"Wuuooohh... Karin! Karin! Karin!," Seru para penonton yang tengah asyik menyaksikan pertandingan basket di lapangan pada jam istirahat sekolah. Hanya antar kelas, namun terasa mengasyikkan karena kehadiran sang kapten si cewek populer, Karin.
Gadis itu, dengan tinggi badan yang mumpuni mampu melangkahkan kaki sedemikian lebar dan cepatnya hingga dengan mudah merebut, mendribble, untuk kemudian ia lemparkan bola ke dalam ring dan mencetak skor bagi team nya.
"Wuuuhhh... Good job Rin!," Ucap salah seorang kawan satu team sembari melakukan high five padanya.
"Ayo.. Ayo.. Go.. Go!," Ajak Karin pada team nya untuk kembali fokus pada permainan.
"Permisi.. Permisi.." Samar-samar terdengar suara seorang gadis yang berusaha menyelinap di antara kerumunan pelajar yang berdiri memenuhi pinggir lapangan. Karin menoleh sejenak, mendapati Adelia yang nampak mendekat padanya.
"Rin! Karin!," Panggil Adelia. Raut wajahnya jelas terlihat panik, napasnya sedikit terengah-engah.
Karin yang masih memegangi bola berhenti sejenak, memusatkan sepenuhnya perhatian pada sahabatnya tersebut. "Kenapa Del?," Tanya nya penasaran.
"Huh.. Huh.. Rin! Barusan ada telepon masuk di ponsel kamu, aku coba angkat.."
"Terus?"
"Ibu kamu yang telepon, katanya ayah kamu kolaps, masuk rumah sakit!"
"Apa?" Reflek, gadis itu melepas bola dalam genggamannya. Memandang Adelia tak percaya. "Kamu serius Del?"
"Serius!"
"Ada apa beb?," Darren yang menyadari ada sesuatu tak beres dengan Karin lantas menghampiri nya ke tengah lapangan.
"Ayahku.." Jawab gadis itu lirih.
"Kenapa Del?"
"Ayahnya Karin kolaps.."
"Ya ampun.. Ayo beb, aku antar kamu ya," Ajak Darren.
"Ayo"
Mereka berdua melenggang pergi dari lapangan, menyisakan pertanyaan bagi semua mata yang menyaksikannya. Pertandingan berhenti sejenak sebelum akhirnya diteruskan kembali walau sang kapten undur diri.
Karin meminta izin pada guru untuk pulang lebih awal sebab harus datang menemui ayahnya yang saat ini kabarnya sedang berada di rumah sakit. Bersama Darren yang juga diizinkan menemani dan mengantarnya.
Cowok itu, mengendarai sendiri mobilnya. Darren memang seringkali mendapat privilege sebab orang tuanya adalah salah satu donatur tetap yayasan sekolah swasta elit tersebut.
Memiliki paras rupawan, posisi terpandang di sekolah, tentu membuat gadis manapun sangat ingin berdampingan dengannya. Walau pada akhirnya, ia hanya memilih Karin sang kapten basket yang juga menjadi primadona di sekolah.
Banyak yang bilang mereka berdua adalah pasangan serasi. Yang satu tampan dan yang satunya cantik. Sempurna, mungkin lebih tepatnya.
Sekitar dua puluh lima menit kemudian mereka sampai di rumah sakit. Karin segera menghambur setengah berlari menelusuri koridor demi mencari kamar rawat inap ayahnya. Semasa di jalan tadi, ia sempat menelepon lagi ibunya, dari sanalah akhirnya ia tahu dimana sang ayah berbaring di sebuah ranjang kamar VIP.
"Ayah.." Panggil Karin lirih. Ia masuk ke dalam kamar rawat inap tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu, sebab merasa amat khawatir dengan kondisi ayahnya.
Gadis itu menghampiri ayah yang terbaring lemah. Selang infus tampak menempel di salah satu punggung tangannya. Dia juga diberi oksigen serta alat pemantau detak jantung.
Karin tak menyangka, padahal ayahnya telah melakukan operasi pemasangan ring baru belum lama ini. Ia mengira bahwa ayah sudah baik-baik saja. Namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya.
Ayah nampak lemah, wajahnya jelas terlihat pucat, meski ia berusaha mati-matian untuk menutupi di depan putrinya semata-mata agar gadis itu tak begitu khawatir. Namun kenyataannya tidak begitu berhasil.
"Ayah.. Kenapa jadi begini?," Suara Karin terdengar sedikit bergetar. Ia menggenggam sebelah tangan ayah.
"Kenapa? Ayah baik-baik saja nak, Karin kenapa menangis?"
"Karin tahu, ayah nggak baik-baik saja.."
Ayah menanggapi dengan senyum di bibirnya yang pucat.
"Ayah sehat dong yah.. Karin sedih kalau ayah sakit begini.."
"Oke, ayah janji sebentar lagi pasti ayah akan sehat," Ucap ayah yang berusaha menghibur putrinya walau tak mengurangi sedikitpun kadar kekhawatirannya.
"Karin kesini sama siapa nak?"
Gadis itu melepas genggaman dari tangan ayahnya, sementara Darren mendekat perlahan. Mencoba untuk menyalami ayah dari kekasihnya.
"Sama saya om. Kenalin, saya Darren.." Ucap cowok itu memperkenalkan diri seraya mencium punggung tangan ayah.
"Darren anaknya pak Adam?"
"Betul om," Jawab Darren pendek.
"Ayah kenal?" Karin menyerobot dengan pertanyaannya.
"Iya , cuma sekadar tahu pak Adam. Beliau donatur di sekolah kamu itu."
Karin mengangguk perlahan sambil melirik Darren di sampingnya yang entah sejak kapan wajahnya berubah jadi lebih sumringah.
"Nak Darren, maaf ya jadi merepotkan," Ujar ibu.
"Nggak merepotkan sama sekali kok tante. Saya malah senang karena bisa bantu Karin," Akunya.
Karin mengedarkan pandangannya ke salah satu arah dimana di tempat itu, ada seorang pria bertubuh tinggi yang dikenalnya berdiri sambil memandangnya. Dialah Rey yang sedari tadi sama sekali tak ia sadari keberadaannya.
"Lho, ada bang.. Rey?"
"Iya, tadi Rey yang bantu bawa ayah kesini," Jelas ibu.
"Kok bisa?"
"Itu suatu kebetulan," Sambar Rey.
Karin menatap nya bingung dengan tetap mempertahankan ke-sinis-an di wajahnya.
"Tadi aku ada keperluan di gedung tempat om bekerja. Lalu ketika itu, aku mendengar suara gaduh dari salah satu sudut ruangan. Saat aku menghampiri, ternyata om Ahmad. Sudah pingsan, dan kawannya bilang beliau kolaps," Jelas Rey seiring dengan berkurangnya kadar sinis di wajah gadis itu.
Karin memandang lagi ayahnya, yang masih terlihat begitu lemah. Walau sangat ingin berterimakasih pada Rey, namun rasa gengsinya jauh lebih besar. Biarlah pikirnya, paling tidak ibu pasti sudah mewakili.
Usai menyantap jatah makan siang dan meminum obat yang diresepkan dokter, ayah langsung tidur guna mengistirahatkan tubuh agar cepat pulih. Sementara ibu tetap berada di samping ayah, Karin, Darren dan Rey yang tidak lagi berkepentingan memilih untuk keluar dari kamar rawat.
Darren terus mengekor pada gadis itu, bagai tak ingin berpisah barang sejengkal pun darinya. Melihat gelagatnya yang seperti itu, Rey sudah sangat paham bahwa ada sesuatu yang spesial di antara mereka. Namun pria itu tak ingin banyak berkomentar.
"Makasih ya, sudah antar aku kesini.." Ucap Karin pada Darren.
"Sama-sama, mudah-mudahan ayahmu cepat sembuh ya," Jawab Darren sambil mengusap-usap bahu Karin. Gadis itu bahkan belum sempat mengganti pakaiannya. Ia datang dengan masih menggunakan kostum basket dan sweater tipis yang menutupi sebagian tubuhnya.
"Uhm.. Maaf, om siapanya Karin ya?," Tanya Darren basa-basi pada Rey yang hanya terdiam sambil menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Sorry? Kamu nanya saya?," Rey menunjuk dirinya sendiri.
"Iya."
"Oh. Saya Rey, abangnya Karin."
"Abang?"
"Sepupu," Sambar Rey.
"Oh, saya pikir abang kandungnya. Soalnya, kalau nggak salah Karin nggak punya abang yang wajahnya seperti ini."
"Memangnya wajah saya seperti apa?"
"Sedikit berbeda." Jawab Darren.
"Lalu, kamu ini siapanya Karin?" Rey balik bertanya.
"Saya pa-"
"Teman," Sambar Karin. "Darren temanku. Kami berteman.." Sambungnya.
"Oh." Respon Rey singkat.
Darren terlihat sedikit kesal sebab Karin menghalangi nya untuk memberitahu Rey bahwa ia adalah pacarnya. Sejak tadi, Darren sedikit tak nyaman dengan cara Rey memandang Karin. Nampak seperti ada maksud dari tatapannya yang berbeda.
"Kita cari makan siang dulu yuk, kamu pasti sudah lapar kan?," Ajak Karin.
Darren menjawab dengan anggukan sambil melempar tatapan tajam pada Rey yang nampak acuh. Sementara Karin menggandeng dan mengarahkannya menjauh dari ruang rawat serta Rey yang masih berdiri di sana.
Dari kejauhan, diam-diam pria itu memperhatikan Karin dan teman laki-lakinya hingga ia menghilang dari pandangannya. Gadis itu, seolah tak pernah memandangnya sekalipun ia baru saja membantu ayahnya.
Rey bukan ingin di anggap pahlawan, atau diberi penghargaan. Dia hanya terbiasa berpegang teguh pada kata ajaib "Maaf, Tolong, dan Terimakasih". Dan ketika melihat tingkah adik sepupunya itu, dia sedikit terkejut. Meski pada akhirnya ia memilih untuk tak terlalu menghiraukannya.
Tak apa, Rey berpikir dia hanya masih terlalu muda. Dan tentu masih memiliki ego yang besar dengan gengsi yang di junjung tinggi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Ehemmm🤭🤭
2024-01-05
0