Episode 2 (Keputusan terbaik)

#Mengejar Cinta Suamiku part 2 (Keputusan Terbaik)

Hari berlalu begitu lambat, sudah enam bulan sejak pernikahan Sheila, aku menyibukkan diri dengan bekerja.

Memang sangat tidak mudah membuang kenangan saat dulu dia menjadi milikku. Apalagi dia masih sering mengirimi pesan WhatssApp kepadaku.

Aku sudah mengganti handphone yang dibanting tempo hari, tapi untuk mengganti nomor, entah kenapa sangat berat.

Sepertinya, aku tidak ingin kehilangan kontak dengan Sheila.

Bodoh! Bodoh sekali aku ini, jelas-jelas Sheila sudah menjadi milik orang lain secara sah baik agama, maupun negara. Masih saja aku mengharapkannya.

Tapi, sekuat tenaga aku melupakan dia, kenangan itu begitu melekat di hati.

Aku selalu bilang kepadanya bahwa ‘Aku baik-baik saja’. Nyatanya, aku hidup tapi seperti mati.

Kehilangan Sheila, seperti kehilangan setengah dari nyawaku sendiri. Mengapa aku begitu mencintainya? Hingga sulit sekali untuk move on.

Meski bekerja di tempat yang sama, aku selalu menghindari bertemu dia. Tidak ingin luka di hati ini semakin menganga.

Beruntung, kami beda divisi dan shift, sehingga pertemuan kami tidak seintens dulu.

Sheila, perempuan cantik berdagu lancip itu adalah cinta pertamaku. Jadi, wajar saja rasanya kalau aku teramat mencintainya.

Aku sedang berusaha menata kembali kehidupan seperti dulu sebelum aku bertemu dengannya.

Perlahan, tapi pasti semua akan berlalu. Aku yakin, kelak saat mengingat namanya, aku tidak akan merasa sakit lagi.

****

 [Rizki, kamu harus tahu, ragaku mungkin miliknya, tapi cintaku tetap untukmu]

 [Rizki, dia memang kaya. Tapi hatinya tidak seperti hatimu. Cintanya tidak sedalam cintamu. Tapi, pantaskah aku menyesal]

 [Bodoh ya, Ki. Aku ninggalin pria sebaik kamu demi materi. Ki, bisakah kamu memutar waktu?]

 [Ki, Aku rindu. Sulit sekali melihatmu meski kita bekerja di tempat yang sama. Are you oke? Atau kamu masih belum bisa memaafkan aku?]

[Ki, kumohon jangan menghilang dari hidupku.]

Aku membaca kembali pesan-pesan WhatsApp  dari Sheila.

Dia sering mengirimi pesan semacam ini. Ada rasa bahagia mengetahui bahwa dia juga masih belum melupakanku.

Tapi, hati kecilku berpikir bahwa ini tidak benar. Bagaimana jika suaminya mengetahui selama ini Sheila masih sering mengirimkan pesan padaku?

Pernikahannya masih seumur jagung. Sheila tidak boleh menodai ikatan suci yang telah mereka bina.

Jika saja keadaan dia single, mungkin aku tidak akan merasa seperti ini. Justru, aku akan berusaha kembali mendapatkannya.

Namun, semua sudah mustahil, secinta apapun aku padanya, aku tidak boleh lagi membayangi hidup Sheila dan menjadi benalu dalam rumah tangganya.

Aku memang mencintainya, tapi aku masih sangat waras untuk tidak menodai sebuah janji pernikahan.

 [La, Aku baik-baik saja. Kamu harus bahagia dengan pernikahanmu. Bulan depan aku akan menikah. Lala, bagiku, kamu hanya masa lalu. Aku sangat mencintai calon istriku, karena dia, aku bisa melupakanmu. Jadi please, stop mengeluhkan  pernikahanmu. Hargai suamimu, hargai pernikahan kalian. Aku tidak lebih dari sekedar kenangan kecil yang pernah hinggap di hidupmu. Sedangkan dia suamimu. Orang yang harus lebih kamu utamakan dari orangtuamu sendiri.] ku kirimkan chat itu padanya tanpa ragu.

Tiga tahun dia bersamaku, tapi kesetiaannya lenyap begitu saja saat lelaki kaya itu masuk ke dalam hidupnya.

Sesakit apa pun, aku tidak bisa menjadi lelaki jahat yang sampai hati selingkuh dengan istri orang lain.

Aku harus mencari cara agar Sheila tidak lagi ‘menggodaku’ dengan pesan-pesannya.

Dan tiba-tiba saja jari jemariku refleks menekan kata-kata itu. Lalu aku  mengirimkan padanya, tidak apa bukan berbohong untuk kebaikan?

Tak lama benda pipih itu bergetar lagi menandakan pesan masuk.

[Kamu pasti bohong, Ki. Aku mengenal kamu, melebihi diri kamu sendiri. Ini hanya alasan kamu untuk menghilang dari aku kan?]

Aku  meletakan kembali handphone di atas nakas samping tempat tidur. Aku tidak punya niat membalas pesannya.

Jika aku membalas lagi chat dari dia, kurasa tidak akan ada habisnya.

Watak Sheila yang selalu kuat dengan pendiriannya. Membuatku bingung memberi alasan apalagi untuk membuatnya berhenti melakukan semua ini.

Drrrrttt... Drrtttt.. drrtttt.. drrtttt..

Gawai itu bergetar menandakan telefon masuk.

Layar di ponsel menunjukkan nama si penelepon, ‘Sheila’.

Gawai itu bergetar beberapa kali. Hening sebentar, bergetar lagi.

Sheila tidak menyerah. Dia terus menelepon sampai 20 kali.

Aku tetap tidak mengangkatnya. Kemudian ada pesan masuk lagi.

[Oke Ki, kalau memang itu benar, aku tunggu undangannya. Kalau memang BENAR kamu akan menikah. Aku janji Akan menyerah. Kamu boleh menghilang sejauh yang kamu mau dari hidupku, lalu kamu hidup bahagia dengan istrimu, aku janji tidak akan mengganggu. Tapi kalau kamu BOHONG, kamu harus tanggung jawab jika aku pergi dari suamiku dan berlari padamu. Aku sudah pikirkan ini matang-matang. Rasanya, mendengar kebohongan kamu akan menikah saja begitu sakit. Aku tidak ingin terlambat Ki, Aku tidak ingin menyia-nyiakan kamu lagi.]

Deg!

Sheila, dia memang selalu arogan dalam mengambil keputusan.

Sedikit banyak aku mengetahui karakter suaminya dari teman-teman kerja. Kenapa dia punya pikiran menyakiti hati suami sebaik itu?

Meski aku tidak tahu pasti apa yang terjadi diantara mereka, namun tetap saja, apa yang dilakukan Sheila itu salah.

Benarkah ini Sheila yang kukenal dulu? Bagaimana pun aku tidak bisa menjadi penyebab rumah tangga Sheila hancur.

Tapi aku harus bagaimana? Mengatakan kepada Sheila bahwa aku akan segera menikah, sedangkan pacar saja tidak punya.

Oh Tuhan!

Aku menyesal tidak memblokir nomornya sejak awal.

Ah, tapi percuma. Dia bisa saja dengan mudah menghubungi aku kembali dengan caranya.

Satu-satunya cara agar Sheila menyerah adalah aku harus segera menikah! Ya, MENIKAH.

Dengan begitu, dia akan berhenti berharap kepadaku. Dan kembali kepada suaminya.

***

“Hah, cariin jodoh? Gak salah lu Ki, minta dicariin ke gua? Lu minta tolong atau ngeledek sih sebenarnya? Lu kan tahu, gua juga jomblo” Ajis yang sedang asik memainkan gawainya seketika menolah kepadaku, saat aku memintanya untuk mencarikan jodoh.

Dengan masih keheranan, dia bertanya mengapa aku terburu-buru, padahal dia tahu bahwa aku belum bisa melupakan Sheila.

Ajis mendengarkan dengan seksama saat aku menceritakan semua kelakuan Sheila akhir-akhir ini.

Dari seringnya dia mengirim pesan, menelepon, dan curhat padanya tentang apa yang terjadi antara Sheila dengan suaminya.

Meskipun aku tidak pernah membalas, Sheila terus saja melakukan hal itu.

Dan lama-lama aku menjadi khawatir jika Sheila nekat meninggalkan suaminya hanya karena masih berharap kepadaku.

Ajis mengerti, kini dia paham mengapa aku buru-buru mencari wanita lain.

“Kalau lu serius mau menikah, gua saranin lu cari wanita baik-baik. Jangan sampai nanti nasib pernikahan lu sama seperti Sheila. Menikah bukan karena cinta, dan masih di bayang-bayangi dengan perasaan kepada mantan. Akhirnya, justru itu menjadi benalu. Dan orang yang dinikahi jadi korban gagal move on. Ingat Ki, pernikahan itu bukan main-main. Janji sakral saat ijab qobul itu langsung kepada Allah.”

Apa yang dikatakan Ajis memang benar. Pernikahan bukan untuk dipermainkan.

Pikiranku bertambah gusar. Akankah dengan menikahi wanita lain bisa membuatku melupakan Sheila?

Akankah dengan aku menikah, Sheila akan berhenti?

Haruskah aku jujur kepada Sheila bahwa perkataanku kemarin hanya sebuah kebohongan belaka?

Tapi bagaimana jika nanti dia benar-benar meninggalkan suaminya?

Aku takut itu akan terjadi. Aku benar-benar tidak ingin menjadi penyebab keretakan rumah tangganya.

Aku yakin Sheila hanya sedang bingung dengan perasaannya.

Dia hanya belum beradaptasi dengan karakter suaminya, sehingga setiap dia memiliki masalah, akulah orang pertama yang diingatnya dan itulah kenapa dia selalu mengirim pesan-pesan itu padaku.

“Terus menurut lu, gua harus gimana, Jis? Gua benar-benar bingung sekarang.”

Ajis yang sedari tadi mendengarkan penjelasanku nampak ikut bingung dengan situasi ini.

“Menurut gua, lu emang harus beneran nikah, Ki. Kita tahu, bahwa Sheila bukan tipe orang yang main-main dengan ucapannya.”

Ajis benar. Sheila bukan tipe orang yang main-main dengan keputusannya. Apa yang dia katakan, itu yang akan dia lakukan.

“Gimana caranya gua nikah dalam waktu dekat. Sedangkan lu tau sendiri, semenjak dengan Sheila, gua gak pernah dekat dengan wanita manapun.” Keluhku pada Ajis yang sedari tadi dengan setia menyimak keluh kesahku.

“Yaelah, Rizki. Lu ngaca sono! Lu ganteng, gua yakin gak bakal susah buat lu cari penggantinya Sheila. Tapi saran gua, cari wanita baik-baik. Kalau bisa, wanita pesantrenan. Biar lu beruntung. Lu bisa minta di carikan sama kedua orangtua lu. Karena orangtua gak mungkin pilih orang sembarangan untuk anaknya.” Sahut Ajis memberi wejangan dengan seriusnya.

“Lu sendiri kenapa enggak begitu, Jis?” tanyaku menggodanya.

“Udah. Tapi kata Emak, belum ada yang mau sama gua.” Sontak kita berdua tertawa mendengar celotehan Ajis yang menceritakan nasibnya dengan mimik muka sedih.

Baiklah, sepertinya saran Ajis adalah pilihan yang tepat. Aku harus segera menikah agar Sheila berhenti berulah.

Aku akan mencoba meminta bantuan Ibu dan Bapak untuk mencarikan calon istri.

Semoga dengan ikhtiar ini, aku menemukan jalan terbaik.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

MEMEY

MEMEY

salam kenal kak dari terbayang kenangan mantan dan wanita simpanan 😁

2022-07-17

0

Mami keyffa

Mami keyffa

semangat ki....

2022-07-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!