Gita belum bisa memejamkan mata bahkan hingga lewat tengah malam. Pikirannya dipenuhi oleh kehidupan masa mendatang bersama keluarga baru, tak bisa membayangkan akan seperti apa dirinya nanti, jika tiap hari harus bertemu Indra. Rasanya tak sanggup, ingin sekali dia menyusul sang Abang, kuliah di sana, berharap bisa melupakan Indra. Tapi sepertinya untuk saat ini tak mungkin, kuliahnya sudah semester tujuh, bahkan dia juga sudah menyusun skripsi, jika memaksa pindah saat ini maka waktu kuliahnya akan lebih lama.
Perasaanya campur aduk menjadi satu, bahagia tentu saja saat melihat sang Mama tersenyum cerah, tapi di sisi lain hatinya sakit, harus melepaskan cintanya. Memikirkan itu semua membuatnya tak bisa memejamkan mata sedikit pun.
Melihat jam di dinding kamarnya, jarum jam sudah menunjukkan angka satu, tanpa berpikir panjang dia langsung menghubungi seseorang, sebab disana masih sore.
"Assalamualaikum, eh kenapa? Kok kaya abis nangis?" orang di seberang sana langsung terkejut saat melihat gadis itu menangis.
Ya, Gita menghubungi Hafidz, berharap dengan menghubungi abangnya dia mendapatkan nasehat dan membuat hatinya sedikit tenang.
Gita menggeleng, bingung harus bercerita dari mana. Sebab selama ini sang Abang tak pernah mengetahui jika dirinya menyimpan rasa pada Indra, sahabat pemuda itu.
"Hey, jangan buat Abang memesan tiket mendadak ya," ucap Hafidz lagi saat Gita hanya diam membisu.
"Harusnya seneng dong baru ketemu sama calon Papa," goda Hafidz.
"Justru itu Bang," sanggah Gita ambigu.
"Jangan bilang, kalau kamu menyukai Riky? Katanya kesel sama Riky, kenapa sekarang malah ditangisi?" ucap Hafidz lagi-lagi asal tebak, membuat Gita makin cemberut.
"Tau ah males! Abang enggak peka banget sih, sama kaya dia enggak peka! Kesel! Nelpon Abang berharap dapat pencerahan malah dapatnya ejekan, males ih." Gita benar-benar kesal dengan Kakak kembarnya itu.
"Oke, Abang minta maaf kalo gitu. Yaudah sekarang cerita, Abang dengerin," Hafidz mengalah, kasihan juga dengan adik kembarnya itu, terlihat sedang tak baik-baik saja.
"Bingung plus malu mau cerita," ucap Gita.
"Kalau malu cerita sama Abang, sekarang kamu ambil air wudhu, sholat malam, curhat dengan pemilik kehidupan ini. Abang yakin kamu akan lebih tenang setelah ini. Setelah itu tidur, jangan begadang, kalau kamu sakit kasihan Mama," tutur Hafidz memberi saran.
"Aku pengen nusulin Abang, boleh ya," Gita tak menanggapi ucapan sang Kakak, sebab dia sudah menebak jika Hafidz akan memberi sara seperti itu.
"Boleh aja, asal Mama mengijinkan. Aku sih malah seneng, ada teman di sini," jawab Hafidz.
Gita menghela nafas, "Entahlah Bang, bingung aku. Kalo aja enggak lagi ngerjain skripsi aku pasti udah nusulin Abang, tau ah, pusing Bang," lagi-lagi Gita mengeluh.
Melihat sang adik yang terus mengeluh, tapi tak mau menceritakan apa yang sebenarnya dia pikirkan, akhirnya Hafidz mencerca kembarannya itu, hingga Gita pun berkata jujur, meski awalnya malu.
"Kalau gitu, nanti Abang bilang sama Mama biar batalin pernikahannya aja, gimana? Pasti Mama tidak akan keberatan, apalagi kalau tahu kamu suka sama Indra. Coba cerita dari kemaren-kemaren, kan Abang enggak akan menyetujuinya," ucap Hafidz merasa iba dengan apa yang terjadi pada sang adik.
"Jangan Bang, aku akan berusaha melupakan dia Bang, demi Mama. Aku enggak akan tega menghapus senyum Mama. Mama kelihatan bahagia banget saat aku menyetujuinya tadi. Tapi entah kenapa hatiku ini rasanya berat banget sekarang, pikiranku merembet kemana-mana, padahal tadi aku udah mengikhlaskan Indra untuk jadi abangku," jelas Gita.
"Yaudah, sekarang kamu lakukan apa yang Abang bilang tadi, percayalah besok perasaanmu akan lebih baik,"
Mereka pun mengakhiri panggilan tersebut. Gita langsung mengambil air wudhu, menjalankan apa yang disarankan oleh abangnya, berharap esok hatinya akan lebih baik, bisa menerima semuanya dengan lapang dada.
🥀🥀🥀
"Puas kan Lo sekarang Bang?" ucap Riky pada Indra yang saat ini sedang duduk di kursi taman. Dia pun ikut duduk dihadapan sang Abang, memperhatikan apa yang sedang Abangnya lakukan.
Indra menaikkan satu alisnya, bingung dengan pernyataan adiknya itu, apa yang dimaksud Riky.
"Puas apanya?" tanyanya
"Puas udah misahin gue sama Gita," jawab Riky.
Bukannya simpati Indra justru tertawa mendengar ucapan adiknya, dia menggelengkan kepala melihat Riky yang kesal seperti itu.
"Justru mempersatukan bukan memisahkan, gimana sih? Kita bakalan jadi sodara, Gita bakalan jadi Kakak Lo. Lagian kalian juga enggak pacaran kan? Gue udah tanya ke Gita, kalo dia nganggo Lo cuma sebagai adik, sama seperti Revan, enggak lebih. Lo nya aja yang kepedean," ucap Indra sambil sesekali tertawa.
"Ck, sok tau Lo bang,"
"Gita sendiri yang bilang, Lo tanya aja kalo enggak percaya," timpal Indra.
"Lagian nich ya, Lo apa enggak kasihan sama Papi? Papi tu kelihatan bahagia banget saat ada Tante Sinta. Gue enggak pernah liat Papi sebahagia itu sejak kepergian Mami sama Aisah, jadi sekarang kita prioritaskan Papi dulu. Lagian perjalanan Lo masih panjang, masih banyak gadis yang lebih dari Gita, gue yakin Lo bakalan menemukannya suatu saat nanti, dan melupakan Gita," tutur Indra.
Riky terdiam, dia memikirkan apa yang diucapkan oleh abangnya. Benar juga apa kata Indra, selama ini Papi menjalani kehidupan seperti tak menikmatinya, hanya kerja dan kerja yang dipikirkan, bahkan tersenyum pun jarang ketika berada di rumah. Tapi jika dengan klien jangan salah, papi orangnya sangat ramah dan tentu saja mudah tersenyum.
Mungkin yang dikatakan Indra ada benarnya juga, cintanya dengan Gita saat ini hanya cinta monyet, biasa jadi jika melihat yang lebih dari Gita dia akan mudah berpaling.
Riky menghela nafas panjang, dia merasakan sesak di dadanya, Gita pun pasti sama. Tapi semalam dia melihat Gita begitu tegar dan tak terlihat kesedihan diwajahnya.
"Jadi rindu Mami sama Aisah, udah lama engga ke sana," celetuk Riky mengalihkan pembicaraan, tak ingin terlarut dalam kubangan patah hati.
"Gas ke sana sekarang, entar sore gue enggak bisa. Udah janjian sama Papi buat beli seserahan." Indra menutup laptopnya, dia juga ingin mengunjungi makan sang Mami dan adiknya.
Pernikahan Mama Sinta dan sang Papi memang akan diadakan dalam waktu dekat, tidak akan ada resepsi, hanya syukuran dan mengundang keluarga besar serta tetangga dekat saja, mengingat ini bukan pernikahan pertama untuk keduanya.
Kedua pemuda itu pun langsung menuju pemakaman yang letaknya lumayan jauh dari rumah mereka. Sejak datang ke Bandung, Indra belum sempat berkunjung ke makam sang Mami.
"Andai kecelakaan itu tidak terjadi, sekarang Aisah udah besar ya Bang. Tapi ternyata Allah lebih sayang sama mereka," Riky membayangkan wajah Aisah yang ceria. Meski dulu umurnya masih kecil, tapi dia masih ingat betul seperti apa wajah adik kecilnya itu.
"Itu sudah menjadi takdir Mami sama Aisah, kita harus mengikhlaskannya, ya meskipun dulu gue sempet kek gitu, tapi sekarang gue udah ikhlas mereka pergi," timpal Indra, mengingat bagaimana dirinya dulu saat ditinggal oleh sang Mami dan Aisah.
"Yang penting dia kita untuk mereka tak pernah putus," tambahnya.
Riky mengangguk setuju dengan ucapan sang Abang.
🥀🥀🥀
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Anisa Siwi
Indra sama Gita kan bukan mahrom, jadi masih boleh nikah meskipun ortu mereka nikah. ayook semangat 💪💪
2022-06-17
1
Surtinah Tina
Gita sama Indra...sama" merelakan kebahagian orang tuanya. daripada kebahagiaan sendiri
2022-06-16
2
Entin Fatkurina
author pasti sudah mempersiapkan jodoh gita, yang benar benar mencintainya setulus hati, lanjut lanjut lanjut lanjut lanjut lanjut
2022-06-16
1