Jogja, awal 90-an.
And I'll be your lover, your lover And I'll be your best friend, oh I'll be your friend I'll be there when you're needing me, when you need me.
I'll be your everything, your everything
I'll be your everything
I'll be all that you want and all that you need I'll be your everything
I'll give you all that I have, my love, my life, and me
I'll be your everything
Suara lembut Tommy Page terdengar mengalun sendu dari radio kecil di meja, menemaniku menyetrika baju kering yang sudah menumpuk beberapa hari di pagi itu.
Kutunggu sampai Refrain lagi dan "berduet"
dengannya, "I'll be your everything
I'll be all that you want and all that you need
I'll be your everything I'll give you all that I have, my love, my life, and me
I'll be your everything.."
"Lastriii....Wooiii, berisik kali pagi-pagi gini ah" Wajah kusut Mbak Tio menyembul di ambang pintu kamarnya. Kaos abu-abu penuh noda bekas coretan tinta rapido, "seragam" yang selalu ia pakai kalau begadang menggambar bangunan, menambah kekusutannya.
"Eh, sorry Mbak. Memang kedengeran ya?".
Kusunggingkan senyum termanisku.
Seluruh penghuni kos sini tidak ada yang berani macam-macam kepada yang namanya Mbak Tio ini.. Mahasiswi semester sepuluh jurusan Arsitektur, asli Medan, penghuni senior di kos Tante Santi yang kuhuni setahun belakangan.
"Galak orangnya" kata si Kristin padaku di awal aku masuk. Tapi tidak menurutku.
Memang dia suka bicara dengan nada tinggi dan terkesan tidak sabaran, tapi sebenarnya dia baik sekali terutama padaku, mungkin karena aku hanya setahun dibawahnya. Tak jarang dia mentraktirku makan malam, biasanya kalau honor pekerjaan sampingan menggambarnya cair.
Sesekali kami berbincang sampai larut malam di kamarnya, terutama tentang pacar-pacar kami dan juga cowok ganteng lain tentunya.
Sebelumnya aku kos tiga tahun di Mrican tapi terpaksa ikut pindah seiring kepindahan kampus jurusanku, Ekonomi, ke dekat kos ini..
"Ah kau ini..ya kedengaran lah. Mana baru tidur pun aku" "Bagus pun suara kau..tapi lebih bagus lagi kalau tak nyanyi" disambung tawanya terbahak-bahak. "Ha..ha..haa..". Aku manyun.
"Mbak, hari ini nggak ada bimbingan?" Sama sepertiku, Mbak Tio juga sedang menyusun skripsi.
"Nggak ada, dosen pembimbingku lagi turun
ngontrol KKN" jawabnya sambil berjalan ke dapur. "Kau mau bikin kopi nggak, Las?"
"Nggak, Mbak. Sayang ya, tinggal dikit kan, Mbak?"
"Heh, apanya? Masih kok kopinya.." "Bukan..itu lho skripsinya."
"Ooh. Kau pun, ngomong kau sambung sambung" gerutunya dari balik dinding dapur yang berbatasan dengan meja tempatku menyetrika.
Kriing...
Kriiing...
Kriing...
Telepon di meja tengah ruangan selasar antara deretan kamar kos berbunyi nyaring.
Kriing...
Kriiing...
Kriing...
Tanggung, dikit lagi nyetrikanya. Paling juga nyariin si Erin.
Kriing...
"Laas. Angkat lah dulu, tanggung nih" teriak Mbak Tio.
"Iya bentar, Mbak. Aku juga tanggung" jawabku bangkit dengan enggan mencabut kabel setrikaan.
"Haloo.."
"Halo, Mbak. Erin-nya ada" jawab suara cowok di seberang.
Tuh kaan.
"Gustav ya? Bentar..."
"Erin...Eriiinn ! Telpoonnn...!!" teriakku menengok ke arah kamar deretan ketiga atau tengah, sejajar dengan meja telepon.
"Bentaar.." jawab Erin dari dalam kamar. Sekejap kemudian, seorang gadis cantik berwajah Indo keluar dari kamar lalu mengambil gagang telepon yang kuletakkan di meja dan berbicara dengan yang mencarinya tadi.
Erin, kami kadang menyebutnya "si bungsu". Selain karena dia paling yunior di kos, paling muda karena baru semester dua, sikapnya juga paling ceria dan manja, mudah akrab dengan orang lain. Tak butuh waktu lama kami se-kos jatuh hati padanya. Ya itu, menganggapnya adik bungsu kami.
"Sekilas mirip Phoebe Coates ya" ujar Yanto, teman kuliahku, sambil melongo saat sedang bertamu di kos dan si Erin menyapaku sebelum ia melintas masuk.
"Hehe. Cantik ya, Papanya bule" jawabku. "Dah punya pacar belum" nadanya berharap.
"Banyak.."
"Hahaha..penonton kecewa" ledekku.
Aku jadi ingat saat pertama kali bertemu dia beberapa bulan lalu. Malam sudah larut sekali sepulang dari mengumpulkan bahan skripsi, kulihat sosok gadis yang tak kukenal sedang berdiri menelepon. Saat didekati, dia berbalik dan setengah melompat terkejut melihatku.
"Kaget ya?" tanyaku.
"Dikit Mbak" jawabnya masih dengan wajah terpana.
Aku tersenyum.
"Itu telpon nyari siapa?"
"Katanya sih nyari Lastri, Mbak. Maaf, Mbak kos
disini juga?" "Aku Lastri, kamarku yang ujung itu" menunjuk
kamarku yang berada paling ujung dalam. "Oh, ini Mbak Lastri ya. Ini Mbak, silahkan" dia
menyorongkan gagang telepon padaku.
"Terima kasih ya" kuterima gagang telepon yang diserahkannya. Ternyata Mas Leon, tunanganku, dia ingin memastikan aku sudah sampai di kos karena tadi tidak sempat mengantarku pulang, ada pekerjaan di proyek yang tidak bisa ditinggal katanya.
Kami sudah merencanakan pernikahan kami, nanti setelah aku menyelesaikan studi.
Aku kembali ke meja setrikaan tadi, mengambil baju yang sudah rapi dan memasukkannya ke lemari dalam kamarku. Mbak Tio sudah duduk di depan kamarnya menyeruput kopi.
"Nih Las, aku bikin sekalian teh buatmu, sayang kali aku masak air banyak tadi" "Makasih. Tumben banget, hujan deras ntar
kayanya nih" kuambil gelas berisi teh di depannya. "Bajigur iik, asem tenan. Bagus dah dibikinin"
umpatnya.
Sedang asyik-asyiknya kami mengobrol dan
bercanda, tiba-tiba,
Ting Tong...
Ting Tong..
Bunyi bel rumah mengejutkan kami berdua, Erin sudah menghilang masuk ke kamar mandi. Terdengar bunyi jebar-jebur siraman air. "Mbak Lastri, ada Mas Leon.." terdengar suara
Mbok Jum dari dalam rumah utama.
Mas Leon? Udah hampir jam sepuluh kok kesini?
"Ya Mbok, sebentar" jawabku dan beranjak ke kamar mengganti piyama pink-ku dengan setelan kaos dan celana selutut. Mbak Tio pun beringsut masuk lagi ke kamarnya.
Melintasi ruangan rumah utama lalu membuka pintu depan, di teras, sudah duduk di sana sesosok pria berseragam bertubuh tinggi tegap, berkulit agak gelap terbakar matahari, Mas Leon.
Dia bangkit menyongsong aku yang berjalan menyambutnya. Diciumnya lembut keningku seraya memeluk erat tubuhku. "Hai Mas, tumben kesini jam segini, nggak telat
ke proyek?" tanyaku setelah kami duduk di kursi
tamu teras.
"Nggak papa, semalem kan ngecor sampai hampir subuh. Agak siangan lah berangkatnya"
"Lastri dah sarapan belom? Nyobain warung lotek deket Mirota situ yuk" lanjutnya mengajakku.
"Ayo. Tapi aku belom mandi nih, ganti baju doang tadi."
"Pantesan dari tadi ada bau asem gimana gitu..." godanya.
"Tapi suka kan?" jawabku manja disambut tangannya mengacak-ngacak rambutku. Sesaat kemudian mobil Katana-nya meluncur membawa kami berdua.
Saat kembali ke kos, Mas Leon ikut turun mengantarku sampai pintu depan rumah. Bersamaan dengan itu, pintu depan terbuka. Erin muncul bersama Sinta, kamarnya bersebelahan denganku dan dia yang mengajak Erin kos di tempat ini. Sepertinya mereka hendak berangkat kuliah. siang.
"Mbak Lastri, Mas Leon..pagi-pagi udah pacaran nih ceritanya" sapa Erin..
"Pagi? Udah siang ini. Hehehe.." jawab Mas Leon terkekeh.
"Mau pada kuliah ya?" tanyaku. "Iya Mbak, kuliah jam satu ntar. Biar nyantai
berangkat sekarang" Sinta menjawab.
"Ikut sekalian yuk, kan searah kampus sama.
proyek"
"Ngga enak ah, Mas. Ngrepotin" "Halah. Kaya sama siapa aja, Rin. Udah gak papa, sekalian Mas Leon mau jalan nih" dukungku. Setelah saling berpandangan sejenak, Erin dan Sinta mengangguk mau.
"Ya udah, ayo masuk semua. Aku berangkat ya, Las". Mas Leon mengecup keningku lagi dan bergegas ke mobilnya, lalu Katana itu melaju seiring lambaian tanganku.
**********
Tiga bulan terakhir ini aku sangat sibuk dengan skripsiku. Waktu habis untuk menyebar kuesioner, melakukan wawancara dengan responden, mengolah data yang telah dikumpulkan dan juga bertemu dosen pembimbing.
Biarpun begitu, selalu kuusahakan sering menelpon Mas Leon dan sebisa mungkin kuluangkan waktu di malam minggu atau hari minggu untuknya. Namun, Mas Leon tak kalah sibuk, sering sekali harus lembur di proyek.
"Ngejar deadline nih, Las. Sorry ya, nggak bisa ngapel" katanya di telepon. "Iya nggak papa, Mas. Kalau besok minggu gimana? Nonton, yuk" jawabku maklum.
"Mmm. Kayanya ngga bisa, Las. Besok juga masuk"
"Kalau Senen, kan ada nomat"
"Apalagi Senen, ribet"
"Oh gitu, ya udah. Mas baik-baik ya. Jaga
kesehatan" "Iya. Kamu juga. Udah ya, aku buru-buru nih"
"Ya Mas. Daah. I love you.."
"Love you too.."
Klek. Tuuttt. Telepon terputus.
Beberapa kali seperti itu yang terjadi setiap kami berbicara di telepon.
Lalu kuperhatikan, saat akhirnya kami bisa bertemu pun sikapnya pun tidak sehangat biasanya. Tapi aku berpikir positif. Mungkin karena memang kami sama-sama sibuk. Dia dengan pekerjaannya dan aku dengan skripsiku.
"Door !!!" Aku tersadar dari lamunanku.
"Mbak Ayu.."
"Ngelamun wae. Itu kuesioner mau mbok apake..? Berantakan di kasur kaya gitu" ucap Mbak Ayu, penghuni kamar seberang, dengan bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Lalu ia melangkah masuk kamarku.
Mbak Ayu masih memiliki hubungan saudara dengan Tante Santi pemilik kos, dan dipercaya sebagai wakil Tante Santi untuk urusan kos-kosan seperti pembayaran kos atau jika ada yang harus diperbaiki.
"Jarene sibuk, malah ngelamun"
"Hehehe. Ngaso sebentar, Mbak. Puyeng"
Dia mengambil posisi duduk di ujung kasur dekat pintu. "Iya, podo hee. Aku juga"
"Ngomong-ngomong, Si Leon kok ra tau ketok? Pindah luar Jawa opo?" sambungnya.
"Ora Mbak, masih di sini aja kok"
"Lha kok ra tau teko mrene? Lagi musuhan opo?" "Ora Mbak, apik-apik wae kok" jawabku.
"Lagi podo-podo sibuk wae, Mbak"
"Ooh, yo wis. Ta pikir ono opo. Tapi coba kamu
tanya dia, jangan-jangan ada ganjelan❞
"Maksud Mbak opo?"
"Wong lanang kuwi angel-angel gampang. Kadang di depan diem baik-baik aja, belum tentu di pikirannya lho"
"Sayang ho nek sampe lepas. Ngganteng, mapan, pinter.." pujinya dengan mata berbinar. "lih, Mbak ini. Apa sih? Jangan-jangan Mbak Ayu
naksir po piye? Huuhh.." Aku pura-pura merajuk. Dia tertawa tebahak-bahak. "Yo wis, diterusin kerjaane. Aku turu awan sek" ucapnya sambil bangkit dari duduknya dan berlalu keluar.
"Lho Mbak, jarene sibuk juga..kok malah turu awan?" godaku.
"Gampang, ben digarapke Gito wae" jawabnya menyebutkan nama pacarnya.
"Dasaarr..."
Pembicaraan dengan Mbak Ayu tadi membuatku gelisah. Dan aku tersadar sudah tiga hari tidak berkomunikasi dengan Mas Leon. Kangen juga sama dia. Aku telpon dulu deh, daripada nggak tenang ngerjain skripsi.
Setelah berganti baju sekadarnya, aku keluar menuju Wartel yang hanya berjarak tiga rumah dari kos. Aku masuk ke bilik wartel dan memencet nomor telepon kantor Mas Leon, seperti biasanya. Setelah beberapa nada panggil, teleponku diangkat.
"Halo selamat sore"
suara seorang pria menjawab.
"Selamat sore Pak. Maaf bisa bicara dengan Pak Leon?"
"Pak Leon? Sebentar ya Mbak" jawabnya. Kutunggu beberapa saat.
"Halo Mbak, Pak Leon nya nggak masuk hari ini" Aku terkejut "Nggak masuk? Kenapa katanya Pak?"
"Kurang tau Mbak"
Lalu terdengar suara wanita di belakang pria itu.
"Nyari siapa? Pak Leon? Sakit"
"Oh, sakit katanya Mbak" pria itu meneruskan. Aku tambah terkejut saat itu. "Oh gitu, terima kasih ya Pak"
Tanpa pikir panjang aku berlari kembali ke kos, buru-buru berganti baju dan meminjam sepeda motor Mbak Ayu.
"Mau kemana, Las?" menyerahkan kunci dan STNK.
"Ke kontrakan Mas Leon, kata kantornya dia
sakit"
"Lho, dia sakit nggak bilang ke kamu ya?"
"Justru itu, Mbak...aku takut sakitnya parah"
"Mau ditemenin nggak?" "Nggak usah, Mbak, terima kasih. Aku pinjem dulu ya, Mbak.."
Dengan kecepatan tinggi kubawa motor Grand milik Mbak Ayu meliuk-liuk diantara kendaraan lain. Tak kupedulikan klakson mereka, hanya satu yang kupikirkan, sampai ke tempat Mas Leon.
Sesampainya di kontrakan Mas Leon, kuparkir motor di halaman dan mengetuk pintu depan.
Tok..tok..tok...
Pintu terbuka. Mas Felix, teman satu kontrakan Mas Leon, menyembulkan kepalanya.
"Lho, Lastri?!" sapanya kaget. Sikapnya aneh, tak seperti biasanya jika aku dan Mas Leon di kontrakan itu.
"Mas Leon ada, Mas? Kata kantor dia sakit" "Eeh..eeh.." dia terbata-bata menjawab.
Aku jadi geregetan. Kudorong pintu itu hingga Mas Felix terdorong ke belakang. Aku berlari menuju kamar Mas Leon di belakang. Kubuka pintunya yang tidak terkunci. Dan seperti petir menyambar tubuhku saat itu....
"Mas Leon..?!" "Erin..?!"
"Kaliaan...?!"
Rasanya bagai langit runtuh menimpaku. Aku berbalik badan dan berlari keluar. Benar-benar tak kupercaya telah menyaksikan orang yang akan menjadi suamiku berduaan dengan gadis yang telah kami anggap saudara.
Entah sejak kapan mereka menjalin hubungan terlarang itu. Mas Leon berlari berusaha mencegahku pergi.
"Las..Lastrii..tunggu.." Kutepis keras tangannya yang memegang bahuku. Tak sudi aku melihat mukanya. Pandanganku kabur, air mataku mengucur deras tak tertahan.
Kulewati Mas Felix yang hanya berdiri terdiam. Lalu kudengar ia berteriak pada Mas Leon. "Apa aku bilang coba? Kejadian kan!"
"Diem kamu, Lix. Nggak usah ikut campur.."
Aku berbalik sejenak, kutatap wajah Mas Leon penuh kemarahan. Kulepas cincin pertunangan dari jariku dan dilemparkan ke tubuhnya.
"Terlalu kamu, Mas..!!" teriakku.
"Mbak..Mbaak Lastriii..maafin Erin, Mbak..." tiba tiba Erin berlari menyusulku. Dia memelukku erat dari belakang, berusaha menahanku menaiki motor. Kugerakkan seluruh tubuh melepaskan pelukannya hingga ia jatuh terduduk di tanah. Ngga sudi aku kamu sentuh. Jijik aku.
Dan saat itu kurasakan nyeri menusuk dadaku. Tapi kuabaikan dan terus melajukan motor kembali ke kos.
"Lastri. Kamu kenapa..?" tanya Mbak Ayu saat aku masuk ke kos. Mbak Tio dan Sinta ikut menatapku bertanya-tanya.
"Nggak papa, Mbak. Ini saya kembaliin kuncinya. Terima kasih ya, Mbak" jawabku tersedu kemudian menghambur masuk ke kamar, mengunci pintu dan menangis di tempat tidur. Tak kupedulikan mereka yang mencoba mengetuk pintu dan memanggil namaku.
"Las..Lastrii. Buka dong. Kamu kenapa..?" tanya Mbak Ayu dan Mbak Tio beberapa kali.
Entah berapa lama aku menangis. Mas Leon, Tega sekali kamu Mas. Tiga tahun sudah kita lewati bersama. Dan cincin tunangan ini sudah 6 bulan aku pakai.
Sebentar lagi aku lulus Mas. Dan kita nikah, seperti janji kamu ke aku. Aku kurang apa sih Mas?
Kita pacaran dari kamu masih kuliah, belum punya apa-apa. Apa sayangku belum cukup, perhatianku belum cukup.Atau kamu memang maunya cewek yang secantik Erin buat jadi istrimu? Kamu lupa semua kenangan kita? Kamu lupa semua janji kita?
Semua kenangan tentang kami, perasaan cinta dan benci, rasa terkhianati, semua berkecamuk dalam hatiku. Kembali kurasakan nyeri di dada menusuk-nusuk.
Aku merangkak turun dari tempat tidurku.
Gelap. Kuraba dinding mencari saklar dan menyalakan lampu kamar. Di luar kamar masih terang dan kudengar banyak orang yang berbicara.
"Gila kamu ya, Rin. Tega-teganya kamu sama Lastri..!!!" suara Mbak Ayu yang biasanya lembut terdengar keras sekali. Lalu kudengar suara tangisan Erin, mengucap
terbata-bata. "..iy..aa Mbaak. E..riin sa..laah.."
"E..rriin mii..taa..maa..aaaff.."
"Jangan minta maaf ke kita, nggak ada gunanya. Ke Lastri tuh. Kalau aku yang digituin, udah aku bejeg-bejeg kamu.." jawab Mbak Ayu geram.
"Kau itu Erin...kayak pagar makan tanaman. Kurang baik apa itu si Lastri sama kau. Calonnya kau embat pula..!!"
"Udah, Mbak..cukup" aku keluar dari kamar.
Erin menghambur mencoba memelukku, tak henti-hentinya bibirnya berkata maaf memohon. ampun.
"Aku dah nggak tau mau ngomong apa, Rin. Aku juga nggak tau sekarang gimana perasaanku" "Sudahlah, mungkin memang Mas Leon bukan jodohku" Dan tangisku kembali tak terbendung. Kurasakan beberapa tangan menopang dan memapahku ke kursi. Erin bersimpuh di depanku. Sekilas kulihat Mbok Jum berdiri di pintu dapur menyaksikan kegaduhan yang terjadi.
Kutatap Erin lagi, kebencian yang memuncak mendorongku ingin sekali melakukan hal terburuk padanya. Tapi sesuatu dalam diriku mencegahnya. Lama aku terdiam.
"Sabar ya, Las. Sabar.." Mbak Ayu mengelus
ngelus pundakku. "Iya Mbak. Sabar.." Sinta turut meneteskan air mata. Rasa nyeri datang lagi. Kutarik nafas dalam-dalam
dan menghembuskannya perlahan..
"Iya, aku udah nggak papa" Dan malam itu aku tidur ditemani Mbak Tio.
"Biar kalau kau mau macam-macam ada yang megangin" begitu katanya.
Besoknya, kudengar dari Mbak Ayu, pagi-pagi sekali Erin keluar dari kos kami. Tante Santi yang mendapat laporan dari Mbok Jum mengusirnya. Tapi kurasa tidak diusirpun dia akan keluar sendiri.
Hari demi hari penuh kesedihan pun harus kulalui. Namun aku tetap bertahan.
Belakangan aku tahu dari cerita Mbak Tio, bahwa Mas Leon berkali-kali datang ke kos tetapi anak-anak kos dan Mbok Jum kompak mengatakan padanya kalau aku tidak ada.
Begitu juga saat dia meneleponku.
Untungnya kegiatanku di kampus boleh dibilang sudah tidak ada, hanya meyusun skripsi di kos, sehingga aku tak perlu menghindari Mas Leon jika dia mencariku di kampus.
Dan akhirnya sepertinya dia berhenti mencariku. Syukurlah, karena aku juga sudah bertekad akan menata hatiku perlahan. Akan sangat sulit untukku jika dia masih berada di dekatku.
Kukira semua akan berjalan baik. Hingga malam itu....
Long weekend karena tanggal merah jatuh di hari Jumat. Aku hanya tinggal bertiga di kos bersama Mbok Jum dan Sinta. Penghuni kos lain pulang kampung atau pergi berlibur.
Aku enggan sekali pulang ke Madiun tempat asalku, aku malas mencari-cari alasan jika Bapak dan Ibu menanyakan kabar Mas Leon.
"Lho, kok pulang sendiri? Leon-nya mana?" pasti begitu pertanyaan mereka.
Entah ya, kalau mereka sudah tahu sendiri dari Mas Leon.
Sinta, setahuku tinggal di Solo, tapi dia memang jarang pulang kampung karena orangtua nya pengusaha yang sama-sama sibuk. "Males aku Mbak, pulang juga ketemunya sopir sama pembantu tok" ucapnya suatu kali.
Sudah hampir lewat tengah malam, aku sedang menonton televisi di ruang rumah utama ditemani Mbok Jum yang duduk terkantuk-kantuk. Sinta tidak kelihatan keluar dari kamarnya sejak makan malam tadi, sepertinya ia sudah terlelap ke alam mimpi. Tiba-tiba,
Kriing... Kriiing...
Kriing...
Telepon kos berdering kencang.
"Mbok, Mbok Jum..." panggilku, berharap dia bangun dan mengangkat telepon itu.
Namun ternyata ia sudah terlelap. Ah, paling Sinta yang ngangkat.
Biarin aja.Tetapi, sekian lama berlalu....
Kriing...
Kriiing...
Kriing...
Telepon itu tetap berdering tiada henti. Dengan ogah-ogahan aku bangkit dari sofa tempat ku duduk.
Terpaksa, daripada berisik.
Pokoknya, kalau Mas Leon, aku tutup.
"Halo.." tak ada yang menjawab, hanya suara ruang kosong yang terdengar. "Halo...cari siapa ya?"
"Hhhhh...Maafin aku Lastri.." suaranya pelan dan berat, tapi aku mengenali suara siapa.
Mas Leon !!
Aku sudah akan menutup telepon berkata lagi saat dia
"Jangan tutup, Lastri..hhhhh" "Aku minta maaf. Hhhh...Aku tau aku salah.. Hhhh...Aku khilaf"
"Hhhh...Aku tau kamu sakit hati..hhhh..dan benci sekali sama aku"
"Aku...hhhh...cuma mau minta maaf" Dia berhenti sejenak.
"Hhhh...aku nggak akan ganggu kamu lagi..hhhh" "Hhhh..baik-baik yaa...Aku sayang kamu"
Klek.
Tuuuuttttt...
Air mataku tiba-tiba kembali menetes.
Sejujurnya jauh dalam hatiku masih tersimpan rasa sayang padanya. Kenangan-kenangan indah kami langsung terputar ulang di kepalaku. Ingin sekali rasanya tadi ku mengucap "Ya, Mas. Aku maafin"
Entah jika nanti luka hati ini telah kering, mungkin aku akan ucapkan itu, Mas.
Kembali ke ruangan utama, aku matikan televisi dan kembali ke kamar setelah membangunkan Mbok Jum supaya tidur di kamarnya. Dan aku langsung terlelap.
Kriing...
Kriiing...
Kriing...
Dering telepon itu kembali membangunkanku.
Mas Leon...?
Bergegas keluar kamar, kuangkat lagi telepon itu.
"Halo.."
"Halo, selamat malam. Maaf ini dengan Mbak siapa ya?" terdengar suara pria berbicara, dengan latar belakang sirene, entah ambulan atau mobil polisi.
"Lho, Bapak mau cari siapa nelpon kesini?" "Maaf Mbak, betul Mbaknya ini Mbak Lastri, saudara atau temannya Mas Leon?"
"Iya, saya Lastri. Saya temannya Leon. Maaf, ada apa ya, Pak" perasaanku tidak karuan, masih terlalu sakit hati kalau aku menjawab tunangannya.
"Oh, begini, Mbak...Ini saya temukan nomer telepon ini di balik kartu nama di dompetnya. Makanya saya hubungi Mbak"
Deg..! Jantungku berdebar kencang.
"Lho, memang Mas Leon nya di mana, Pak?"
"Mmm, begini, Mbak. Mohon maaf, yang tabah ya, Mbak" "Lho..lhoo...kenapa, Pak?"
Dadaku mulai nyeri lagi.
"Teman Mbak kecelakaan"
"Haahh..?!?
"Kecelakaan dimana, Pak? Keadaannya gimana, Pak?" Nyeri itu semakin menusuk.
Aku kehilangan keseimbangan. Kucoba sekuat tenaga berpegangan meja supaya tidak terjatuh.
"Maaf, Mbak, teman anda sudah tidak tertolong"
Mas Leon..!!! Pandanganku gelap seketika. Badanku terjatuh keras ke lantai. Aku tak bisa bernafas. Nyeri yang menusuk dadaku tak tertahankan lagi..
"Tolong...tolong..." teriakku tanpa suara yang keluar dari mulutku.
"Tolong..."
Samar sekali kulihat pintu kamar Sinta terbuka. Dia berteriak-teriak berlari menghampiriku. Memeluk tubuhku di pangkuannya. Kulihat mulutnya memanggil-manggil namaku, tetapi aku tak mendengar apa-apa.
"Tolong...." Kemudian gelap.
***********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
anggita
I, ll be your everything... tommy page.
2022-08-08
1
128 √e980
Aku mampir lagi thor, semangat terus ya
2022-06-25
3
meli meilia
err...😰😰👻👻
2022-06-19
2