PH 02

Setelah melakukan perjalanan lumayan jauh dengan memakan waktu lama, Egi segera membersihkan badannya dan tertidur lelap.

Suara dering ponselnya membangunkan dirinya. "Mama." tertera tulisan MAMA pada layar ponselnya. Segera di gesernya gambar hijau di layar ponselnya.

"Ada apa ma?" tanya Egi dengan santai tanpa beban. Seketika Egi menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar suara melengking dari ujung ponsel.

Tentunya, sang mama pasti memarahi Egi. Lantaran, dirinya tidak mengabari atau menghubungi sang mama jika dia sudah tiba.

Egi hanya diam, sementara Nyonya Tiwi masih mengomel. "Iya ma, maaf." ucap Egi ketika sudah tidak mendengar omelan dari sang mama.

"Ya sudah ma, Egi mau melanjutkan tidur." Egi dengan seenaknya mematikan panggilan dari mamanya. Sungguh anak tidak berakhlak.

Pasti di ujung telepon Nyonya Tiwi sedang ngomel kesal karena sang anak mematikan panggilan teleponnya secara sepihak.

Lagi, sedang nyenyak dalam tidurnya, bel apartemennya berbunyi berkali-kali. Membuat Egi kesal, hingga mengambil bantal dan menutupkannya pada wajahnya.

Tapi percuma, suara bel apartemen masih terdengar di telinganya. "Sial. Siapa lagi. Senang sekali mereka mengganggu waktu istirahat ku." kesal Egi, mengambil bantal dan melemparkan pada dinding. Meluapkan rasa kesalnya.

Dengan langkah malas dan rasa kesal, Egi membuka pintu, dengan raut wajah ditekuk. Menampakkan sosok lelaki tampan, yang tak kalah dari dirinya.

Tanpa permisi dia menyelonong masuk ke dalam apartemen Egi. "Kenapa kamu tidak memberitahu jika akan ke sini?" tanya Ditya, sahabat Egi.

"Ckk... Menganggu saja." Egi melempar bantal kursi ke arah Ditya. Dan dengan gesit Ditya menampisnya, hingga tidak mengena pada wajahnya.

"Dari mana kamu tahu?" tanya Egi.

"Asisten kamu. Tadi kita bertemu di restoran." jelas Ditya.

Hari-hari Egi di lewati dengan bekerja dan bekerja. Hanya itulah yang Egi dapat lakukan untuk melupakan sosok perempuan yang telah mencuri hatinya.

Hingga dirinya mendengar kabar jika Ella akan menikah dengan Vano. Bahkan Ella sendiri yang menghubungi dirinya lewat ponsel, memberitahu kabar jika dirinya akan menikah. Sekaligus mengundang dirinya untuk datang ke acara sakral tersebut.

"Tuan, anda tidak apa-apa?" tanya Beni, asisten Egi.

"Dia akan menikah. Huft,,, apa luka di hati ini akan sembuh?" Egi menengadahkan kepala. Melihat ke langit-langit ruang kerjanya.

Tok,,tok,,tok,,

"Masuk." ucap Egi mempersilahkannya.

Seorang perempuan dengan pakaian sedikit ketat, namun masih terbilang sopan masuk dengan membawa map di tangannya.

"Tuan, ini berkas yang harus anda tanda tangani." ucap Selly, sekertaris yang bekerja di perusahaan Egi. Selly menaruhnya di atas meja, segera dia undur diri dan meneruskan pekerjaannya.

"Kalau begitu, saya permisi dulu Tuan." pamit Beni. Tapi langkahnya terhenti saat atasannya mengeluarkan suaranya lagi.

"Apa aku harus datang?" tanya Egi, entah pertanyaannya di tujukan pada siapa.

"Cinta,, memang sangat hebat. Padahal cuma satu kata. Bisa membolak-balikkan kehidupan seseorang." batin Beni menghela nafas panjang.

Benipun bingung harus berkata apa. Apalagi dirinya tidak tahu tentang cinta. Dia memang sudah berkeluarga. Namun bukan kerena cinta dia menikah. Tapi dirinya di jodohkan oleh kedua orang tuanya.

"Semoga perkataan gue nggak salah." batin Beni.

"Tuan, lebih baik Tuan ikuti kata hati Tuan saja." saran Beni dengan bijak.

"Kata hati." Egi tersenyum getir. "Kamu tahu Ben, apa kata hatiku?" tanya Egi tanpa memandang ke arah asistennya tersebut.

"Tidak tahu Tuan." jawab Beni.

"Rebut Ella. Jadikan istriku. Hanya milikku." ucap Egi datar.

"Itu bukan cinta Tuan, tapi obsesi." celetuk Beni segera memukul kecil mulutnya sendiri.

"Makanya, jangan pernah bilang. IKUTI KATA HATI." ucap Egi kesal.

"Salah lagi." gumam Beni masih bisa di dengar Egi.

"Karena kamu memang salah. Sana pergi." Egi mengibaskan tangannya.

"Kamu sama sekali tidak membantuku. Malah semakin membuat mood ku hancur." omel Egi.

"Permisi Tuan." pamit Beni.

"Panggilkan Selly. Siapa tahu dia lebih pintar dari pada kamu." sindir Egi.

Tidak lama setelah kepergian Beni, Selly masuk ke ruang kerja Egi. "Tuan memanggil saya." kata Selly dengan sopan.

"Sell, mantan kekasihku mau menikah. Apa aku harus datang ke acara tersebut?" tanya Egi menatap Selly.

"Mampus kamu Sell, salah jawab pasti kena omel. Kenapa tadi pak Beni nggak bilang soal ini." omel Selly dalam hati.

Selly mengira jika Boss memanggil dirinya karena masalah pekerjaan. Ternyata dugaannya meleset.

"Maaf pak, saya nggak tahu pak. Soalnya, mantan saya belum ada yang menikah." jawab Selly mendapat pelototan dari Egi.

"Ckk,,, lagian siapa yang ingin tahu tentang mantan kamu. Saya bertanya tentang saya." seru Egi bertambah kesal.

"Mana saya tahu pak. Mau datang ya datang saja. Ribet banget." gumam Selly masih terdengar di telinga Egi.

"Apa?" tanya Egi.

"Tidak pak." ucap Selly dengan jantung berdebar.

Berdebar bukan karena jatuh cinta, tapi berdebar karena takut akan mendapat amukan karena amarah dari Bossnya.

"Maaf pak, boleh saya keluar. Pekerjaan saya masih banyak." kata Selly mencari alasan. Berlama-lama di dalam ruangan, bersama boss yang sedang mode galak akan sangat berbahaya.

Meski berkata benar, pasti tetap salah. Riweh.

"Tidak Beni, tidak kamu. Ternyata sama saja. Kalian benar-benar tidak berguna. Sudah sana, keluar." ucap Egi dengan kesal.

"Permisi pak." segera Selly segera meninggalkan ruangan atasannya.

"Pak Beni, kenapa bapak tidak bilang." geram Selly, ternyata Beni masih ada di depan meja kerjanya.

"Kamu dapat marah juga." tebak Beni saat Selly keluar dari ruangan Egi dengan wajah di tekuk.

"Tidak usah mengejek pak. Bukankah kita sama" tebak Selly tersenyum remeh pada Beni, asisten atasannya.

"Lagi pula kenapa pak Beni saja yang ngasih solusi. Biasanya orang sudah menikah itu lebih peka terhadap kata CINTA." ungkap Selly yang tidak mengerti jika Beni menikah karena di jodohkan.

"Lah, memang kamu tidak pernah pacaran. Biasanya perempuan lebih tahu." kekeh Beni.

"Saya kalau pacaran, pacaran saja. Nggak perlu pakai cinta. Nanti malah jadi ribet pak." celetuk Selly.

"Maksudnya?" tanya Beni benar-benar tidak mengerti maksud perkataan Selly.

"Ya kalau pas lagi sendiri. Nggak punya pasangan. Terus ada yang ngajak pacaran. Saya terima saja. Yang penting orangnya ganteng. Dan dompetnya tebal. Beres." oceh Selly.

"Nanti kalau putus nggak akan merasakan sakit hati." imbuh Selly.

Hayyooo,,, siapa yang kayak Selly. Nggak ada perasaan cinta, tapi ada cowok yang mengungkapkan perasaan langsung di terima. Alasannya,,, lagi kosong nih hati.

"Bapak pasti nggak pernah ya. Ya pastilah. Bapak kan sudah punya istri. Pasti saling cinta. Hingga akhirnya menikah." ucap Selly sok tahu, dengan suara bahagia.

"Selly Marsella, saya di jodohkan." ungkap Beni menatap tajam ke arah Selly dan membalikkan badan. Melangkahkan kakinya meninggalkan Selly yang masih terpaku di tempat.

"Astaga Selll." dengan pelan Selly menepuk jidatnya sendiri.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!