Dengan wajah yang sumringah driver taksi online mengambil dan mebawakan barang barangku, 1 tas pakaian besar dan 1 kantong kresek.
Dia mengikutiku dari belakang sampai di depan pintu rumah orang tuaku. Aku sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada driver taksi online karena sudah menerima orderanku dan mengantarku sampai disini. Rumah orang tua ku memang masih satu kota dengan rumah mas Angga, tapi rumah ku berada di pinggiran kota, jaraknya sekitar 20-30 menit kalau pakai mobil dan kalau tidak macet.
Setelah berpamitan, driver taksi itupun pergi. Tinggallah aku sendiri di depan pintu rumah orang tuaku sambil menggendong Ziva anakku.
Aku terdiam mematung, sejenak aku ragu untuk mengetuk pintu rumah yang telah kutinggali selama 25 tahun sebelum aku menikah.
Kuberanikan diriku mengetok pintu rumah ini.
Tok tok tok tidak ada jawaban dari dalam. Wajar saja, jam segini orang rumah pasti sedang tertidur lelap. Kuulangi sebanyak tiga kali. Pada ketokan ke empat kulihat sepintas dari jendela seseorang berjalan menuju ke arah pintu.
Saat membuka pintu, ibu terkejut melihatku sedang berdiri sambil memeluk Ziva dan ada tas disampingku. Ibu mengambil barang barangku sambil menuntunku untuk duduk di kursi ruang tamu.
"Duduk dulu Nak. Kenapa datang kemari jam segini?" Tanya ibu dengan lembut.
Ayah keluar dari kamar, tak kalah terkejut melihat putri sulungnya yang datang pada saat ini. Ayah langsung mengambil Ziva dalam pelukanku. Untunglah anak ku tidak terbangun. Dia seperti putri tidur yang polos, dan belum mengerti tentang apa yang terjadi. Ibu berdiri bergegas ke dapur, dan kembali dengan membawa teh manis hangat.
"Minumlah" kata ibu. Sekali lagi dia bertanya.
"Apa yang terjadi Nak?" Tanya ibu dengan suaranya yang lembut tanpa terkesan mengintimidasi.
Aku tidak menjawab, tak tahu harus bicara mulai dari mana. Air mataku jatuh, walau sudah berusaha kutahan dengan segenap kekuatan tapi tangisan ini lolos dari bibir ku. Ibuku langsung merengkuh aku dalam pelukannya. Ya, beliau seakan tahu bahwa aku perlu waktu untuk berbicara. Seperti seorang anak kecil yang habis terjatuh, dan menangis dalam dekapan ibunya. Begitulah aku menumpahkan air mataku didalam dekapan wanita yang melahirkanku.
Ya, aku bersyukur lahir dari wanita seperti ibuku.
Dia wanita yang kuat dalam mendampingi Ayah dan merawat ketiga putrinya. Kalau kami anak-anak melakukan kesalahan, dia akan lebih dulu mendengarkan penjelasan dari kami kemudian menasihati kami dengan tegas tapi penuh dengan kasih sayang.
Kami bertiga tumbuh menjadi wanita wanita yang kuat, tapi lemah lembut serta menghargai orang lain. Ibulah yang menjadi contoh dan teladanku saat aku berumah tangga.
Tapi aku terlalu lemah terhadap suami dan keluarganya. Aku berusaha melayani mereka dengan tulus, tapi akhirnya aku malah selalu dihina dan direndahkan.
Teganya Mas Angga padaku. Padahal aku tak pernah menuntut apapun darinya. Gajinya dipegang oleh Ibu Mertua, karena Ibu mertua yang mengelola keuangan di rumah itu. Dari mulai membayar tagihan air, listrik, wifi, sampai belanja kebutuhan dapur dan kebutuhan kebutuhan lainnya diatur oleh ibu mertua.
Sesekali Ibu dan Fani akan mengajakku belanja kebutuhan dapur, tapi untuk membawakan seluruh belanjaan seperti seorang pembantu dan tentu saja sambil menggendong anakku, karena aku selalu membawa Ziva kemanapun aku pergi.
Kecuali ada kegiatan tertentu di kantor Mas Angga yang hanya sekitar dua atau tiga jam, Mas Angga akan membawa Ziva pergi tanpa mengajakku. Akupun tak berani menawarkan diri atau memaksakan diri untuk ikut dengan mereka.
Salahku begitu lemah dan tak berani bicara tentang isi hatiku. Aku pikir menjadi seorang isteri itu harus diam, tidak banyak bicara dan mengomel serta ikut semua perkataan suami, selama suami tidak menyalahi hukum dan agama. Ya, selama ini kupikir mas Angga suami dan ayah yang baik. Tapi ternyata... 'Ah, sudahlah aku capek menangis dari tadi karena mas Angga.' Batinku.
Ku lihat ayah pergi ke kamar Regina adik bungsuku. Beliau membangunkannya dan menyuruh Gina pindah untuk tidur dikamar Reva adikku yang pertama. Kamar itu dulunya memang adalah kamar tidurku, sebelum aku menikah dengan Mas Angga.
Kamar Gina sekarang sudah dijadikan gudang, karena paling kecil dibandingkan ukuran kamar aku dan Reva. Ayah meletakkan Ziva yang masih tertidur nyenyak diatas kasur kamar tidurku dulu.
Ah, Aku juga beruntung memiliki ayah seperti beliau. Aku bahagia terlahir sebagai anak dari ayah dan ibuku. Aku sangat menghormati ayah, beliau seorang pekerja keras dan suami dan ayah yang bertanggung jawab pada keluarga.
Dulu ayah bekerja di sebuah perusahaan media cetak yang ternama di kotaku. Dia seorang editor dan bagian teknik apalah aku kurang mengerti. Kadang beliau pulang larut malam karena harus mengejar dead line berita yang akan keluar subuh subuh.
Ayah berusaha mencukupi seluruh kebutuhan isteri dan kami ketiga putri-putrinya. Ibu kadang membantu ayah dengan cara menjual hasil perkebunan dari belakang rumahku, seperti ubi, pisang, tomat, cabai, dan beberapa jenis sayur dan buah buahan lainnya. Untunglah kami masih memiliki lahan yang cukup luas di belakang rumah dan bisa menghasilkan. Hasil penjualannya biasa ibu pakai untuk tambahan pendidikan kami, sisanya di tabung untuk keperluan mendesak, atau jika ada anggota keluarga yang sakit.
Sekarang ayah sudah tidak lagi bekerja di perusahan media cetak. Perkembangan zaman menggeser kebiasaan masyarakat membaca surat kabar dari media cetak menjadi media elektronik. Beberapa pegawai harus kena imbas dari kurangnya pemasukan perusahaan. Ayahku salah satu pegawai yang kena PHK dari perusahaan. Bukan karena ayah bukan pegawai yang baik, tapi karena faktor umur. Dengan bermodalkan uang pesangon dan tambahan dari tabungan ibu, saat ini mereka membuka warung di depan rumah.
Kulihat Gina keluar dari kamar yang dimasuki ayah tadi.
"Kak Reyna?" Kata Gina masih dengan muka bantalnya yang terkejut melihatku berada di rumah saat dia keluar dari kamar.
"Ssstt, besok saja bicara pada kakakmu. Pergilah tidur!" ibu meletakkan telunjuk di depan wajahnya, dan mengarahkan Gina untuk masuk ke kamar Reva.
Saat ini aku sudah mulai tenang, dan tidak menangis lagi. Aku bersyukur disaat seperti ini aku bersama dengan Ibu. Ibu adalah orang pertama yang akan memarahiku ketika aku salah, Ibu orang pertama yang akan memeluk ku ketika aku jatuh. ibu adalah orang pertama yang akan melindungiku.
Ibu tahu saat ini aku belum siap untuk bicara, beliau memberiku ruang untuk menenangkan diri dulu tanpa direcoki dengan pertanyaan-pertanyaan ataupun pernyataan yang dapat membebaniku dan membuat aku tertekan. Inilah rumah yang sebenarnya tempat dimana aku pulang - Ibu ku, wanita yang melahirkanku.
"Istirahatlah dulu Na. Kamu pasti belum tidur kan?"
Dengan lembut Ibu menuntunkan masuk ke dalam kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Puspa Trimulyani
mengharu biru perasaan ku baca part ini
2023-01-16
0
Puspa Trimulyani
aku terharu 😭😭😭
2023-01-16
0
Rina
lah kok bisa gaji suamimu yg nerima emaknya ... kalau anaknya blm nikah sih okelah... sambil ngajarin anak tentang ngatur keuangan.
waaah... sudah ga bener nih suami macam apa kau.. kalau kamu niatnya sedekah buat orang tua, kasih semampumu. jangan semua dibrukne ng emakmu..😠
2023-01-15
0