tetap sederhana sama seperti rumahku.
Ada banyak aksen khas Jawa di setiap sudutnya. Pekarangan yang asri dengan macam-macam bunga dan pohon mangga.
Di depan, ada pagar hitam menjulang cukup tinggi membatasi pandangan dari luar.
Ibu menggenggam tanganku. Katanya, agar aku tidak gugup. Padahal aku tidak merasa gugup sedikit pun.
Aku juga tidak begitu penasaran dengan calon yang Ibu pilihkan. Asal bulan depan menikah, cocok atau tidak, bisa di selesaikan belakangan.
“Waalaikumsalam Warahmatullah. Wah, sudah datang, ayo silakan masuk.”
Seorang wanita setengah baya dengan tubuh sedikit gemuk dan kain hijab panjang menjuntai menutupi setengah tubuhnya, Ibu itu kemudian membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.
Aku menebak, ini adalah calon mertuaku. Kata Ibu, suaminya meninggal satu tahun yang lalu. Di rumahnya hanya ada dia dan anak mereka satu-satunya.
Kata Ibu, calon istriku adalah anak tunggal. Dan aku, anak pertama dari dua bersaudara.
Adikku perempuan, dia sedang menempuh pendidikan SMA sambil mondok untuk menggapai cita-citanya menjadi hafidzah.
Berbeda denganku, adik perempuanku sangat sholehah dan taat pada agama juga orangtua. Namanya Hajar Syauqina.
Bapak memberi nama tersebut sebagai doa agar anak perempuannya bisa tumbuh sekuat Siti Hajar, yakni istri kedua nabi Ibrahim.
Yang dengan suka rela ditinggalkan oleh suaminya di sebuah padang tandus yang jauh sekali dari sumber air dan pemukiman penduduk lain, karena Siti Hajar tahu bahwa yang suaminya lakukan adalah perintah dari Allah.
Siti Hajar kemudian berlari antara bukit Safa dan Marwah hingga tujuh kali, untuk mencari air karena anaknya kehausan.
Dari sanalah keajaiban terjadi. Anaknya, yakni nabi Ismail mampu memancarkan air dari tanah yang dipijak oleh kakinya.
Air itu, air abadi yang masih ada hingga sekarang. Yakni, air zam-zam. Hal ini pula, tidak luput dari doa Siti Hajar.
Dengan doa yang kuat, dan ikhtiar yang bersungguh-sungguh, akhirnya mampu menciptakan sebuah keajaiban.
Dari sanalah Bapak berharap, bahwa kelak anak perempuannya akan belajar dari ketangguhan Siti Hajar dalam menghadapi cobaan.
Ibu itu sangat ramah, ngobrol ngalor-ngidul dengan Bapak. Melirik sesekali ke arahku saat Ibuku mendeskripsikan tentang diriku yang masih banyak kekurangannya.
Aku hanya tersenyum dan sesekali menimpali pembicaraan mereka.
“Keasikan mengobrol, sampai lupa belum disuguhi minum. Annisa, tolong bikinkan minum ya, nak! ada tamu ini loh”
Ibu itu sedikit berteriak memanggil anaknya.
“Nggih, Ummi. Sebentar, Annisa buatkan” Suara Lembut menjawab dari arah dapur.
Kini, sebentar lagi. Aku akan melihat seperti apa wanita yang akan aku nikahi.
Aku berharap, dia sesuai dengan kriteriaku, agar aku lebih mudah dalam mencintainya. Jika tidak pun, aku akan berusaha sebisaku untuk mencoba mencintainya, meski hatiku masih di singgahi nama yang sama, yaitu Sheila.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Anonim😉
novel nya bagus 👍👍
2022-07-24
1
Mami keyffa
semoga berhasil ya ki
2022-07-16
0