KISAH-KISAH HOROR ANAK KOS

KISAH-KISAH HOROR ANAK KOS

#1 Telepon Tengah Malam

Jogja, menjelang akhir 90-an.

Aku sebenarnya ragu dengan rumah kos yang saat ini aku tinggali, biarpun besar dan dekat dengan kampus tapi.

Kesan pertama, muram dan kurang terawat. Mungkin karena pohon besar itu, yang meninggalkan daun-daunnya berserakan di halaman bangunan yang luas. Lapisan cat berwarna krem pada sebagian dinding bangunan telah berlumut, sebagian lagi mengelupas. Angka empat pada penanda nomor rumah di pilar pintu gerbang terhuyung miring.

Tapi apa daya, bisnis Papa mengalami kesulitan sejak enam bulan lalu membuatku kini harus meninggalkan nyamannya kamar mewah di asrama putri yang sebelumnya kutempati. Mama sudah tak sanggup meneruskan membayar sewanya. Bahkan, aku masih cukup beruntung tetap bisa meneruskan kuliah. Dengan berhemat sana sini tentunya.Dan sampailah aku disini.

"Cari siapa, Mbak?"

Seorang nenek tua tiba-tiba menyapa mengejutkanku. Perawakannya pendek dan gempal, dengan rambut beruban yang digelung. Sinar matanya teduh bersahabat. Mengingatkanku pada Mbok Dar, pembantu di rumah yang sudah ikut keluarga kami sejak Papa masih remaja.

"Mbak, cari sia-?"

Aku tergagap menjawab, "Ma-maaf, Bu. Apa betul ini kos-kosan Bu Santi?"

"Iya. Betul, Mbak. Ada apa ya?" jawabnya sopan lalu terbungkuk-bungkuk membuka kunci gerbang.

"Saya anak temannya Bu Santi. Kemaren ibu saya sudah nelpon kalau saya mau kesini"

"Oh. Ayo mari masuk, Mbak. Kebetulan Bu Santi ada"

"Mbak, siapa namanya? Biar Mbok kasih tau ke Ibu." lanjutnya setelah mengunci gerbang kembali.

"Saya Feli, kalau Nenek..?" Kuulurkan tangan. hendak menjabatnya. Dia menatap tanganku, kemudian beralih ke wajahku. Sekilas kulihat keraguan di dirinya.

"Eh. Maaf, Mbak. Tangan Mbok Jum kotor. Ayo, mari Mbok antar ke dalam". Dia menampik halus jabatan tanganku.Kusampirkan tasku di bahu, melangkah memasuki halaman mengikuti Mbok Jum melewatipohon besar tadi. Beberapa helai daun kering berjatuhan di rambut dan bajuku.

Dan dari dekat, penampilan rumah ini semakin membuatku ragu. Bangunan rumah dua lantai bergaya klasik, atau mungkin memang sudah berumur. Balkon besar di lantai dua menjorok ke depan ditopang dua pilar dengan profil garis-garis vertikal diakhiri lengkungan melingkar di ujungnya, bewarna kusam.

Di lantai dasar, jendela kaca besar berornamen mengapit pintu depan berdaun ganda yang tak kalah besarnya. Langit-langit teras terkelupas dan berlubang di beberapa tempat, tanda tak terawat.

Mama kok punya temen yang rumahnya serem gini ya?

Mbok Jum membuka salah satu daun pintu depan dan mempersilahkanku masuk "Silahkan, Mbak"

Wooww...gilaa..

Berbeda sekali dengan kondisi bagian luar rumah, di dalam tampak bersih dan cukup mewah. Lantai terasso berwarna krem kekuningan mendominasi luas ruangan yang menurutku ruang utama, ditambah perpaduan meja besar dan kursi kayu dengan guci-guci berukuran setinggi pinggang, menghilangkan kesan burukku tadi.

Ada satu benda yang membuatku tertegun, jam lonceng besar di sudut ruangan, mirip seperti di rumah Opa.

"Ada siapa, Mbok?" suara seorang wanita setengah baya mengejutkanku, diikuti langkahnya menuruni tangga oval di sisi ruangan utama.

"Ini, Bu. Yang kemaren Ibu berpesan mau ada tamu yang dateng" jawab Mbok Jum.

Wanita itu merapihkan kimono tidurnya, melihatku dan tersenyum. Dia menatapku beberapa saat, membuatku salah tingkah.

"Kamu Feli ya..? Ingat nggak sama Tante?" la melangkah menjabat tanganku erat.

"Eh..iya, Tante. Saya Feli"

"Dulu sekali, kamu pernah kesini sama Mama Papamu. Waktu kamu masih kecil. Masa nggak ingat?" Kucoba mengingat-ingat, tapi tak menemukan sedikit pun memori itu.

"Mmm..maaf, Tante. Aku nggak inget" jawabku kemudian. Dia kembali tersenyum. Digamitnya lenganku dan menyuruhku duduk di sofa.

"Ya udah, nggak papa. Gimana Mama, sehat?"

"Sehat, Tante" "Kalau Papa?"

"Baik juga"

"Syukurlah semua baik. Papa masih usaha kontraktor?" lanjutnya.

"Mmm..masih, Tante. Tapi kantornya udah tutup, sekarang Papa ngantor di rumah" jawabku muram.

Kekacauan politik dan tragedi bulan Mei lalu benar-benar memukul usaha yang telah dirintis Papa sejak muda. Satu demi satu asetnya harus dijual untuk menutupi kerugian beberapa proyeknya yang ikut terkena imbas kerusuhan.

Bagaimana tidak, para pemilik perusahaan klien Papa banyak yang lari keluar negeri bahkan ada yang menjadi korban kerusuhan, sedangkan upah tukang dan hutang Bank tetap harus dilunasi.

Dia menghela nafas sejenak, mungkin tahu kekurangnyamananku menjawab. Aku yakin Mama juga sudah menceritakan keadaan kami kepadanya.

Tak terasa satu minggu sudah aku tinggal di sini. Tak disangka, di dalam rumah ini ada sepuluh kamar yang dikoskan, terletak di belakang bangunan rumah utama terpisahkan oleh dapur. Dan semua kamar kosnya terisi penuh. Karena pertemanannya dengan Mama, Tante Santi memberikan potongan harga khusus buatku untuk tinggal di kos itu.

Beruntungnya lagi, kamar yang kutempati terletak paling dekat dengan dapur atau bangunan utama. Penghuni kamar sebelah, berurutan ke kanan, Lia, Devi, Mita dan Maria. Sedangkan di deretan seberang, ada Fay dan Rita yang kukenal, tiga lainnya jarang pulang ke kos.

Dari kesemuanya, Lia dan Fay yang paling akrab denganku karena kami sepantaran. Mereka yang membantuku merapikan barang-barang di kamar saat hari pindahan, sehari setelah kedatanganku pertama kali di rumah Tante Santi ini.

Melalui cerita mereka, kutahu Tante Santi tinggal dan mengelola kos ini dibantu Mbok Jum yang sudah lama bekerja padanya. Untuk urusan mencuci pakaian, ada tukang cuci yang setiap hari datang pagi dan pulang setelah lewat tengah hari.

"Tante Santi tuh udah lama ditinggal mati suaminya, anaknya ada dua. Sudah berkeluarga semua, tinggal di Surabaya dan Medan" cerita Lia suatu saat.

"Tapi dia udah tenang hidupnya, warisan suaminya banyak. Makanya dia bisa punya banyak kos-kosan. Ada empat lagi selain di sini, belum lagi ruko yang dikontrakin"

"Wah, hebat ya" jawabku.

"Memangnya Mama kamu nggak pernah cerita

tentang Tante Santi?" Fay ikut nimbrung. "Enggak tuh, Mama cuma bilang ada temen Mama yang punya kos-kosan" jawabku, tak ingin mereka bertanya lebih jauh hubungan Mama dengan Tante Santi, apalagi alasanku sebenarnya pindah kesini.

"Pokoknya kamu bakal betah deh disini. Tante orangnya nggak bawel, yang penting jam sepuluh malem udah nggak boleh ada tamu. Jam sebelas kalau malem minggu" lanjut Fay.

"Iya, Fel, ini aja kita dikasih duplikat kunci gerbang sama pintu depan kan. Biar kalau kita pulang pacaran kemaleman masih bisa masuk, kaya si Fay tuh. lya kan, Fay. Hahahaha...". Lia tertawa terbahak-bahak.

"Enak aja. Kamu tuh yang suka menyelundupkan Mas mu ke kamar" tangkis Fay bengis.

Bantal melayang ke wajahnya dilanjutkan bantal gulingku yang innocent jadi korban lemparan.

"Sssstt...Gila Lu ya. Ngomong pake Toa sekalian". Lia sewot. Jangan-jangan sakit nih bocah berdua...

"Oh ya, ada satu yang perlu kamu tau. Kamu liat di meja deket pintu dapur ada telepon kan? Nah, udah jadi tugas yang kamarnya terdekat yang menjawab kalau ada telepon.". Lia dan Fay tersenyum penuh arti..

"Lho, emang ada aturan gitu ya?"

"Ada, dong. Apalagi kamu anak baru. Hihihi.." "Nggak gitu juga, sih. Maksudnya kalau telepon bunyi, kamarmu kan paling deket, jadi paling keberisikan. Mau nggak mau kamu mesti angkat" jelas Fay lagi.

Aku hanya bisa manggut-manggut pasrah.

********

Malam itu.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Aku hampir terjatuh dari kasurku, saking kencangnya bunyi dering telepon itu. Ternyata benar ucapan Lia dan Fay tadi. Melirik jam di dinding. Buset, jam duabelas, siapa sih malem-malem gini telpon..?

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Kututup kepalaku memakai bantal, berharap Lia, Fay atau siapa saja anak kos yang lain mau mengangkat telepon itu. Setelah beberapa deringan, bunyi telepon itu berhenti, kembali keheningan yang terdengar.

Fiuuuhhh...

Namun belum sempat menarik selimut untuk meneruskan tidur, tiba-tiba suara itu kembali...

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Damn! Bunyi lagi...

Dengan malas-malasan aku turun dari kasur, membuka kunci pintu dan melangkah keluar kamar. Suasana sepi sekali diluar.

Kriing...

Langsung kuangkat telepon itu.

"Halo..."

Hanya hening yang terdengar.

"Haloo..." kutinggikan suaraku kesal. Masih

tanpa jawaban. "Haloo...mau cari siapa?! Jangan main-main

ya...!!" bentakku membanting gagang telepon.

Keesokan harinya,

"Fay, semalem denger nggak ada yang nelpon tengah malem?" tanyaku saat kami mengantri kamar mandi.

"Nggak denger sih, teler aku habis ngerjain tugas. Nggak tau kalau si Lia tuh" "Jangan tanya aku, aku lagi mimpi dinner sama

Ari Sihasale" jawab Lia, duduk sambil ngupil.Aneh, padahal sekencang itu kok nggak ada yang denger. Tapi, ah, bodoh amat..

Malam berikutnya.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Kembali bunyi dering telepon itu terdengar lagi. Parah, ada telpon lagi jam segini. Paling-paling orang ngerjain aja kaya kemaren.

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

"Haloo..." sapaku ketus.

"Halo, selamat malam" terdengar jawaban dari seberang, suara berat seorang pria.

"Maaf, mau bicara dengan siapa ya?"

"Hhhh...Lastri ada....hhh?" pria itu bertanya dengan ******* berat.

"Lastri? Lastri siapa yaa..? Kayanya nggak ada yang namanya Lastri disini" jawabku.

"Hhh.. Lastri ada...hhh" pria itu mengulang pertanyaannya, dengan intonasi persis sama.

"Maaf Pak, Mas. Di sini nggak ada yang namanya Lastri"

Tuuuttttttt....

Sambungan telepon terputus.

"Sakit..!" ucapku gusar sambil meletakkan kembali gagang telepon di tempatnya.

*******

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Ini tengah malam ketiga berturut-turut aku mendengar dering telepon itu.

Seharian tadi aku sibuk sekali di kampus dan baru pulang ke kos menjelang larut malam. Aku sampai lupa hendak bertanya pada Fay dan Lia apakah ada penghuni kos yang bernama Lastri.

"Halo...". Kembali suara pria kemarin terdengar di speaker telepon yang menempel di telingaku.

"Halo, selamat malam" ucapnya lagi.

"Malam pak, yang kemaren cari Lastri yaa?"

jawabku cepat.

"Hhh...Lastri ada..hhh?"

"Maaf, Pak. Lastri yang mana ya, Pak? Mungkin Bapak salah sambung?"

"Hhh...Lastri ada...hhh?" Aneh banget nih orang, nanya diulang-ulang.

Baru saja aku hendak menjawab dengan penuh kekesalanku, tiba-tiba di sudut mataku terlihat seorang gadis berdiri di belakangku. Aku sampai melompat saking terkejutnya.

Entah sejak kapan dan dari mana ia berdiri disitu. Gadis cantik berambut panjang itu memakai setelan kaos putih dan celana panjang berbahan kain. la tersenyum padaku.

"Kaget ya?" tanyanya.

"Eh. Sedikit, Mbak". Otakku berpikir keras siapa gadis ini.

"Itu yang telpon cari siapa?"

"Katanya sih, dia cari yang namanya Lastri, Mbak. Mmm, Mbak anak kos sini juga?"

"Aku Lastri, kamarku yang ujung itu" ia menunjuk kamar di ujung, salah satu kamar yang penghuninya belum pernah kutemui.

Wah, kebetulan..

"Oh, mbak Lastri..?! Kebetulan. Ini, Mbak. Silahkan" aku menyorongkan gagang telepon padanya. Namun ia hanya berdiri diam tak menyambut gagang telepon itu.

"Yaah. Udah mati teleponnya, Mbak" seruku

setelah terdengar suara Tuuutt di speaker telepon.

Saat berbalik badan setelah meletakkan gagang telepon, Mbak Lastri sudah berlalu. Hanya kulihat punggungnya saat dia membuka pintu sebelum. masuk ke kamarnya.

Aneh...nggak nanya nggak apa, langsung masuk kamar lagi.Perasaanku mulai tidak enak.

**********

Syukurlah, keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, dering telepon di waktu tengah malam itu tidak terdengar lagi.

Hingga pada suatu malam...

"Fel, harpitnas besok ikut aku pulang, yuk. Ke Purwokerto" ajak Fay sore itu. Baru saja aku hendak membuka mulut, Lia menyela "Ikut aku aja, deket. Ke Semarang doang"

"Harpitnas", hari kejepit nasional, hari yang disukai sebagian besar orang karena berarti ada tambahan hari libur. Termasuk juga bagi Dynamic Duo ini, Fay dan Lia. Kenapa aku namai mereka begitu? Sebab mereka dinamis sekali alias tidak bisa diam. Kalah deh bola bekel.

"Mmm, gimana ya? Aku lagi banyak tugas anak anak yang belum diperiksa nih"

Padahal itu hanya dalihku saja. Uang kiriman dari Mama hanya pas-pasan untuk membayar kos dan makan dengan menu standar selama sebulan, kadang kurang. Untunglah mulai semester lalu aku terpilih menjadi Asisten Tugas di kampus, uang sakunya lumayan untuk tambahan jajan.

"Iya deh, yang Asisteenn..." sindir Fay.

Aku hanya tersenyum, pahit sebenarnya. "Kamu yakin nggak mau ikut? Atau jangan-jangan kamu mau pulang juga ke Jakarta?" tambah Lia.

"Pulang Jakarta? Tanggung lah cuma libur tiga hari, capek di jalan"

"Naik pesawat kali. Naik bis ya tua di jalan, Lu". Lucu juga mendengar Lia mengucapkan kata tadi dengan logat Semarangnya, apalagi kalau Fay yang bicara.

"Aku ora bali, nang kene wae"

"Yakin? Sendirian Iho di kos-an, yang lain biasanya pada pulang juga kalau libur agak panjang gini" "Iya, Tante juga suka pergi nengok cucunya.Paling Mbok Jum yang stand by" lanjut Lia.

"Ya udah kalau gitu, ntar kamu pegang kunci kamarku aja, nonton tivi di kamar daripada bete sendirian" kata Fay lagi.

"Iya bener, Fel. Daripada kamu nonton tivi di dalem rumah Tante, serem sendirian. Apalagi pas enak-enak nonton, jam loncengnya bunyi.. Doong..doong..doong. Hiiii..." seru Lia bergidik menirukan suara dentang lonceng jam di ruang utama.

"Iya, iyaa. Makasih ya sobat-sobatku yang paling bawel, eh, baik"

"Atau...hmm, aku tau! Kamu mau nge-date ya? Siapa, Fel? Ayo kenalin". Fay menggodaku diiringi tawa Lia.

"Sorry ya. Nggak ada waktu yaa buat cowok. Wek.." kujulurkan lidah ke mereka.

Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah memesan taksi ke terminal. Agak siangan, Lia, Devi, Maria dan lainnya pun menyusul satu persatu pergi dari kos ini.

Hanya tinggal Mbok Jum yang terakhir kulihat sedang menyapu halaman depan. Tante Santi? Sudah dua atau tiga hari ini tidak tampak di rumah, mungkin pergi menengok cucunya atau mengontrol kos-kosan lainnya.

Sendirian di kos keseringan itu membuatku bosan. Komik Lucky Luke kesayangan sampai kucel bolak balik Aku membacanya.

Aku melangkah masuk ke rumah utama, maksudnya hendak mengobrol dengan Mbok Jum, kondisinya sepi sekali di dalam. Kudekati pintu kamarnya yang terletak di dekat tangga. Baru saja hendak kuketuk, terdengar halus suara dengkuran dari dalam kamar.

Komplit..!!

Akhirnya, untuk mengusir galau, dan lapar karena belum makan siang, aku meluncur ke supermarket Mirota yang terletak hanya tiga ratus meteran dari kos. Masih terjangkau dengan berjalan kaki.

Setelah menghabiskan seporsi lotek plus bakwan di warung dekat supermarket itu, kuhabiskan waktu menjelajah naik turun lantai satu dan lantai dua supermarket, sampai-sampai Bapak Satpam yang berjaga beberapa kali menatapku waspada, bahasa halus dari curiga.

Tumben sekali, biasanya ada saja wajah para mahasiswa satu kampus yang beredar di tempat ini, tetapi hari ini tidak satu pun kutemui. Mungkin semuanya pulang kampung menikmati libur Harpitnas.

Kelelahan, setelah arloji menunjukkan jam tujuh malam, aku pun melangkah pulang sambil menenteng sebungkus pecel telur dari warung pecel lele langganan.

Saking seringnya aku membeli makanan di situ, si Mas penjualnya sampai hafal sekali padaku. Begitu menunjukkan hidung di warungnya, dia akan langsung berteriak ke Mas satunya, tukang menggoreng.

"Di, pecel telur siji. Sego siji setengah. Karo tempe tahu. Garing. Bungkus yoo.." Dan aku cuma bisa tersipu dilihat sekian banyak mahasiswa yang makan di warung itu. Cewek mungiltapi makannya banyak, mungkin begitu yang ada di benak mereka.

Aku berjalan pulang, melangkah santai di trotoar yang ramai lalu lalang pejalan kaki dan juga warung tenda pedagang makanan. Satu dua warung dipenuhi pembeli yang duduk berjubel bahkan ada yang makan sambil berdiri, sementara beberapa warung lainnya lengang menampakkan wajah penjual yang penuh harap pembeli.

"Mampir, Mbak.." sapa salah seorang dari

mereka.

"Sampun, Mas" kujawab sembari tersenyum tipis. Kutunjukkan bungkusan kantong kresek berisi pecel telur tadi.

"Nambah Mbak, sekarang bayar besok gratis Mbak" goda temannya disahuti tawa penjual dari warung sebelah. Aku hanya menggeleng sopan dan berlalu.

"Ceweek..!!". Kali ini suara memanggil dengan maksud menggoda terdengar saat aku melewati kumpulan pembeli angkringan yang duduk lesehan di bidang trotoar.

Huh, kalau rame gitu berani manggil-manggil. Coba sendiri. Kalau udah gini, nyesel juga mutusin si kutu kupret. Gitu-gitu Nando berguna juga buat anter jemput.

Tak terasa, sampai juga langkahku di depan gerbang rumah kos yang remang, hanya diterangi lampu taman yang hidup segan mati tak mau. Kubuka gembok yang mengunci gerbang itu sambil mengarahkan pandangan ke halaman.

Pernah kutanya ke Mbok Jum kenapa bagian luar rumah seperti kurang terawat, Mbok Jum hanya terkekeh. "Mbok ngga tau, Mbak. Tugas Mbok Cuma dalem rumah dan kos belakang" Kemudian hari kudengar dari cerita Lia yang paling lama kos di antara kami bertiga, konon dulu suami Tante Santi sangat rajin berkebun dan merawat halaman depan itu. Dan dia meninggal mendadak terkena serangan jantung saat sedang menyiram tanaman. Mungkin hal itu yang menyebabkan Tante Santi nyaris tidak mau merawat bagian depan rumah terlebih halamannya.

Gelap. Dahan pohon besar itu seakan bergerak melambai. Pemandangan sehari-hari yang kulewati saat pulang dari kampus, kali ini menimbulkan perasaan aneh di hatiku.

Aku berjalan cepat melewati halaman, membuka kunci pintu depan lalu menghambur masuk ke dalam. Lega sekali melihat cahaya lampu terang benderang di dalam. "Mbok, Mbok.."

Kuhampiri pintu kamarnya yang tertutup. Dari sela-sela lubang angin di atas kusen, terlihat terang di dalam kamar.

Tok..tok..tok..!

Kuketuk pintunya berkali-kali.

"Mbok, Mbok.."

Baru jam setengah delapan Mbok Jum udah tidur? Duh, sepi amat ya. Nyesel juga nggak ikut Fay atau Lia. Mana laper lagi...

Sebentar kemudian kuhentikan usahaku memanggil Mbok Jum. Aku bergeser ke dapur mengambil piring dan sendok lalu membuka pintu penghubung ke kos dan masuk ke kamarku. Rasa lapar begitu menderu hingga kuputuskan menyantap makan malamku sesegera mungkin.

Perpaduan nasi porsi jumbo, telur dadar, sambal tomat dan lalapan daun kemangi, kusantap dengan lahap hingga licin tandas. Memang nikmatnya tak terkira menikmati makanan saat sedang lapar laparnya.

Saat kembali ke dapur mencuci piring di wastafel, kulirik ke ruang utama yang masih tidak ada tanda kehidupan. Hanya bunyi detak jarum jam yang terdengar dan sesekali suara kendaraan melintas di jalan depan sana. Selesai mencuci, kukeringkan tanganku di handuk yang tergantung di pegangan kulkas dua pintu di sebelah meja dapur.

Mataku tertuju pada kertas yang menempel pada magnet di pintu kulkas.

Tertulis disitu :

Feli, Tante cari kamu ngga ada.

Mbok Jum Tante ajak beres2 ke kos Timoho ya. Besok juga pulang.

Jaga rumah baik-baik.

Note: awas dilarang bawa cowok masuk (terutama kalau jelek)

(Tante)"Kalau ganteng boleh dong, Tan.." celetukku gemas, bercampur ngeri. Waduh..mati aku. Bener-bener sendirian malam ini.

Buru-buru aku berlari masuk ke kamar, namun baru saja tubuhku menyentuh kasur, aku teringat sesuatu.

Tadi Fay nitip kuncinya kan ya. Mendingan di kamar dia deh, begadang nonton tivi.

Lalu tak terasa jam di dinding kamar Fay sudah menunjukkan waktu hampir tengah malam. Semula kukira aku bisa begadang menonton televisi, namun acara demi acara di saluran televisi yang tayang, tak ada satu pun yang menarik bagiku.

Tiba-tiba,

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Waduh, bunyi lagi tuh telpon. Pasti orang itu lagi. Males banget. Kututup kepalaku di bawah bantal. Kali ini aku bertekad, tidak akan keluar menjawab telepon itu.

Toh, tidak ada anak kos lain.

Hening sejenak.

Kemudian kembali bunyi dering telepon itu terdengar meneror telinga...

Kriing...

Kriiing...

Kriing...

Masa bodo..bunyi aja terus. Dengan sikap masa bodoh aku meneruskan. menonton televisi, tak kupedulikan lagi telepon yang terus menerus berdering.

Kriing...

Kriiing...

Klek !!

Terdengar suara gagang telepon diangkat. Jantungku seakan berhenti sesaat.

Hah, siapa itu? Mbok Jum ? Tante Santi?

Segera kukecilkan volume televisi dan memasang telinga. Lamat-lamat terdengar suara perempuan berbicara. Jelas bukan suara Mbok Jum atau Tante Santi, namun aku juga tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan.

Pikiranku berkecamuk, terisi lintasan adegan film horor yang pernah kutonton silih berganti. Bulu kudukku meremang berdiri dalam ketakutan yang teramat sangat.

Kusembunyikan seluruh tubuh dan kepalaku kedalam selimut milik Fay. Kedua telinga kusumpal dengan jari dan berbaring meringkuk. Kubaca doa sebisanya. Dan suara perempuan yang berbicara di telepon itu masih terdengar biarpun lirih.

Beberapa saat kemudian suara perempuan itu tak terdengar lagi, hening.

Aku menahan nafas menunggu, menajamkan pendengaran.

Tetap hening.

Baru saja hendak menghembuskan nafas lega, terdengar suara lain. Suara tangis merintih dan Membuatku semakin ketakutan. meringkuk menyayat. menggigil

Namun entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba hatiku terdorong untuk mencari tahu sumber suara itu. Perlahan kukeluarkan tubuh dari balik selimut kemudian mengendap turun dari tempat tidur tanpa mengeluarkan sedikitpun suara.

Kudekati jendela disamping pintu, kugeser sedikit sekali gorden yang tertutup untuk mengintip.

Dan...

Tiba-tiba wajah seorang perempuan muncul mendekat di balik kaca jendela. Tepat di titik dimana aku mengintip.

Aku melompat ke belakang seketika. Jantungku berdebar kencang, sementara lututku terasa lemas tak bertenaga.

Wajah cantik itu, terlihat pucat dengan raut memelas. Aku pernah melihatnya.

Mbak Lastri !!!

Tok..

Tok..

Tok...

Terdengar bunyi ketukan pintu.

"Tolong...tolong..." rintih perempuan di luar kamar, disambung sesenggukan tangis.

Aku terduduk ketakutan di sudut kamar. Nyaliku lenyap seketika. Kututup mukaku dengan kedua telapak tangan.

Tok..tok..tok..

Kriiing...kriiing..kriing...

Tok..tok..tok..

Kriing..kriing..kriing..

Bunyi ketukan di pintu semakin keras ditingkahi dering telepon tanpa henti.

"Tolong..tolong..". Tiba-tiba suara itu terdengar jelas dan dekat.

Di sebelah telingaku..!!

Kugerakkan jari tengah dan telunjuk, membentuk sedikit celah untuk mengintip.

"Toloong...." rintihnya, menampakkan wajah pucatnya. Hanya berjarak sejengkal dariku.

Kemudian pandanganku gelap

×××××

Terpopuler

Comments

your name

your name

aku lagi baca jam 00.00 ngeri bet lah cerita nya

2022-09-13

1

syah2

syah2

ini serem banget ceritanya, mana baca malem lagi.

btw, panjang banget berapa kata kak! suka banget sama detail penggambaran suasananya. pengen bisa nulis kayak gini, berasa horornya.

2022-08-08

2

FLA

FLA

ntar lagi woke nie kek nya

2022-08-08

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!