Episode 4 (Khitbah)

#Mengejar Cinta Suamiku part 4 (Khitbah)

Seorang wanita datang membawa nampan dengan empat buah gelas berisi minuman, dan beberapa toples kue.

Aku tidak fokus pada nampan itu, aku fokus pada wanita yang berjalan semakin dekat ke arah kami.

“Silakan diminum” ucapnya lembut.

Dia menyodorkan satu persatu gelas di atas meja di hadapan pemiliknya masing-masing.

Setelah itu, dia duduk tepat di sebelah Umminya.

Aku memperhatikan wajahnya yang sedari tadi hanya menunduk.

Dia memang manis, tapi tidak secantik Sheila.

Tingginya sekitar 157cm, dengan kulit sawo matang. Dia tidak kurus, tapi juga tidak gemuk, aku tidak bisa melihat dengan pasti bagaimana bentuk tubuhnya, karena dia mengenakan gamis dan jilbab yang panjang hingga sebetis.

Sekilas berpandangan dengannya, aku melihat dia memiliki manik mata berwarna coklat.

Hidungnya lebih mancung dari Sheila. Tapi penampilan gadis ini jauh sekali dari ekspektasi ku.

Aku lebih menyukai tipe gadis kota yang pandai memadu padankan pakaian dan polesan makeup di wajah mereka, seperti Sheila.

Berbeda dengan gadis ini, dia sangat sederhana sekali, di pertemuan pertama dengan calon suaminya saja, dia enggan menghias diri.

Bahkan kulihat, dia sama sekali tidak memakai lipstik di bibirnya.

Dia memakai gamis gombrang warna kunyit tua, juga kerudung dengan warna senada, menutupi dari kepala hingga betisnya.

Entahlah, kesan pertama melihatnya, aku biasa saja. Tidak ada getaran di hatiku, apalagi cinta.

Untuk sekedar tertarik saja aku rasa tidak! Jika membandingkan dengan Sheila, jelas gadis ini tidak ada apa-apanya.

Namun, aku bisa menebak umurnya berada dibawah Sheila.

Kelihatannya, dia masih muda. Mungkin umurnya sekitar 18 tahunan.

Benar saja, sejurus kemudian, Ummi memberi tahu bahwa Annisa berusia 18 tahun, dan baru saja lulus SMA tahun kemarin sambil mondok di pesantren ternama di Kota ini, Ummi juga bilang, dia sudah mantap untuk menikah.

Menurut Ummi, Annisa pernah bilang, jika jodoh sudah datang, tidak ada alasan baginya untuk menolak.

Apalagi, Annisa tidak memiliki mahram untuk menjaganya saat bepergian jauh. Karena Annisa merupakan anak tunggal, dan ayahnya pun sudah meninggal.

Ummi juga menjelaskan bahwa Annisa ingin melanjutkan pendidikan di bangku kuliah jika suaminya mengizinkan.

“Masalah biaya, insyaAllah Annisa tidak akan memberatkan, karena dia memiliki usaha online shop, dan insyaAllah dari usahanya bisa mencukupi biaya kuliahnya.”

Ucap Ummi sambil melirik kepadaku.

“Tidak masalah Ummi, insyaAllah aku mendukung apapun yang Annisa mau lakukan. Selama itu baik dan tidak melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri.” Jawabku.

Entah karena gadis ini tidak secantik Sheila, atau karena aku yang belum bisa lepas dari bayang-bayang nya, pertemuan ini terasa hampa.

Tidak ada desir dalam hati, tidak ada degup jantung yang membuat grogi.

“Annisa, pasti sudah tahu kan maksud dari kedatangan mereka kesini?” tanya Ummi pada gadis itu yang sedari tadi menunduk mendengar perbincangan kami.

“Iya, Ummi. Nisa tahu, minggu lalu Ibu datang kemari untuk mengutarakan niatnya.” Jawabnya dengan suara lemah lembut.

Satu yang kulihat kelebihannya dari Sheila, Annisa adalah gadis yang lemah lembut, sedangkan Sheila adalah gadis yang tegas, sedikit cerewet, lagi kokoh pada pendiriannya.

“Betul, nak. Maksud kedatangan Bapak, Ibu dan Rizki kesini adalah untuk mengkhitbah Nisa menjadi istri dari putra Bapak. Apakah Annisa bersedia?” kini, kulihat Bapak mulai membicarakan point utamanya.

“Lalu, bagaimana jawaban Nisa?”

Suara Ummi memecah lamunanku.

Ingin rasanya aku membatalkan proses khitbah ini, dan bilang bahwa aku tidak menyukai gadis berbaju gombrang itu.

Masa bodoh dengan kebohonganku kepada Sheila. Karena bagiku, pernikahan haruslah ada rasa suka terlebih dulu.

Nanti, bagaimana aku bisa memberinya nafkah batin, kalau desiran hati saja tidak aku rasakan.

Rasanya, membayangkan menikah dengan wanita yang sama sekali tidak disukai akan lebih sulit dari yang aku bayangkan.

Tapi, harus dengan alasan apa? Aku tidak ingin mempermalukan Ibu dan Bapak.

Aku hanya berharap, gadis ini menolak pinangan dari Bapak. Dengan begitu, aku bisa bebas darinya tanpa harus mempermalukan keluarga.

“Bagaimana menurut Ummi? Apa Ummi setuju?” jawabnya melirik ke arah Ummi yang sedari tadi memegang tangannya.

Gadis itu malah meminta jawaban pada Umminya. Aku tidak habis pikir, yang akan menjalani pernikahan ini adalah dirinya sendiri, mengapa harus menyerahkan keputusannya kepada Ummi.

“Ummi lihat, Rizki adalah anak yang baik, santun dan sudah pasti anak yang berbakti kepada orang tuanya. Rizki juga anak yang sangat menyayangi Ibunya. InsyaAllah, laki-laki yang menyayangi dan memuliakan Ibunya sendiri, akan melakukan hal yang sama kepada istrinya. Apa lagi, Ummi sudah kenal betul dengan orang tuanya. Ummi tahu, mereka merupakan orang-orang yang paham soal agama. Bukankah itu syarat utama dari Annisa ketika minta dicarikan jodoh kepada Ummi? Dan lagi, Ummi sudah istikharah, insyaAllah jika Nisa setuju, Ummi juga setuju. InsyaAllah, Rizki bisa menjadi imam yang baik selama kalian mau sama-sama belajar memperbaiki diri.”

Jawab Ummi panjang lebar, meyakinkan anaknya bahwa Ummi sudah yakin dengan pilihannya.

“Baiklah. Kalau Ummi setuju dan menurut Ummi, Mas Rizki pilihan terbaik. Bismillah, Annisa menerima khitbah ini.”

Sontak semua orang di sini mengucap hamdalah. Tapi tidak denganku, aku merasa menyesal melakukan kebohongan kepada Sheila yang akhirnya berimbas buruk pada diriku sendiri.

Bagaimana aku bisa menjadi suami yang baik untuk dia? Sedangkan rasa ketertarikan kepadanya saja aku tidak punya.

***

Sesampainya di rumah, Ibu bertanya mengenai tanggapanku terhadap Annisa.

“Seperti yang sudah Iki bilang sebelumnya, Iki tidak akan menolak apapun alasannya dari calon yang dipilihkan Ibu dan Bapak.” Jawabku dengan senyum.

“Tapi, Ibu lihat sepertinya kamu tidak begitu suka. Karena Ibu perhatikan, tadi kamu lebih banyak melamun. Semoga ini hanya perasaan Ibu saja ya, nak.”

Rupanya, insting seorang Ibu benar-benar kuat. Tanpa aku bilang saja, Ibu tahu kalau aku kurang sreg dengan calon yang mereka pilihkan.

“Tidak begitu, Bu. Ini pertama kali kami bertemu, Iki hanya merasa canggung saja. Makanya Iki tidak banyak bicara.” Ucapku meyakinkan Ibu.

“Bapak yakin, Annisa merupakan gadis yang baik, nak. Tolong jangan kecewakan dia.” Ucap Bapak seolah khawatir.

“Iya, Pak. InsyaAllah Iki akan berusaha semampunya untuk membahagiakan Annisa.” Meski ragu, namun aku bisa mengucapkannya dengan penuh keyakinan di hadapan Bapak.

Aku benar-benar tidak ingin mengecewakan mereka. Terlebih, aku yang meminta mereka mencarikan calon istri.

Semoga ini jalan terbaik. Semoga dibalik hal ini, ada hikmah yang manis.

Dan semoga, dengan pengorbananku menikahi wanita lain, rumah tangga Sheila tetap baik-baik saja, dan dia bisa hidup bahagia dengan suaminya yang mampu memberi apapun keinginan Sheila.

***

Sejak dari kemarin berada di kampung, aku tidak pernah mengecek ponsel, hingga membuat benda ini mati karena kehabisan baterai.

Segera kucari charger, dan mengisi ulang baterainya.

Setelah terisi beberapa persen, aku menghidupkan kembali ponsel ini karena penasaran apakah ada pesan masuk atau tidak.

Lebih tepatnya, aku penasaran apakah Sheila kembali menghubungiku?

Setelah hidup kembali, gawaiku langsung berdering beberapa kali menandakan beberapa pesan masuk.

Sebagian dari Ajis yang menanyakan bagaimana proses khitbahku.

Ada juga dari grup WhatsApp teman-teman di PT.

Dan terakhir ada chat dari Sheila.

[P]

[Ki]

[Aku ke kosan kamu, ya. Ada yang mau aku bicarakan.]

[😭😭😭]

[Tadi siang, aku ke kosan kamu, Ki. Di sana, aku hanya bertemu dengan Ajis. Dia bilang, kamu sedang pulang kampung untuk menentukan tanggal pernikahan.]

[Rasanya sesak sekali, Ki. Inikah yang kamu rasakan saat aku menikah dulu?]

[Jika kamu benar-benar akan menikah, tolong undang aku ya, Ki. Tolong izinkan aku bertemu kamu terakhir kalinya, sebelum aku benar-benar mengikhlaskan mu. Tolong izinkan aku melihatmu sekali lagi.]

Tidak terasa air mataku menetes begitu saja saat membaca isi pesan dari Sheila.

Dadaku terasa sesak. Mataku tidak dapat lagi membendung butiran kesedihan yang mewakili hati.

Sheila, aku yakin ini jalan terbaik untuk kita. Suatu hari nanti, kamu pasti akan bahagia bersama laki-laki pilihanmu.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

🏠⃟ᵐᵒᵐરuyzz🤎𝐀⃝🥀ˢ⍣⃟ₛ🍁🥑⃟❣️

🏠⃟ᵐᵒᵐરuyzz🤎𝐀⃝🥀ˢ⍣⃟ₛ🍁🥑⃟❣️

cinta sungguh menyakitkan... cinta juga nyaman jika di pihak yg benar..ermmmm aku belum pernah rasanya cinta sebernarnya...

2022-08-04

0

Noni Kartika Wati

Noni Kartika Wati

katanya Riski taat beragama kok masih ngeladenin wa istri orang,, dosa tau ki

2022-08-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!