#5 AKU MULAI MELIHAT MEREKA

"Mbok, setelah kejadian itu, Mbok pernah ngalamin kaya saya? Ngeliat ada penampakan gitu..?" tanyaku sore harinya. Seharian itu, aku ikut kemana saja Mbok Jum berada, kecuali saat ia masuk kamar ujung itu. Juga kecuali naik ke lantai dua.

Tante Santi tidak pernah mengatakan larangan bagi anak kos untuk naik ke lantai dua, tapi aku dengar dari Fay dan Lia, selama ini sudah jadi aturan turun temurun bahwa kami anak kos tidak boleh naik kesana.

Lagian juga aku ogah, kalau ada yang ilang ntar ketempuhan. Mbok Jum sempat terdiam, tak langsung menjawab pertanyaanku tadi. "Kalau Mbok jawab, Mbak Feli janji nggak takut?"

Waduh..!!

"Iya, janji" aku menyilangkan jari telunjuk dan jari tengah di balik tubuh. Biar ngga dosa.

"Terus, satu lagi, Mbak. Janji ya jangan ada anak kos lain yang tau. Mbak Feli juga jangan cerita-cerita apa yang Mbak alamin. Ntar pada takut semua.." "Iya..." kali ini jari tangan kiriku yang kusilangkan

seperti tadi. "Pernah. Mbok pernah ngeliat" ia berbisik.

"Mbak Lastri...?"

aku balas berbisik. "Iya.."

Duh..

"Tapi udah lama. Beberapa bulan habis kejadian itu"

"Ngeliatnya gimana, Mbok?"

"Beberapa kali gitu, Mbak. Pertama waktu Mbok beresin kamarnya bareng keluarga Mbak Lastri. Bapak dan Omnya waktu itu yang dateng, Ibunya nggak. Pingsan pingsan terus, kata Bapaknya.

"Nah, Mbok ngeliat Mbak Lastri berdiri di deket lemari baju. Cantiiik sekali" Glek...

"Terus, Mbok. Ngomong apa dia?"

"Nggak ngomong apa-apa, Mbak. Diem aja

berdiri"

Dia...!!!

Mbak Lastri...berdiri memakai gaun putih

panjang. Dia tersenyum...cantik sekali.

Lalu menghilang dari pandanganku.

"Feli...". Bisikan itu terdengar dekat di samping telingaku. Sudut mataku menangkap sosok itu. Pipiku terasa dingin saat dia menyentuhnya.

Mbak Lastri...!!!

"Mbak..Mbak Feli...!!". Suara Mbok Jum menyadarkanku. Kugerakkan leherku melihat ke kiri kanan, sosok Mbak Lastri sudah menghilang. Kuraba pipiku...masih terbayang jelas rasa dingin tadi. Seketika tubuhku rasanya lemas sekali, tenagaku seperti terbuang habis. Kutarik nafas panjang berkali-kali.

"Mbak Feli kenapa?". Mbok Jum mengguncang tubuhku lagi.

"Eng-Nggak papa, Mbok"

"Barusan Mbak tau-tau diem aja kaya patung, ngagetin Mbok.."

"Jangan-jangan, Mbak ngeliat..." katanya sambil menengok sekeliling.

Kuputus kata-katanya.

"Ssst...iya, Mbok. Barusan aku liat dia" bisikku pelan sekali. "Dia senyum. Cantik sekali" Mbok Jum mengelus lenganku dan menepuknya pelan.

"Ya udah, yang penting Mbak baik-baik kan?". "Doain aja dia, biar damai disana"

"Iya, Mbok. Tapi malem ini Mbok temenin aku tidur ya di kamarku"

"Sampe anak-anak pada pulang ke kos"

tambahku.

"Iyaa...tenang aja Mbak"

×××××××

Sesungguhnya, aku kangen kamu, dimana dirimu, aku ngga ngerti

Dengarkanlah Kau tetap terindah, meski tak mungkin bersatu Kau slalu ada Di langkahku...

"Busyet, Kahitna, rapuh amat sih lagunya pagi pagi?" ledekku ke Fay pagi itu. Fay nyengir kuda.

"Kan radio, bukan aku yang milih lagunya"

Hari demi hari berlalu sejak kejadian bersama Mbok Jum itu. Dan aku tidak pernah melihat sosok Mbak Lastri lagi.

Sebenarnya benakku bertanya-tanya, Why me..?

Kenapa aku yang baru di kos malah diliatin penampakan gitu. Kenapa bukan anak-anak kos yang lain...? Tidak tahu juga jika ada yang pernah, tapi setidaknya aku belum pernah dengar mereka bercerita hal yang menyeramkan di kos ini.

"Fel.." lamunanku.

Fay memanggil, membuyarkan "Kamu punya pacar?" tanyanya.

Halahh, pertanyaan paling malesin. "Enggak. Eh, belum. Memang kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

"Mau ta' kenalin sama temenku?"

"Anaknya cakep lho, cuma agak bad boy, cocok lah sama kamu" Gubraakk...

"Dih...emangnya aku nggak bisa cari cowok sendiri apa? Pake dikenal-kenalin.." jawabku sewot. "Bad boy lagi yang mau kamu kenalin..!!" tambahku.

Fay nyengir lagi. "Ohya, kok kamu bisa nyimpulin dia bakal cocok sama aku?"

"Makannya banyak. Sama kaya kamu. Hahaha..." Fay ngakak.

Asem... Pulang kuliah, kelas kuliah sore berakhir jam setengah enam. Sepanjang kuliah aku kurang bisa berkonsentrasi,

perut keroncongan karena tidak sempat makan. siang. Begitu keluar kelas, secepat kilat aku berlari menuju warung di sebelah kampus.

Sudah terbayang nikmatnya sepiring..eh..dua piring nasi, tambah lele goreng, sambil tenggorokan diguyur teh manis panas.

Sedaap.. Sampai di depan warung, Waduh...

Penuh sekali pembeli, sampai banyak yang berdiri mengantri.

"Mas, masih banyak yang antri?" tanyaku pada salah seorang pelayannya. "Eh, Mbak Feli, isih lumayan akeh iki Mbak. Setengah jam-an lah" jawabnya sambil menata gelas

dan piring.

"Wah, suwi yo. Yo wis, matur nuwun Mas" aku melangkah meninggalkan warung itu. Baru sepuluh meter melangkah di trotoar, tiba tiba,

"Feliii...!!!" ada suara memanggil. Sangat akrab di telingaku. Fay, duduk di atas sepeda motor, di belakang seorang pria berhelm half face. Wajah pria itu samar tertutup kaca helm berwarna agak gelap. Tubuhnya dibalut jaket biru yang sudah memudar warnanya, kontras dengan baju Fay yang berwarna pink menyala. Fay turun dari motor dan menghampiriku.

"Fay...lho kamu kuliah sore juga? Bukannya kamu hari ini pagi doang ya?" sapaku.

"Nggak kuliah, ke perpus doang nyari buku buat bikin paper" jawabnya. "Eh iya, ini kenalin temennya Tomas, yang kemaren aku cerita itu..." lanjutnya.

Tangannya memberi isyarat memanggil pria itu. Pria itu menyetandar motor, lalu turun dari motornya. Tangannya menggeser kaca penutup helm keatas, menunjukkan wajahnya. Dia tersenyum,

Ih...ada lesung pipinya. Manis juga.

Dia mengulurkan menyebutkan namanya, sambil berjabat tangan.

"Nanta.."

"Feli.." jawabku membalas jabatan tangannya.

"Eh, tapi kasian Iho dia" ucap Fay pagi itu.

"Kasian kenapa?"

"Kalau kata Tomas, dia pernah suka banget sama cewek anak kos depan. Tapi cewek itu dah punya pacar.."

"Ya lagian, cewek punya pacar disenengin..."

cibirku. "Lha, namanya juga suka, gimana. Tapi dia ngga ngapa-ngapain juga, suka doang" "Gitu doang kasian?" tanyaku.

"Ceweknya meninggal.." jawab Fay singkat.

"Haah..?!"

"Iya. Kecelakaan"

"Ya ampun.."

"Shock banget dia Fel..kasian"

"Kata Tomas, sejak suka sama cewek kos depan itu, dia jadi anak baik. Tadinya playboy banget, gonta-ganti pacar" tambahnya.

"Lha, sekarang gimana?" tanyaku penasaran.

"Jadi lebih diem gitu. Ngga kedengeran playboy nya lagi. Anak Ibu kos-nya yang nguber-nguber aja dicuekin"

"Emang seganteng apa sih dia Fay...jadi penasaran.."

"Besok ya kalau pas ketemu aku kenalin. Dia ada kuliah yang sekelas sama aku, kadang aku suka numpang kalau Tomas gak bisa jemput" "Wah, jangan-jangan kamu nih yang suka sama dia. Hehehe" "Ngomong-ngomong, siapa namanya?" uberku.

"Besok aja mesra..Hahahaha.." sekalian kenalan. Biar lebih

And here we are... Tenyata ini cowok yang diceritain Fay.

"Kamu kuliah sini ya? Sipil apa Arsitek?" tanya Nanta padaku.

Otakku butuh waktu loading sejenak. Lalu aku tersadar, aku masih menggenggam

tangannya. "Eh, i-iya..Sipil" jawabku sambil dengan kikuk melepaskan jabatan tanganku. Fay pura-pura mengalihkan pandangan,

tersenyum simpul.

"Wah, sama kita.." kata Nanta lagi.

"Ohya? Kok nggak pernah liat?"

"Aku di Atma. Dulu nggak keterima disini, UMPTN nggak lolos. Hehehe..." memamerkan lesung pipinya lagi. dia nyengir

"Oh, pantesan"

"Fel, kamu mau kemana tadi?" Fay menyela. "Nyari makan, laper tau.." jawabku memegang perut. "Ya udah, kita bertiga makan bareng yuk, ke Kolombo situ ada yang enak" Nanta mengajak.

Aku dan Fay saling berpandangan. Hampir serempak kami bertanya, "Kolombo? Bertiga? Jauh kan.."

"Masa si Feli suruh jalan sampe sana?" tanya Fay

lagi. "Ya enggak lah, ceng lu aja kita" jawab Nanta.

Busyet, ceng lu. Bonceng telu...Boncengan bertiga.

"Yang bener aja, Nan, muat apa?" kata Fay.

"Muat, asal mau mepet aja kalian berdua. Paling lima menit lah naik motor" jawab Nanta.

Fay dan aku berpandangan sekali lagi. "Gimana, Fel? Mau ga..?"

Aku berpikir keras, antara tidak mau karena malu dan mau karena sudah lapar sekali. Tapi perut sudah tidak bisa ditawar, harus segera diisi.

"Mmm, ya ayo deh. Tapi kamu tengah ya Fay" jawabku akhirnya.

"Kamu tengah Fel, kamu kan mungil" Fay berkilah.

Nanta tersenyum sambil menghampiri motornya. Kalau tidak salah, sepeda motor GL Pro model lama, mirip seperti motor operasional pegawai kantor Papa dulu.

Huh, senyam-senyum. Menang banyak yaa...

"Tenang aja, aku maju kok, ngga mepet banget" Nanta menyetater motor dan mengambil posisi supaya kami berdua bisa naik, seolah dapat membaca pikiranku barusan. Setengah melompat, aku duduk di tengah diapit Fay yang menyusul naik di belakang.

"Nggak ada polisi nih Nan?" tanya Fay was-was. "Udah tenang aja, ntar kalau ada kamu turun, Fay"

"Bajigur kowe, Nan.." Fay mengetok helm Nanta. Dan kami meluncur, diiringi tatapan banyak mahasiswa lain yang berlalu lalang. Sejak itu, kami jadi akrab.

Kadang dia mengantarku pulang dari kampus.

"Kebetulan lewat sini, sekalian lah" begitu. ucapnya selalu. Dan betul kata Fay, kami cocok sekali...di bidang makan. Seleranya hampir sama denganku, pokoknya tempat makan yang porsinya banyak tapi harganya miring. Rasa nomer sekian, yang penting kenyang.

Hehehe...

"Udah aku aja, nggak papa.."

"Jangan ah Nan, ngga enak" tolakku sambil meraih dompet.

"Gampang kali, Fel. Nanti aja di kos itung itungan" jawabnya sambil membayar ke empunya warung. Sampai di kos, dia langsung pamit tanpa menyinggung hitung-hitungan makan tadi. Selalu begitu.

Lumayan...ngga capek jalan. Ngirit pula, makan sering dibayarin.

"Cieehh, Feli...dianterin melulu nih pulangnya sama yayang" goda Lia sore itu di teras depan, dia sedang menemui Pras, pacarnya.

"Ih, apa sih..yayang yayang..peyang.." sambil

berlalu masuk. Walaupun ada rasa senang juga dalam hatiku.

Sehabis mandi, aku berganti baju dan mematut diri di depan kaca cermin yang tergantung di dinding. Terlihat wajahku yang bulat. Sekilas mirip Siti Nurhaliza kata beberapa teman di kos dan di kampus.

"Tapi sekilas aja lho yaa ngeliatnya..kalau kelamaan jadi ngga enak diliat" ledek Lia. Bajigur...

Kusisir rambutku yang panjangnya sedikit di bawah bahu.

Nanta, kok aku jadi sering ingat kamu ya. Aku suka banget sama ketawa kamu yang lepas.

Ohya, aku sebenernya nggak suka kalau kamu selalu cerita tentang si Di kalau kita makan bareng, ngga ada bahasan lain apa?

Tapi...aku kan bukan siapa-siapa kamu.

Aku tersenyum pada bayanganku di cermin, mengutuk kebodohan pikiranku barusan.

Deg...!!

Saat kuberalih menengok kesamping, aku menyadari sesuatu. Kulihat senyumku di cermin, masih menyisir rambut. Senyumku semakin lebar. Padahal, aku sudah selesai bersisir dan sudah bergeser dari depan cermin. Belum habis terkejutku, "Aku" dalam cermin melirik ke arahku. "Aaaaaaaaa....!!" teriakku kaget bercampur takut.

Kuraih gagang pintu dan melompat keluar, disambut Lia yang keluar dari pintu kamar sebelahku dan bertanya "Kenapa Fel..?" dengan wajah bingung.

"I-itu..." kalimatku terhenti, hampir saja aku ceritakan apa yang kulihat, dan aku tersadar jika aku cerita maka anak kos lain akan ketakutan dan kemungkinan besar akan pindah dari sini dan aku akan sendirian.

"Barusan cicak jatuh ke lantai" aku terpaksa

berbohong.

"Oalah, teriaknya kaya apaan aja...". Dan aku hanya nyengir terpaksa.

Tiba-tiba, "Aaaaaaa....!!" terdengar teriakan dari kamar mandi.

Deg...!!

Apa lagi ini? Braakk..!!

Daun pintu kamar mandi terbuka kencang sampai membentur dinding.

Fay menghambur keluar, masih dengan hanya berhanduk dillilitkan di tubuhnya yang gemetar. Mukanya pucat.

"Kenapa, Fay..?" tanyaku ikut gemetar.

"Ba-barusan...di dalem, kaya ada yang pegang badanku dari belakang"

"Ah, yang bener, Fay..." tanya Lia.

"Iya, beneran...makanya aku teriak. Serem ih"

"Mungkin perasaan kamu aja, Fay. Aku juga pernah gitu, tapi nggak ada apa-apa kok. Kadang kulit kita suka bereaksi gitu habis keadaan basah ke kering" aku mengarang membesarkan hati Fay.

"Iya kali...Ya udah, aku ganti baju dulu" dan ia melangkah masuk kamarnya. Aku bertekad, apapun yang terjadi aku harus mempertahankan teman-temanku betah di kos ini.

Terbukti beberapa hari berikutnya menguji tekadku tadi. Sejak kejadian bertemu dengan Mbak Lastri itu, kini aku selalu tidur dengan lampu dinyalakan dan radio dalam keadaan menyala sampai pagi.

Aku tidak mau merasa ada sesuatu atau seseorang lain dalam kamarku saat gelap.

Pintu kamar juga tidak kukunci dengan anak kunci, hanya diselot saja, supaya gampang keluar jika terjadi sesuatu di kamarku. Benar-benar paranoid...

Malam itu aku sedang belajar untuk persiapan ujian semester minggu depannya. Mata kuliah ini selalu jadi ganjalan, sampai terpaksa mengulang ketiga kalinya, yaitu Kalkulus 3.

Aku belajar sambil tiduran di kasur. Sekilas kudengar penyiar di radio mengucapkan waktu saat itu jam setengah satu tengah malam. Tiba-tiba kurasakan ingin buang air kecil.

Kutahan beberapa waktu meneruskan belajarku sampai akhirnya rasa itu tak tertahan lagi. Kupasang telinga mendengarkan suasana di luar yang sedang dalam keadaan sepi, semua anak kos sudah lelap dengan tidurnya masing-masing.

Sempat terbersit ide untuk membangunkan Lia atau Fay, tapi kuurungkan niat itu, kasihan mereka. Akhirnya, kubuka pintu dan keluar menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur. Kulangkahkan kaki dengan menyeret sandal supaya suaranya keras, agar tidak terlalu sepi. Sampai di depan kamar mandi, kulihat kedua ruangannya kosong, terlihat dari ventilasi diatas pintu yang tertutup, lampu dalam kondisi mati. Setelah menyalakan lampu, aku masuk ke kamar mandi sebelah kanan.

Beberapa saat di dalam, kudengar suara sandal diseret dan pintu kamar mandi sebelah dibuka. kemudian ditutup. Lega rasanya mendengar ada kawan yang juga memakai kamar mandi.

"Fay ya..?" aku berkata ke kamar mandi sebelah. Byur..byur..., yang terdengar dari sebelah suara air disiramkan. Buru-buru aku juga menyiram kloset, membersihkan diri dan merapihkan bajuku kembali.Keluar kamar mandi, aku menengok ke sebelah. Pintu masih dalam keadaan tertutup tapi lampunya mati.

Aku mendekat ke pintu dan memanggil "Fay...Lia..Dev..." Tidak ada jawaban. Bunyi siraman air tidak terdengar lagi. Cepet amat keluarnya? Tapi kok lantai depan kamar mandi nggak basah, ya? Nggak ada jejak sandal basah... Penasaran, aku membuka pintu kamar mandi

sebelah itu.

Kering..!?

Lantai keramik di kamar mandi dalam keadaan kering. Kubayangkan pandangan ke bak, terlihat gayung merah bertengger di bibir bak air, juga kering. Untuk kesekian kalinya di kos ini, bulu kudukku merinding sejadi-jadinya. Tergesa-gesa kututup kembali pintu itu, berbalik dan berlari ke kamarku.

Lalu langkahku terhenti di tengah koridor. Saat kulihat sesosok bayangan hitam, besar sekali, berdiri di depan pintu dapur yang hanya sekitar tiga meter di sebelah kananku. Nggak bisa bergerak apalagi melangkahkan kaki. Aku terpaku, tak Sosok besar hitam itu bergerak maju kearahku.

Lari...lari... Otakku memerintahkan kakiku bergerak, tapi kaki ini seperti ditanam di dalam lantai, tak bisa bergerak.

"Feli..." suara bisikan itu lagi.

Mbak Lastri..!!! Dia tiba-tiba muncul di depanku, berdiri menyamping menghadap ke pintu dapur. Tangan kanannya menunjuk ke sosok hitam besar yang bergerak maju.

Dan sosok itu terhenti seperti tertahan sesuatu. Adegan menyeramkan itu berlangsung beberapa detik sampai akhirnya kedua makhluk yang tak pernah kubayangkan akan kutemui itu menghilang.

Aku ambruk bersimpuh di lantai. Air mataku tak dapat kutahan lagi. Aku menangis ketakutan.

×××××××××

"Nan,..kamu percaya kalau hantu itu ada?"

Mata beningnya memandangku, seolah hendak memastikan pertanyaan itu keluar dari mulutku.

"Kenapa nanya gitu, Fel..?"

"Enggak papa. Kamu jawab dulu deh, percaya nggak?"

Nanta menghela nafas. "Iya, percaya" jawabnya singkat.

"Kenapa memangnya, Fel?"

Aku terdiam bingung, Nanta menggeser duduknya mendekat hingga sikunya bersentuhan dengan lenganku. "Ayo cerita deh" bujuknya. Aku menoleh menatap matanya dan berucap "Tapi janji yaa..?"

"Janji? Janji apa..?"

"Janji nggak menganggap aku gila..?"

"Ya enggak lah.." jawabnya cepat.

"Tuh kaan..nggak mau janji.."

"Eh, bukan gitu. Maksudnya iya, aku nggak akan menganggap kamu gila"

"Masa aku suka sama orang gila.." lanjutnya.

"lih, apa sih kamu..." aku menonjok bahunya disambut tawa renyahnya. Mas penjual pecel lele langganan geleng-geleng kepala.

"Kok ditonjok Mbak? Peluk napa..?" godanya.

Aku melotot. Tapi dalam hati aku memang berharap.

Halaah.. Kenapa aku jadi ngerasa gini ya sama dia?

"Jadi mau cerita nggak?" tegur Nanta membuyarkan angan.

"Eh..iya, jadi.."

"Gini Nan, aku rasa...kosan ku ada hantunya.." "Oh ya..? Kok kamu bisa ngomong gitu?" alis matanya terangkat.

"Fay kayanya nggak pernah cerita aneh-aneh tentang kosan. Duluan Fay kan sama kamu?" lanjutnya.

"Iya bener. Aku juga nggak ngerti, Nan. Apa mungkin aku aja yang gila?!" "Hussh..katanya nggak mau dianggep gila?"

sergahnya. "Terus..gimana ceritanya?"

Kemudian dengan mengecilkan volume suara, aku bercerita kejadian demi kejadian yang kualami, mulai dari A sampai Z.

Nanta semakin mendekatkan posisi duduknya sampai hampir menempel denganku.

Raut wajahnya ikut berubah-ubah, kaget, takut, lega, kaget lagi, dan seterusnya...seirama dengan penasaranku.

"Aku capek, Nan, kaya gini terus... Ketakutan sendiri, ngga bisa cerita siapa-siapa"

"Hiks..." air mataku tak terbendung lagi.

Kulihat dari sudut mataku, Nanta terdiam sesaat melihatku sesenggukan.

"Ya udah, keluarin aja Fel..nangis aja, biar lega.." tiba-tiba tangan kirinya merengkuh bahu kiriku merapat ke tubuhnya, sembari tangan kanannya mengusap tanganku di meja. Serasa seperti ribuan volt listrik menyengat diriku. Panas tapi nyaman sekali. Hal yang telah lama sekali tidak kurasakan. Lama dia memelukku, sampai aku puas menangis.

"Aku cengeng ya, Nan..? Maaf yaa.." sambil mengusap air mata dengan punggung tanganku. Dia bangkit dari duduknya kemudian kembali dengan beberapa helai tisu wajah di tangannya.

"Ini Fel, sorry cuma dikit..barusan minta sama Mbak di belakang" What..?!

"Ih, Nanta..malu-maluin.." tapi kuambil juga tisu itu dan menghapus air mata dari wajahku. "Nggak papa, nggak ketemu lagi ini sama orangnya, daripada pake tisu makan.."jawabnya enteng dan kembali duduk.

"Makasih ya, Nan, dah mau dengerin..aku ngga tau lagi mau cerita ke siapa. Ke Mama nggak bisa, aku nggak mau Mama khawatir anak cewek kesayangannya gila. Ke anak-anak kos...gila aja kalau aku cerita, pada kabur semua ntar.."

"Iyaa, tenang aja. Mau cerita sampai besok juga gak papa, aku dengerin"

Mas penjual pecel lele lewat lagi di depan kami."Bejo pancen kowe, Mas" ucapnya ke Nanta.

"Maksude?" tanyanya bingung.

"Malem mingguan diajak mangan pecel lele wae wis seneng"

Bajigur..!!

"Kita pindah yuk.." Nanta menggamit lenganku, kemudian membayar makanan kami ke Mas pecel lele yang masih tersenyum tidak jelas itu. Duh, ini anak udah main pegang-pegang aja. Lanjutkan...

"Kemana, Nan?"

"Babarsari. Ada yang jual susu murni, enak banget"

"Hah? Kamu belom kenyang?"

"Kenyang sih, tapi nggak papa, kita lesehan aja di sana" terangnya.

"Aku juga ada yang mau aku ceritain ke kamu.." wajahnya berubah serius.

"Ayo deh. Tapi jangan malem-malem ya

pulangnya, malem minggu jam sebelas batesnya" Lalu kami melaju di atas GL Pro lamanya itu.

Sesampainya disana, dia mengajakku duduk di tikar yang berada di trotoar sebelah gerobak penjual susu murni dan roti bakar itu.

"Pak'e, susu coklat kalih, roti bakar coklat setunggal nggih" dia setengah berteriak memesan ke Bapak penjualnya.

"Beres Mas. Suwi ra mrene sampean?" balas Bapak itu.

"Biasa Pak'e, sibuk"

"Mbak Di karo Mbak Ratna yo wis suwi ora mampir" Bapak itu bertanya lagi. Tangannya sibuk meracik bubuk coklat dicampurkan ke susu murni di gelas.

Nanta hanya tersenyum.

Mbak Di. Diana kah? Yang suka dia ceritakan padaku?

"Nah Fel, sekarang giliranku cerita" ucapnya setelah kami berdua duduk di tikar.

"Tapi janji juga ya?"

"Eh, janji apaan nih?" tanyaku.

"Janji..eemm..." ucapannya terhenti.

"Apaan..?" uberku. "Janjii...ah ngga jadi dah.."

Bukk..Tinjuku mendarat lagi di bahunya. "Aduh..!! Beneran iih mukulnya.." protesnya.

"Habis..kesel.."

"Langsung ke cerita aja deh. Gini..aku juga ngalamin kaya kamu, Fel""Maksudnya? Kamu ngeliat hantu juga?"

"Iya. Di" jawabnya singkat.

"Di..? Diana maksudnya?" tanyaku kaget.

"Iya. Aku udah cerita ke kamu kan kalau Di kecelakaan bareng pacar dan temen-temennya di Kaliurang?"

Aku mengangguk.

Sampai hafal aku Nan sama ceritamu.

Di lagi, Di lagi yang kamu bahas.

"Terus..?"

"Tau nggak, malam itu aku ketemu Di"

"Malam kapan? Sebelum kecelakaan?" aku

semakin penasaran.

"Sesudah Fel..."

"Oh ya..?!" Aku langsung merinding.

"Malem itu, aku ketemu si Di di depan kosnya. Kulihat dia berdiri sendirian. Aku sapa dia, eh..ternyata si Di malah ndeketin aku dan ngajak jalan" lalu Nanta melanjutkan cerita bagaimana mereka pergi berkeliling kota Jogja malam itu.

"Sampai speechless deh aku. Bayangin aja sekian lama cuma bisa ngeliatin dan ngagumin dari jauh, tiba-tiba jalan bareng

×××××××

sama dia" Nanta menghembuskan nafas panjang sebelum meneruskan.

Aku terdiam menyimak ceritanya, rasa sedih dan cemburu bergelut dalam hatiku.

Tunggu dulu...

Cemburu..?

Inikah yang kurasakan?

"Besoknya, aku tau dari Ratna, kalau ternyata Di dan Jon pacarnya kecelakaan masuk jurang kemarin siang dan baru malam ditemukan. Ya malam aku jalan bareng Di itu. Ternyata dia cuma mau pamitan sama aku" dengan sedih dia mengakhiri ceritanya lalu terdiam memandang ke bawah. "Ya ampun Nan, sedih banget yaa.." aku mendekatinya penuh rasa sedih.

Kuraih tangannya, kugenggam erat, dan tanpa dapat kutahan aku mengecup tangannya. Dia mendongakkan wajahnya dan tersenyum melihatku.

"Terima kasih ya" ucapnya lembut, ia balas menggenggam erat tanganku. Dan kembali ia merengkuhku dalam pelukannya.

"Monggo, Mas, roti bakarnya" kata Bapak itu tiba-tiba muncul sambil meletakkan roti bakar pesanan kami.

*********

Aku berlari secepat kilat masuk ke kos, sampai di depan gerbang tadi hanya dua menit kurang dari pukul sebelas malam. Batas jam malam kos setiap malam minggu.

Lebih dari itu, siap-siap menerima omelan dari Tante Santi, apalagi kalau dia sedang bawel.

"Pokoknya Tante laporin orang tua kalian ya kalau ada yang melanggar peraturan kos ini" begitu ancamannya pada kami.

Lain waktu jika hatinya sedang baik, terutama di awal bulan saat menerima pembayaran kos, dia bisa dengan santainya berkata pada kami "Yah, lewat lewat dikit nggak papa lah, Tante juga pernah muda. Kalian udah gede udah bisa tanggung jawab"

Dan sekarang akhir bulan, sedang galak-galaknya.

"Fiuuuhh, Amaan.." ujarku lega saat keluar dari pintu dapur masuk ke kos di belakangnya.

Saat membuka kunci pintu kamar, dari sebelah kamarku terdengar suara pintu kamar Lia terbuka. Lia muncul dengan wajah sembab, diiringi Fay disebelahnya.

"Felicia Putri..!! Jam segini baru pulang? Tante laporin orangtua kamu yaa..!!" hardik Fay bertolak pinggang, menirukan gaya Tante Santi kalau sedang sewot.

"Habis pacaran Tante..weeek" kujawab sambil menjulurkan lidah ke mereka.

"Feliiii..." Lia menghambur memelukku sambil menangis.

Aku kebingungan.

"Kenapa nih, Fay" bisikku bertanya pada Fay

yang berdiri di balik tubuh Lia. Fay menempatkan telunjuk di depan bibir

"Ssstt..." sambil menggeleng pelan. "Pras selingkuh, Fel..." ucap Lia dalam tangisnya. Waduh..

Malam itu, aku dan Fay terpaksa menemani Lia yang sesenggukan semalaman di kamarnya. Kalau mendengar ceritanya, si Pras pacarnya itu ketahuan bermain api dengan cewek lain, saat Lia secara tidak sengaja melihat mereka di Gramedia.

"Padahal tadi Pras bilang nggak bisa kesini, mau main PS rame-rame sama anak kosnya katanya". ucap Lia geram.

Akhirnya kami bertiga jadi mengobrol ngalor ngidul agar Lia terhibur, sampai jauh melewati tengah malam. Dan tak terasa kami tertidur bertiga di kamarnya.

Entah jam berapa aku terbangun, dalam kegelapan terasa kaki Lia atau Fay tak sengaja menginjak kakiku saat dia melangkah. Dengan malas aku membetulkan posisi tidurku disamping Fay, terlihat samar dari kaos putihnya.

Lia tidur paling tepi menempel dinding, pantas saja kakinya tidak sengaja menginjakku saat melangkah. Di balik bantal kudengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali, diikuti suara langkah sandal diseret ke arah kamar mandi.

Oh, si Lia kebelet.

Kutunggu beberapa menit, Lia belum kembali ke kamar lagi.

Kubalikkan badanku ke arah Fay sambil membetulkan posisi guling yang sedang kupeluk. Saat sedikit mengangkat kepala, samar kulihat di sebelah Fay masih ada Lia yang tidur menyamping menghadap dinding.

Lho..?

Deg..!!

Langsung kantukku hilang seketika.

Aku langsung bangun dan duduk di kasur itu, kuamati mereka, terdengar nafas Fay dan Lia bersahutan dalam tidur mereka. Lha, tadi siapa yang ngelangkahin aku terus

keluar? Kembali bulu kudukku meremang.

Aku bangkit dan beringsut menyalakan lampu kecil di dekat meja. bermaksud

Bug..!!

Terdengar suara benda berat jatuh di luar kamar mengejutkanku. Kutengok Fay dan Lia, yang masih lelap tidur tidak terbangun sama sekali. Kepalang tanggung, aku nyalakan lampu kecil.

"Feliii..." bisikan itu dekat sekali di telinga.

Aku menoleh seketika ke sumber suara.

Mbak Lastri..!!!

Dia melayang di sampingku...hanya sejengkal dariku. Sekejap kulihat dia melayang menembus pintu dan menghilang.

Anehnya, detik itu pandanganku dapat melihat menembus pintu dan dinding kamar. Aku melihat sosok Mbak Lastri melayang diam beberapa saat di tengah koridor kos, lalu melesat keatas.

Blaaarrrr..!!!

Terdengar suara ledakan keras dari atas atap. Aku masih terbengong saat kulihat lagi sosok Mbak Lastri muncul lagi di tengah koridor, kali ini menghadapku.

Wajah cantiknya tersenyum. Lalu menghilang. Dan pandanganku kembali tertumbuk pada pintu dan dinding kamar.

Kulirik Fay dan Lia. Mereka masih tertidur pulas tak terganggu sama sekali dengan suara-suara itu. Aku bergidik. Aku melompat keatas kasur dan menutupi wajahku dengan guling, saat...

Pintu kamar terbuka. Dan Lia muncul sambil mengelus perutnya "Ah, legaaa...mules banget tadi. Kamu kok bangun Fel?"

Lho..Lho..!!! Aku langsung berbalik melihat kesebelah Fay. Kosong.

×××××××

"Kamu ngapain sih Fel, tumben ngajak aku ke kosnya Tomas. Mana pagi-pagi gini.."

"Ayolah, please...ada yang mau aku omongin sama Nanta"

"Emang telpon ngga bisa ya? Lagian baru semalem kamu ketemu kan?" kelit Fay malas. "Susah deh aku jelasin Fay. Ayolah, please..." aku memohon.

"Hmmhh...ya udah. Tapi ntar kalau Tomas ngga ada aku pulang lho ya. Aku ngga mau jadi obat nyamuk"

"Ada..adaa..percaya deh" rayuku lagi.

"Janti..Jantii.." Seru kenek Bus yang kami tumpangi.

Aku dan Fay beranjak dari kursi yang kami tempati dan melangkah turun. Melewati beberapa gang disitu, sampailah kami di depan kos Nanta dan Tomas.

"Tuh kan sepi Fel.."

Di depan gerbang kosnya yang terbuka sebagian, terlihat deretan kamar kos yang tertutup dan beberapa sepeda motor terparkir di halaman maupun selasar depan kamar. Aku langsung mengenali GL Pro hitam milik Nanta disitu. "Padahal udah jam sembilan ya Fay.." balasku.

Fay melangkah masuk ke kos itu dan mengetuk pintu kamar ketiga dari depan.

Tok..tok..tok...

"Mas..Tomaass..." panggilnya. Aku mengekor di belakangnya.

"Lha, kamu ngapain ngikut aku Fel? Dah sana ketok pintunya Nanta"

"Yang mana Fay?" tanyaku balik.

"Ya ampun, lupa aku..kamu belum pernah kesini yaa.." Fay menepuk jidatnya.

Dia menunjuk kamar paling ujung sederetan dengan kamar Tomas itu..

"Tuh, yang depannya ada meja karambol, ketok aja. Palingan masih tidur tuh anak"

"Fay..?! Ngapain pagi-pagi kesini?" suara Tomas tiba-tiba mengagetkan kami, ia muncul dari tangga menuju lantai dua sambil membawa ember. "Eh,

Feli..ikut juga?" lanjutnya. "Nganterin yang lagi kasmaran" jawab Fay meledek.

"Dih, enak aja.." sanggahku, "Ya udah sana, buruan ketok kamarnya tuh" kata Fay sambil melangkah masuk kamar menyusul Tomas.

Tok..tok..tok..

"Siapa..?" suara Nanta bertanya dari dalam kamar.

"Feli.."

Bruk.. terdengar suara benda terbentur.

"Bentar yaa.."

Sesaat kemudian pintu kamarnya terbuka. Dia muncul dengan rambutnya yang masih acak acakan sambil mengelus kepalanya.

"Eh, Feli..tumben banget nih kesini?"

"Nggak boleh..? Ya udah aku pulang" godaku.

"Ya boleh lah. Eh, bentar ya aku cuci muka dulu" sambil masih mengelus kepala.

"Kenapa kepalanya?" tanyaku heran. "Hehehe. Kejedot tadi, kaget kok pagi-pagi dibangunin bidadari" jawabnya dengan senyum tidak jelas.

"Gombal.."

"Nan, semalem kejadian lagi" aku membuka cerita. Kami duduk di lantai di dalam kamarnya yang cukup rapi untuk ukuran cowok. Tidak nampak baju kotor yang bertebaran atau asal digantung. "Ohya? Gimana, coba ceritain" jawabnya.

"Eh iya, mau teh? Aku masak air dulu yaa.." lanjutnya.

"Dah, nggak usah. Ntar aja sekalian makan" jawabku pede akan ditraktir.

Kemudian aku menceritakan secara mendetail kejadian semalam ditimpali perubahan ekspresi wajahnya saat menyimak ceritaku.

"Mbak Lastri kok sampe berkali-kali gitu nampakan diri ke aku ya, Nan?" tanyaku mengakhiri cerita.

Dia terdiam, matanya menatap ke dinding di atas kepalaku kemudian beralih menatap mataku lagi. Seperti ada sesuatu yang hendak dia katakan. "Kok diem, Nan..?"

"Kamu bosen dengerin aku ya?" lanjutku.

Pertanyaanku barusan membuatnya tersenyum.

"Ya nggak lah, Fel. Kan aku udah bilang kamu bisa cerita apa aja ke aku"

"Lha itu diem?"

"Kan meresapi ceritamu, Fel...sambil mikir

gimana aku bisa bantu"

Sekarang ganti aku yang terdiam.

Aku cuma butuh kamu dengerin aku dan nggak nganggep aku gila.

Cuma itu aja aku dah seneng.

Ohya, ada satu lagi...bisa bareng kamu kaya gini.

Oh, come on Felicia Putri..!!

He is not yours.

"Sorry, Fel. Nanya aja lho yaa...jangan marah" ucapnya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Iya, apaan?"

"Nggak, mmm..kamu pernah pake jimat atau ilmu gitu nggak?" tanyanya dengan nada hati-hati. "What..?! Kok kamu bisa nanya gitu?" dengan sewot kujawab dia.

"Tuh..kan aku bilang tadi jangan marah"

"Nggak marah, aneh aja ditanya gitu"

"Gini Iho kenapa aku tanya kaya gitu, dari yang kutau nih ya...mereka tuh suka nempel sama orang yang punya jimat atau ilmu gaib gitu. Atau bisa juga mereka ikut dalam jimat atau benda yang dipegang seseorang" nadanya sabar menjelaskan.

"Nggak pernah sih, Nan. Nggak tau juga aku sama hal kaya begitu" nada suaraku melembut.

"Atau mungkin, jangan-jangan kamu Indigo?"

"Indigo? Nggak lah..kalau aku Indigo, udah dari kecil aku bisa ngeliat hantu segala macem atau jenius kaya Einstein. Lha ini, kalkulus aja ngulang tiga kali" jawabku geli.

"Ya juga ya, Fel...mana makannya banyak lagi" ucap Nanta tanpa dosa.

"Nantaa...!!"

"Kalau kamu, Nan. Kamu pernah ngeliat si Di lagi?" tanyaku berbisik sambil menengok kanan kiri. Seram juga kalau "dia" mendengar.

"Hmmhh...enggak sih"

"Malam itu doang. Tapi kalau dimimpiin sih pernah berapa kali gitu" sambungnya.

"Oh ya? Gimana mimpinya, serem nggak?"

"Nggak. Dia cuma senyum. Yah, mungkin karena waktu itu aku masih kepikiran dia aja.."

"Tapi itu dulu, Fel...nggak usah cemburu gitu

dong"

"Diih, siapa juga yang cemburu?" "Emang enggak?" tanyanya.

"Enggak lah"

"Cemburu doong.."

"Yee..maksa"

"Oh ya Fel, baru inget. Ada lagi satu teori yang pernah aku baca. Kalau nggak salah namanya Residual Energy"

"Pada intinya, alam dapat merekam kejadian kejadian yang punya energi kuat positif maupun negatif, biasanya tragedi atau kecelakaan. Kejadian,itu bisa terekam karena energi negatif atau efek traumanya kuat sekali"

"Nah, pada saat tertentu, juga dengan frekuensi yang tepat, kita bisa melihat rekaman kejadian itu". Nanta menjelaskan dengan raut muka serius, bagaikan dosen sedang menguliahi mahasiswa. Aku terkagum-kagum dengan penjelasannya.

"Terus, maksudnya?" tanyaku kemudian.

"Bisa aja kamu mengalami tadi itu, kamu ngeliat residual energy yang mereka tinggalkan di kos" "Tapi kok aku doang yang gitu, anak kos yang lain enggak?"

"Ya itu tadi, nggak semua orang bisa ngeliat atau punya frekuensi yang sama. Frekuensimu mungkin sering klop sama mereka"

Aku manggut-manggut setuju, semakin kagum padanya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Bentar, Nan...tadi kamu bilang apa? Jimat ya?" "Iya, jimat..kenapa?"

"Kalau keris itu termasuk jimat nggak ya?"

tanyaku lagi. "Tergantung. Kalau keris biasa yang dijadiin koleksi aja ya bukan. Beda lagi kalau sengaja diisi sama orang pintar dan dipercaya punya khasiat, ya jadi jimat. Tapi aku juga nggak begitu ngerti hal kaya gitu"

"Oh.." jawabku pendek.

"Emang kenapa?" Memori itu terputar jelas sekarang.

"Tante Santi..." Nanta terkesiap mendengar ucapanku. "Heh, kenapa Tante Santi?"

Aku teringat siang itu, saat Mbok Jum mengambil bungkusan hijau di bekas kamar Mbak Lastri dan membawanya keatas, seperti pesan Tante Santi padaku.

"Barang apa sih ini, udah seminggu lebih disimpen disini nggak diambil-ambil" Mbok Jum berkata sendiri saat keluar dari kamar saat itu.

Aku tidak terlalu memperhatikan bungkusan itu, tapi sekilas kulihat ada gagang kayu yang menyembul di celah ikatan kain hijau yang membungkusnya.

Ya, itu gagang keris.

Mirip seperti yang kulihat di rumah Pak Singo, mandor Papa, saat Papa dulu pernah beberapa kali mengajakku ke rumahnya.

Pak Singo memiliki banyak koleksi keris di rumahnya yang ditunjukkan pada kami dan setiap kami kesana dia selalu menawarkan pada Papa untuk memiliki salah satu keris tersebut, tapi Papa selalu menolak. "Terima kasih banget, Pak Singo...tapi maaf nih saya takut nggak bisa ngerawatnya".

"Jangan-jangan keris itu yang bikin perkara ya, Nan...?". Kutanya Nanta yang duduk terdiam setelah mendengar ceritaku.

"Belum tentu Fel, bisa aja itu keris biasa" kemudian ia berucap.

"Tapi waktunya kok pas ya, Nan...?"

"Hmm, mungkin kebetulan aja, Fel"

"Duh, aku jadi takut pulang ke kos nih" isakku.

"Ya udah, bobo sini aja" jawabnya sambil nyengir nakal.

"Hus, ngaco.."

"Udah, nggak usah dipikirin. Semakin kamu mikir yang enggak-enggak, kamu semakin narik energi negatif. Toh, kamu selama ini cuma diliatin doang kan, ngga sampe kenapa-kenapa" bermaksud membesarkan hatiku. ucapnya

"Cuma diliatin doang katamu..?! Serem tauu.."

"Lha, serem mana sama aku? Muter keliling Jogja lho..." tukasnya.

"Iya..iyaa..yang kangeen..." jawabku menyindir. Lalu kami tertawa terbahak-bahak bersama. Tawa yang absurd.

Tok..tok... Pintu kamar Nanta yang setengah terbuka

diketok seseorang. "Fel..lagi ngapain?"

Suara Fay. Sedetik kemudian kepalanya muncul di lubangpintu.

"Lagi ngobrol lah, emang ngapain?" Nanta yang menjawab.

"Iya, iyaa...ngobrolin masa depan kaan"

"Mmm, aku maunya sih gitu Fay..tau si Feli nih" ucap Nanta lagi sambil melirik nakal padaku. Aku cuma menjulurkan lidah.

Ah, paling itu juga yang kamu ucapkan ke cewek lain yang deket sama kamu.

Lima menit kemudian, kami berempat sudah bersiap meluncur kembali ke kos, Fay dibonceng Tomas dan aku bersama Nanta.

Sesaat sebelum aku naik ke boncengan motornya, kulihat seorang gadis berdiri di balkon rumah pemilik kos Nanta yang berada di depan deretan kamar kos.

Gadis itu menatapku dan tersenyum. Kuingat-ingat, senyumnya seperti pemeran film tahun 80an.

Oh iya, mirip Btari Karlinda, yang jadi adiknya Boy.

Hmm, mirip Btari Karlinda..aku seperti pernah dengar seseorang bercerita padaku soal itu.

Nanta..!!

Ya, Nanta yang cerita.

Berarti...itu...gadis itu Di !!

"Nantaa..."

"Kenapaa.." suaranya tertutup suara berisik lalu lintas.

"Nggak papa" jawabku mengurungkan niat memberitahunya, bisa saja tadi halusinasiku saja.Selain itu, jika benar tadi yang kulihat, sebagian hatiku tak ingin dia kembali terkenang akan Di lagi, tak ingin hatinya kembali hancur. Halah, ngomong aja kamu takut kehilangan dia kaan...

××××××

"Mbok, sini deh.." panggilku sore itu saat Mbok Jum melewati depan kamarku yang pintunya terbuka. Fay masih tertidur di kamarnya. "Nerusin yang tadi pagi" dia beralasan. Mbok Jum menghentikan langkah dan menyandarkan gagang sapu di dinding depan kamarku seraya berkata "Iya Mbak, kenapa?"

"Tante Santi ada?" tanyaku lirih.

"Pergi Mbak, biasa ke rumah Timoho" jawab

Mbok Jum.

"Oh..Eh, Mbok, inget nggak tempo hari yang

Mbok suruh mbawa bungkusan ijo keatas?" "Yang mana to, Mbak? Mbok lali iki.."

"Itu lho, yang dari kamar ujung itu"

Dia berusaha mengingat-ingat, beberapa saat kemudian "Oh iya, udah Mbok taruh atas. Kenapa, Mbak?"

"Di atas mana, Mbok? Kamar Tante?"

"Waktu itu di depan kamar Ibu. Tapi sekarang kayanya disimpen Ibu di lemari kaca deh"

"Memang kenapa to, Mbak?" tanyanya lagi.

"Ooh, nggak papa, Mbok...nanya aja. Oh iya,

isinya apa sih, Mbok?" "Isinya sih gulungan kain, dalemnya ada kerisnya" Benar dugaanku.

"Itu dikasih sama temen bisnis Ibu, namanya Mbok nggak tau, tapi Ibu suka manggil Pakde gitu" "Oh gitu, kapan ngasihnya? Terus kok bungkusannya ditaruh di kamar belakang?" aku penasaran.

"Kapan ya..dua mingguan lalu kayanya, Mbak. Ditaruh belakang soalnya si Ibu kayanya kurang suka dikasih barang kaya gitu, jadi dia nyuruh Mbok simpen. Ya Mbok simpen aja di kamar belakang" jelasnya.

"Lagian, si Pakde itu orangnya agak genit. Ibu kadang nggak nyaman kalau dia bertamu kesini.. Suka nggoda si Ibu gitu. Mbok yang ngeliat aja risih" katanya lagi sambil bergidik.

"Ooh..memangnya dia nggak punya istri?"

"Wah, akeh Mbak. Kayanya dia lagi ngincer si Ibu" jawab Mbok Jum.

"Kok Tante masih mau aja nemuin orang model begitu?"

"Pakde itu temen bisnis dari jaman Bapak masih ada. Kalau kata Ibu, si Pakde ini yang ngajarin Bapak usaha. Jadi Ibu masih menghormati gitu lah sama orangnya"

"Ooh.." aku manggut-manggut.

"Eh, ini kenapa to Mbak nanya gitu? Mbok sampe keceplosan cerita.." kemudian dia terkekeh. "Udah ya, Mbok nyapu dulu" dia berlalu ke dapur. Duh, besok besok, ngga usah cerita apa-apa sama Mbok Jum. Bahaya.

Malam itu aku menumpang tidur di kamar Lia, alasanku ingin menemaninya supaya tidak sedih seperti kemarin.

"Oh, so sweet banget sih kamu Fel.." begitu sambutnya. Kembali kami mengobrol sampai tertidur.

Dug..dug..dug..

Suara itu membuat aku terbangun.

Masih memejamkan mata ngantuk, kuraih

selimut disampingku. Dingin. Keras.

Lho..?! Aku membuka mata dan memandang sekeliling. Sedetik kemudian aku meloncat berdiri. Bagaimana bisa aku berada di lantai ruang utama dalam rumah Tante Santi..?!! Otakku berpikir keras, bagaimana mungkin aku bagaimana bisa ada di ruangan ini ?!?!

Sendirian di ruangan itu, dalam keremangan dikelilingi oleh lemari kayu besar dan jam lonceng yang menyeramkan tiap kali berbunyi. "Lari..lari..." terdengar suara bisikan halus sekali. Aku menengok ke kanan dan kiri mencari sumber suara itu.

Kembali suara itu berbisik "Lari..larii..."

Belum sempat aku melangkah, kali ini terdengar suara yang tadi membangunkanku. Dug..dug..dug.. Aku menoleh ke arah sumber suara itu, keatas tangga oval menuju lantai dua. Aku tak percaya apa yang kulihat di situ.

Makhluk berbulu hitam bertubuh tinggi besar sampai hampir menyentuh langit-langit, sedang melangkah menuruni anak tangga menuju ke arahku.

Mata merahnya yang sebesar kepalaku melotot dan taringnya mencuat di samping deretan giginya yang tajam. Mendadak tercium bau seperti ketela atau ubi bakar, namun sangat kuat baunya.

"Lari..lariii.." bisikan itu kembali terdengar. Aku melangkah mundur dan membentur sesuatu di belakangku. Spontan aku berbalik dan menyaksikan hal lain yang tak kalah menyeramkan.

Sosok seorang perempuan dengan wajah rusak dan memakai kain putih penuh noda darah. Kulit leher dan tangannya yang tidak tertutupi kain putih terlihat terkelupas meleleh. Perempuan itu tertatih melangkah mendekatiku. Aku terpaku tak bisa bergerak. Kucoba berdoa sebisaku

memohon perlindunganNya.

Lalu kusadari makhluk hitam tinggi besar tadi sudah tepat selangkah di belakangku, dengusnya kencang menghembus rambutku, sementara perempuan berwajah rusak itu dengan langkah tertatih namun pasti mengulurkan tangannya yang berbau nanah busuk menggapai tubuhku.

Aku berteriak, tapi tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutku.

Tangan perempuan itu sudah menjamah tubuh depanku, langsung kutepis sebisa mungkin tapi tangan itu mencengkeram kuat bajuku. Makhluk besar di belakangku pun sudah hendak memegang kepalaku dengan tangannya yang besar. Aku memejamkan mata pasrah menunggu nasib.

Saat itulah tiba-tiba sosok wanita bergaun putih kembali hadir.

Mbak Lastri... la langsung mendekapku dan aku merasakan tubuhku ikut melayang keatas bersamanya. Aku memejamkan mata ketakutan saat dia membawaku menembus langit-langit. Anehnya, aku tak merasakan sakit apapun.

Ya, bahkan ketika badanku menembus langit langit, dan atap...! Aku melihat kebawah, atap dan langit-langit menghilang dari pandanganku yang langsung tertuju ke ruangan utama dimana makhluk hitam besar dan perempuan berwajah rusak tadi.

Kurasakan pelukan Mbak Lastri mengendur dan terlepas. Dia melesat kebawah.

"Tunggu..tunggu, Mbak.." kataku tanpa suara yang terdengar. Aku memejamkan mata bersiap untuk terjatuh. Tapi anehnya, tubuhku tetap melayang di tempat

Mbak Lastri meninggalkanku.

Kulihat di bawah sana, Mbak Lastri merentangkan tangannya kearah makhluk hitam besar di satu sisi dan perempuan berwajah rusak di sisi lainnya.

Blaaarrrr...!!!

Terdengar bunyi dentuman keras. Mereka terpental menjauh kemudian menghilang, dan Mbak Lastri ikut lenyap. Kulihat lagi atap rumah di bawahku. Pandanganku berputar tiba-tiba, semakin kencang dan semakin kencang. Lalu gelap. Saat aku tersadar, aku mendapati diriku terbaring tidur di kamar Lia. Bajuku basah oleh keringat.

"Ya ampun, mimpi apa lagi tadi?" aku bergumam bertanya pada diriku sendiri.

Kemudian aku menyadari, pada baju tidurku di bagian perut ada noda merah seperti bekas darah.

Dong..dong..dong..

Jam lonceng di rumah Tante Santi pun tiba-tiba berbunyi tiga kali, pertanda waktu menunjukkan jam tiga pagi.

××××××××

Terpopuler

Comments

Nur Hidayah

Nur Hidayah

😭😭😭 Serem banget, kok masih mau sih kost di tempat serem banget gitu😭😭😭

2022-08-04

2

128 √e980

128 √e980

Hallo thor, aku mampir lagi nih, semangat ya thor 😘

2022-07-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!