-Sensitifnya sang pengangguran-
Di pagi hari yang sejuk, udara yang sangat enak dihirup sungguh menyejukkan. Kicauan burung serta ayam berkokok saling bersautan, sosok Ane yang meringkuk di balik selimut perlahan membuka mata, mulutnya sedikit menguap dan mengerjapkan mata beberapa kali seakan kantuk masih menyelimutinya.
“Hoamz,”
Hampir saja ia kembali tertidur namun tidak jadi dikarenakan suara sang ibu terdengar di luar kamar yang sedang membangunkannya.
“Ane, bangun Nak, udah siang ini, rejeki kamu ntar di patok ayam, loh!” seru sang ibu di balik pintu.
“Iya-iya, ini udah bangun, kok!” Ane melirik jam di dinding menunjukkan pukul 7 pagi. Rutinitas yang dilakukan Ane saat ia sedang masa periode bulanan, ketika biasanya ia akan bangun pukul 4 subuh untuk menjalankan ibadah sholat subuh dan kemudian membantu sang ibu untuk menyiapkan sarapan, tetapi saat halangan, Ane bangun lebih siang dari biasanya.
Ane beranjak dari tempat tidur dan melangkah memasuki kamar mandi kemudian membasuh wajah dan menggosok giginya. Setelah itu, Ane keluar dan melangkahkan kaki ke dapur. Terlihat ibunya sedang sibuk membersihkan alat masak yang dipakai.
“Selamat pagi ibu tercinta,” Ane mencium pipi ibunya sayang sembari tersenyum lebar.
“Kebiasaan ih, kalau lagi halangan bangunnya siang, jadinya ibu sendirian masaknya,” ujar sang ibu sengaja memasang wajah cemberut.
“Ululuu, ibu ngambek nih ceritanya? Maaf yah Bu, udah kebiasaan sih, hehe,” Ane terkekeh geli memeluk tubuh berisi sang ibu dan memberikan sebuah kecupan manis di pipi keriput itu.
“Makanya mulai sekarang harus di ubah dong, halangan atau enggak kamu tetap bangunnya subuh, walaupun enggak bisa sholat tapi kan kamu bisa ibadah yang lain, berdzikir atau bersholawat contohnya, apalagi di jam-jam subuh malaikat turun mendoakan para umat yang sedang beribadah pada Allah, segala hajat yang dipanjatkan ataupun urusan agar segera dikabulkan dan dilancarkan oleh Allah,”
“Iya Bu, maaf yah,” pagi-pagi Ane harus menerima ceramah rohani dari ibunya, tapi sang ibu benar dan Ane akan berusaha untuk melakukan apa yang disarankan oleh ibunya tadi.
“Sana gih, sarapan, ingat yah makan yang banyak supaya kuat jalani hidup, hehe. Badan kamu juga enggak bagus kalau kurus, berisi lebih bagus,” timpal sang ibu sembari terkekeh kecil.
“Apaan sih, ibu bisa aja!” balas Ane.
Ane menarik kursi lalu mendudukinya, tak lupa ia meneguk segelas air putih hingga tak tersisa dan meraih selembar roti tawar yang diolesi mentega dan menaburi sedikit gula pasir lalu memakannya secara perlahan sembari memainkan ponsel. Meja makan sepi sebab, kedua kakaknya sudah berangkat ke cafe.
Sekedar informasi, Ane memiliki dua kakak laki-laki, yang pertama bernama Rangga Adimas dan satunya bernama Banyu Dewangga, kedua kakaknya kompak merintis sebuah usaha yang awalnya hanya berjualan di pinggir jalan dengan mendirikan stand sendiri. Kegemaran terhadap kopi membuat kedua lelaki tampan itu memutuskan untuk membuat usaha minuman berbahan dasar kopi, keduanya meracik sendiri hingga menjadi sebuah minuman lezat yang kini tengah digandrungi orang-orang bahkan usaha mereka sempat viral selain minuman yang mereka jual lezat, terlebih lagi wajah Rangga dan Banyu menjadi nilai tambah sendiri memikat para pembeli. Lambat laun, dalam kurung setahun keduanya telah berhasil membuat brand sendiri dan membeli sebuah ruko untuk lahan ia berjualan bahkan sudah memiliki beberapa karyawan membantunya mengurus cafe, bukan hanya itu mereka pun menyediakan menu lainnya, seperti cemilan bahkan makanan. Usaha yang mereka rintis melejit secara pesat berkat hasil penjualan itu pun, Rangga dan Banyu menyisihkan uang membiayai kuliah sang adik.
Ane memang tak terlahir dari keluarga yang kaya raya, bisa dikategorikan mereka hidup secara pas-pasan, bahkan sang ayah dulunya sebelum tiada, hanya seorang pegawai biasa di kantor administrasi. Bermodalkan tabungan milik ayahnya, sang ibu menyekolahkan ketiga anaknya hingga kedua putranya lulus SMA dan memilih untuk membuka usaha kopi, lain halnya dengan Ane yang dipaksa oleh kakak-kakaknya melanjutkan kuliah.
Pandangan Ane masih sibuk mengamati beberapa postingan lowongan pekerjaan yang tersebar di media sosial. Ane bangkit dari kursi dan berlari kecil menuju kamarnya, setelahnya ia duduk dan meraih laptop sembari menyalakannya. Ane kemudian membuka sebuah link yang ia dapat di laptopnya, link pendaftaran pekerjaan, Ane mengisi form tersebut secara lengkap dan tersenyum manis tak lupa bibir kecilnya merapatkan kata bismillah sebelum mengirim form tersebut. Ane berharap kali ini ia berhasil mendapatkan pekerjaan tak seperti sebelum-sebelumnya.
...****...
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan,”
Suara seorang trainer sedang memperagakan beberapa gerakan olahraga yang ditampilkan di layar televisi, setiap gerakan tersebut setia diikuti oleh gadis cantik yang merasa kalau berat badannya bertambah.
“Hosh, gila capek juga,” napasnya terengah-engah, gadis itu duduk berselonjoran kaki dan meneguk air dalam botol.
“Wih, ada yang work out, nih,” suara menginterupsi membuat gadis itu menoleh ke sumber suara.
“Apaan sih, Mas!” deliknya.
“Haha, makanya makan itu di forsir jangan apa aja masukin ke mulut,”
“Oh, Mas Banyu, cari masalah nih, yah!” Ane, gadis yang tadi sibuk berolahraga berharap lemak-lemak jahat di tubuhnya terbakar dan membuat tubuhnya kembali langsing seperti jaman kuliah, mulai kesal pada sang kakak.
“Emang kenyataan kok, walau pun jadi pengangguran tapi yah, mbok di jaga pola makannya,” mendengar kata penggungguran sisi sensitif Ane seakan tersentil hingga membuatnya sedikit tersinggung padahal sang kakak tak bermaksud apapun.
Ane bangkit dari duduknya dan melipat kedua tangannya di dada lalu menatap sang kakak kesal, “enggak usah bawa-bawa pengangguran deh, iya tahu, Ane masih nganggur, masih jadi beban kalian, Ane sadar kok, Ane cuma enggak mau orang-orang lihat badan Ane kurus karena stress mikirin loker, walau memang kenyataan makanya Ane makan banter, supaya enggak kelihatan ngenes banget, tahu ah! Mas bikin mood Ane hancur!” Ane berbalik menuju kamarnya tak peduli dengan sang kakak yang terdiam mematung.
“Eh, dek, tunggu! Ya Allah, sumpah Mas enggaklah bermaksud apa pun, hei, Ane!” Banyu mengikuti langkah kaki Ane tetapi Ane berlari dan segera menutup pintu kamarnya.
Ane menghentakkan kakinya kesal, suasana hatinya begitu kacau kali ini, entah mengapa sejak lulus kuliah dan mulai memasuki status baru sebagai 'pencaker' alias pencari kerja, yang secara kasar tentu pengangguran, sangat sensitif jika disinggung mengenai hal tersebut.
Sudah terhitung 9 bulan sejak ia dinyatakan lulus sebagai mahasiswi, Ane masih menyandang predikat pengangguran. Sudah banyak lowongan pekerjaan yang Ane lamar tetapi tak ada satu pun yang tembus. Capek, muak bahkan letih tentu saja tak bisa Ane pungkiri, acap kali menghinggapinya tapi ia selalu berhasil meyakinkan diri bahwa suatu saat akan ada rejekinya.
“Gini amat yah, jadi pengangguran apa-apa salah, makan enggak makan aja salah,” Ane mencebik kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Deva Radit
padahal bagus loh ceritanya ko gak banyak yg nglike sih
2022-10-05
0
Lutfie Wachad
ya begitulah pengangguran kadang mudah sensi....
2022-10-04
0
Duniafiksi
maaf itu typo terima kasih sudah dikoreksi;)
2022-08-21
0