Setelah perdebatan semalam pagi ini, suasana rumah tampak sedikit aneh, berkumpul di meja makan tanpa ada saling bertegur, Hana juga memilih untuk diam, memilih sibuk dengan makannya, hingga suapan terakhir membuat Hana sedikit tersedak. "Suga, Hana tolong nanti pulang lebih awal Bapak ingin membicarakan sesuatu dengan kalian," ucap Bapak setelah itu Bapak berdiri meninggalkan meja makan begitu saja.
Hana yang masih terkejut dengan ucapan Bapak sedikit merengutkan keningnya, kemudian menoleh ke Ibu dan ke Kakaknya
dan masih dengan tatapan tanya Hana.
"Ayo, Kakak antar," ucap Suga sembari berdiri.
"Sebentar, Hana cuci dulu piringnya Kak."
"Sudah, untuk sekali ini biar," kembali Suga berucap.
Hana langsung berjalan menuju kamar, mengambil tas dan yang lainnya, setelah berpamitan tanpa banyak bicara Ibu menghantar Hana hingga teras, sembari menatap dua anaknya dengan gelisah.
Tak seperti biasanya Kak Suga melajukan motornya sedikit kencang, hingga suara berdecit kencang, mengejutkan Hana.
"Kakak ... ucap Hana sembari menepuk bahunya. Pelan, di depan banyak anak-anak."
Kini Hana memilih turun dan membuka helm, belum juga kaki Hana sampai di gerbang.
"Bu Guru ... teriak mereka seperti biasanya."
"Pagi, anak-anak, hayo kita masuk ke dalam," ucap Hana pelan.
"Sabar, sebentar," kembali Hana berucap.
"Kak Hana berangkat," ucap Hana sembari meraih tangan Kak Suga.
"Hati-hati jangan ngebut," ucapnya lagi.
Sembari melangkah masuk dan sudah melakukan kegiatan-kegiatan di pagi ini dan semua itu tak luput dari pandangan sang Kakak. Nampak senyum dari sang Kakak dan kembali melajukan motornya.
Tak terasa hari ini berjalan serasa begitu cepat, mengingat pesan Bapak, Hana hanya menghembuskan napas panjang. Masih pukul dua siang dengan malas Hana membereskan semua berkas miliknya. Menata rapi di meja. Sengaja tak membawa pulang ke rumah.
Setelah berpamitan pada beberapa Guru yang lainnya Hana segera pulang, bergegas berjalan menuju halte, hingga beberapa menit angkot yang di nanti-nanti akhirnya datang juga. Ada terbersit rasa enggan untuk pulang ke rumah saat mendapati tingkah aneh Bapak.
Menghembuskan napas, kemudian melangkah masuk ke halaman. Hampir ashar saat Hana sampai di rumah, melihat Ibu tengah sibuk menyiram bunga kaktus mini di teras. "Assalammualaikum," salam Hana dan itu membuat sang Ibu langsung berbalik.
Tersenyum saat melihat siapa yang datang. "Sudah pulang Nak," ucap Ibu sembari mengusap tangan basahnya ke apron.
"Hana mengambil tangan Ibu untuk salim dan duduk di kursi teras. "Bapak belum pulang Bu?" tanya Hana pelan.
Mendengar pertanyaan Hana, Ibu langsung menghentikan menyiram, meletakkan gayung yang di pegangnya kemudian duduk di kursi sebelah Hana.
"Maafkan ucapan Bapak kemarin Hana, dan untuk nanti, dengarkan dulu Bapak kamu bicara," ucap Ibu memberitahu.
Hana hanya menghela napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan kasar. Tak menjawab ucapan Ibu, kini Hana hanya menatap ke arah halaman.
"Han, apapun yang nanti Bapakmu ucapkan tolong jangan menyela dulu," ucap Ibu sambil menatap ke arah halaman juga.
"Sebenarnya Ibu juga kurang setuju dengan rencana Bapakmu Hana, tetapi kau tahu sendiri bagaimana watak keras Bapakmu itu."
Kemudian Ibu terdiam saat melihat mobil Bapak masuk halaman dan tak lama Kak Suga menyusul di belakangnya.
Melihat Bapak datang Hana dan Ibu bergegas masuk rumah, Hana memilih melangkah ke kamar, sementara Ibu ke dapur. Hana langsung merebahkan diri di kasur, menyetel TV yang jarang Hana lihat. Menyalakan asal saja, tanpa memilih chanel yang pasti.
Tanpa Hana sadari, Hana tertidur hingga hampir magrib. Terbangun saat terdengar suara ketukan di pintu dan beradu dengan suara dari TV yang samar-samar Hana dengar. Mematikan TV yang sedari tadi menyala.
"Hana ... panggil Ibu sembari membuka pintu."
"Selepas shalat magrib di tunggu Bapak, ingat itu," ucap Ibu memberi tahu.
Segera Hana menjalankan ibadah wajib yang hampir tertinggal. Setelah shalat Hana bergegas menuju ruang tengah, terlihat Kak Suga dan Ibu sudah duduk di depan Bapak. Melihat Hana keluar, terlihat wajah kaku Bapak tanpa senyum.
Hana memilih duduk dekat Kak Suga. Bapak langsung melihat dengan aneh. Hingga beberapa menit kemudian.
"Menyambung percakapan yang kemarin," ucap Bapak dengan suaranya yang besar.
"Suga, Bapak tak ingin kau menyela seperti kemarin," ucap Bapak lagi.
Menatap kami satu persatu.
"Bapak di sini hanya sebagai penyambung lidah Nenek Hana, saat ini Nenek sudah sering sakit-sakitan dan hanya satu keinginannya melihatmu menikah dan Bapak rasa usiamu juga sudah cukup matang," ucap Bapak tanpa jeda.
"Han, saat ini Nenek sudah menemukan jodoh yang tepat untukmu," ucap Bapak sembari menghela napasnya dalam dan berat. "Sebenarnya Bapak sudah menolak, perjodohan ini dan itu menyebabkan Nenek mu kembali masuk rumah sakit," kembali Bapak bercerita.
"Han, tolong terima perjodohan ini, jangan buat Nenek mu kembali sakit," ucap Bapak pasrah.
"Pikirkan baik-baik," ucap Bapak sembari berdiri.
"Pak ... teriak Hana dan itu membuat Kak Suga dan Ibu langsung menoleh, sementara Bapak masih diam berdiri."
"Kenapa Bapak Jahat, Bapak langsung menyetujui perjodohan ini, aku menolak dan tidak mau Pak," ucap Hana kini sudah menangis.
"Hana masih ingin mengajar Pak, Hana menyukai anak-anak. Hana sangat, sangat menolak perjodohan ini Pak, Hana menolak," ucap Hana di sela-sela tangisnya.
Tanpa menghiraukan tatapan Bapaknya Hana langsung berlari masuk kamar, membanting pintu dan menguncinya. Tangisnya pun makin menjadi, serasa tak memiliki harapan untuk esok, ketakutan akan dunia kecilnya menghilang dan senyum wajah-wajah kecil yang selalu menghiburnya. Masih terus menangis hingga kini hanya terdengar isakan- isakan kecil yang menyesakkan hatinya.
Akhirnya Hana terlelap dengan sendirinya tanpa Hana sadari, hingga pagi menjelang, saat sinar matahari dengan nakal menerobos tirai jendela kamarnya. Sedikit mengerjapkan mata, seakan mata Hana menebal dan pedih.
Kemudian bangun dan langsung menuju cermin melihat sejenak matanya.
"Bengkak," ucapnya pelan. Berjalan dengam lesu dan duduk di ranjang, sesaat melirik jam di nakas, tak berkata apa-apa Hana langsung kembali merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit kamar dengan nanar, mengingat percakapan semalam, membuat air mata Hana kembali keluar, menangis dalam diam.
Hanya rasa sesak di hatinya saja yang semakin penuh, setelah puas menangis Hana langsung menuju kamar mandi.
"Sudah siang dan tak mungkin aku datang ke sekolah dengan wajah sembab ini.
Memilih untuk tak keluar kamar, Hana tak membuka tirai jendela atau menyalakan TV, berkutat di mejanya sesaat dan kemudian kembali menghabiskan waktu di atas kasur.
Berkali-kali pintu di ketuk, tetapi sedikit pun Hana tak punya keinginan untuk membuka, hingga suara Kak Suga memanggil dengan sedikit mengancam membuat Hana tergerak hati untuk membuka pintu.
Terlihat raut wajah lega dari Kak Suga dan Ibu saat melihat aku membuka pintu.
Ibu langsung membawa makanan dalam nampan dan menaruh di kamar, karena berkali-kali aku menolak untuk makan di meja makan, Ibu merangkul sesaat.
"Jangan seperti ini, lihat wajah Hana, cantiknya jadi hilang, kasihan anak didikmu jika melihat wajah Gurunya bengkak seperti ini," mendengar ucapan Ibu hati Hana sedikit menghangat.
"Makanlah, Hana. Semua pasti ada jalan keluarnya, Nak," ucap Ibu sembari ke luar kamar. Kak Suga kemudian merangkul dengan erat.
"Jangan kunci pintunya, Kakak akan betul-betul mendobraknya nanti," ucap Kak Suga mengingatkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments