Finally I Love You!

Finally I Love You!

Chapter 1

"Kariin! Ayo bangun!"

Samar-samar terdengar suara seorang perempuan dari balik pintu kamar berusaha membangunkan putrinya yang masih terlelap dibalut selimut. Cahaya matahari sudah masuk menyelinap lewat jendela kamar yang terbuka sedikit, membentuk garis-garis lurus nyaris menembus kelopak mata sang gadis yang masih tertutup.

Suara itu bukan tak terdengar olehnya, namun Karin, gadis usia enam belas tahun itu hanya malas membuka mata, sebab ia pikir ini adalah akhir pekan. Dan hanya di hari inilah dia bisa bebas bangun siang.

Gadis itu terus mempertahankan posisi ter-nikmat versinya, tidur telentang di atas ranjang dengan kedua kaki yang di bentangkan ke arah dua sudut ranjang. Mengabaikan suara ibunya yang terasa mengganggu, mengabaikan kemungkinan ibunya akan merobohkan pintu tersebut dengan ketukannya yang makin kencang.

"Riin.." Panggil ibunya lagi, tapi kali ini dengan suara yang melemah, mungkin lelah.

"Hari ini ada arisan keluarga nak, ayolah bangun antar ibu. Ayah ada urusan dan harus pergi sejak pagi," Ucapnya lagi.

Seketika kedua matanya terbuka lebar saat mendengar kalimat terakhir ibunya. Arisan? Gadis itu merutuk dalam hati sebab tak mampu bertahan waktu mendengar rengekan ibunya yang selalu mampu menggoyahkan iman.

Pada akhir nya ia bangkit dari ranjang yang seolah masih berbisik untuk tetap di sana. Memasang sandal bulu hangatnya, kemudian berjalan malas menghampiri ibu di balik pintu. Ia mendapatinya, sang ibu yang berdiri di ambang pintu dengan wajah memelas.

"Akhirnya anak gadis ibu bangun juga," Ucapnya dengan ekspresi malaikat.

"Bu, aku masih ngantuk. Aku pesenin ojek online aja ya?"

"Ibu maunya kamu yang nganter."

Karin mendengus dalam kejengkelan yang tertahan sebab ia tidak berani menunjukkan di depan ibunya. Sejak beranjak remaja dan mulai memiliki perasaan sentimentil, Karin memang selalu malas jika harus datang ke acara arisan keluarga, kumpul keluarga, silaturahmi keluarga, atau apapun itu yang berpeluang bertemu dengan keluarga besar.

Sebab inti dari acara kumpul-kumpul itu hanyalah diisi oleh para orang tua yang membangga-banggakan anak-anaknya, si ini yang ranking satu, si itu yang dapat juara Olimpiade, si anu yang jadi siswa teladan. Sedangkan dia?

Karin seringkali merasa seperti remah-remah rangginang yang tersisa di sudut-sudut dalam toples. Terlupakan, tak diinginkan. Hingga pada akhirnya terbuang. Meski di samping itu, para sepupunya yang sebagian besar adalah sesama perempuan tak pernah memandang nya sebelah mata. Maka hanya karena itulah sesekali ia masih mau datang sekadar mengantar ibunya. Seperti hari ini.

"Karin?" Lamunannya buyar ketika ibu memanggil sambil mengayunkan tangan di depan wajahnya.

"Masih pagi udah ngelamun!"

"Karin ngantuk bu, beneran."

"Makanya sekarang mandi! Biar seger! Siap-siap, pakai baju yang rapi. Ibu tunggu ya!"

Usai merengek seolah ia telah kembali jadi anak kecil, ibu langsung melenggang pergi meninggalkan anak gadisnya yang masih berdiri mematung di ambang pintu dengan setumpuk rasa malas di atas bahunya.

Karin berbalik, masuk ke kamarnya lagi hendak menuju kamar mandi setelah mengunci pintu kamarnya terlebih dahulu. Ia melepas semua pakaian lalu menyetel kran shower dengan air hangat untuk mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti kedua kelopak matanya.

Ia menghabiskan waktu hampir tiga puluh menit yang terasa seperti hanya sepuluh menit baginya untuk melumuri tubuh dengan sabun-membilas-mencuci muka-menyikat gigi. Ayah dan ibu nya seringkali mengeluhkan lambatnya gerakan gadis itu ketika mandi, namun tentu Karin selalu menganggap nya angin lalu.

Setelah puas mengguyur tubuhnya, ia meraih handuk, keluar dari kamar mandi dan langsung memilih baju yang akan di kenakan. Setelan casual jadi pilihannya. Dengan inner berupa kaos tipis warna hitam, flanel motif kotak-kotak warna biru dan merah serta celana blue jeans membalut tubuhnya dengan sempurna.

Gadis itu mengeringkan rambut yang masih basah dengan hair dryer, sembari memandangi wajahnya dari pantulan cermin. Dialah Karin. Karina Alamanda Iskandar. Yang belakang adalah nama ayahnya, Ahmad Iskandar.

Murid SMU kelas dua, idaman para cowok di sekolah sebab ia memiliki kecantikan di atas rata-rata. Kedua mata elangnya yang nampak tegas nan berkharisma, bentuk hidung yang mancung, dan bibir tipis kemerahan adalah daya tariknya yang menonjol.

Tinggi badannya mencapai seratus tujuh puluh lima centimeter, rambut panjang lurus sepunggung kepirangan yang sering diikat kuncir kuda itu juga menambah pesona yang dimiliki nya. Karin menyukai olahraga basket dan tergabung dalam team basket di sekolahnya.

Gadis itu nyaris tak pernah mendapat juara di kelas, tapi bukan semata-mata karena ia bodoh. Karin hanya menganggap dia kurang beruntung sebab selalu satu kelas dengan murid-murid berotak jenius, dan mendapat juara kelas sungguh persaingan yang berat baginya.

Namun jika suatu saat ia diminta untuk bersaing dengan adu fisik, Karin tentu dengan senang hati meladeni nya.

Ia dilahirkan di keluarga yang memiliki tiga orang anak laki-laki bernama Khalid, Kamil dan Kanaka, membuatnya menjadi satu-satunya anak paling cantik, dicurahkan kasih sayang dari banyak sosok lelaki dalam hidupnya.

"Huuffh.. Ayo semangat Karin!" Ucapnya bagai menyemangati diri sendiri.

Ia keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua, menuruni tangga dengan langkah hati-hati untuk menemui ibu yang tengah duduk di sofa ruang keluarga dengan ponsel yang menempel di tangannya.

Ibu seringkali menghabiskan waktu dengan berselancar di sosial media, menampung beragam berita yang dibacanya untuk kemudian dia bagikan pada anak, ibu-ibu komplek, atau kadang-kadang suaminya sendiri yang tentu akan merasa jengkel dengan ocehan tak berujung dari bibir istrinya.

"Bu.." Panggil Karin.

"Hmm?" Sahut ibu tanpa mengalihkan mata dari gawai di tangannya.

"Ayo jalan, berangkat sekarang kan?"

"Iya, ayo!"

Ibu berdiri, tapi mata nya masih terus saja memandang layar itu.

"Dimasukin ke tas dulu lah bu hape nya. Masa gitu terus sambil jalan, kalau nabrak nanti gimana?" Protes Karin akhirnya.

"Ini lho Rin, masa gosipnya si artis ini ternyata sudah punya anak dari cewek lain, aduh.. Gimana ya perasaan istrinya?"

"Diam-diam poligami?" Tanya Karin mencoba untuk sedikit merespon pembicaraan ibu yang kali ini soal gosip.

"Nggak tau, belum jelas ini," Ibu tampak menggeser-geser layar ponsel nya.

"Yasudah kalau belum tau. Sekarang jadi arisan nggak nih? Atau aku balik lagi tidur ke kamar ya?" Karin menekankan kalimatnya dengan nada ancaman.

"Eh, jangan dong. Iya iya iya, ayo kita berangkat!" Akhirnya ibu memasukkan ponsel ke dalam tasnya, sementara Karin tersenyum puas.

Mereka berangkat menggunakan mobil yang dikendarai Karin sendiri. Gadis itu memang belum memiliki SIM sebab usianya juga belum cukup untuk membuat kartu tanda penduduk. Namun ia berjanji, jika nanti umurnya sudah cukup, ia pasti akan mengurus semua dan menjadi warga negara yang patuh.

Dulu, abang nya yang nomor dua lah yang mengajarkan ilmu menyetir mobil padanya. Dan hal itu tentu tanpa sepengetahuan ayah mereka. Kamil berkata, anak perempuan itu harus mandiri, semua serba bisa sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain. Dengan begitu, semua laki-laki pasti akan segan padanya.

Dan Karin yang masih polos, hanya mengangguk-angguk dengan menaruh kepercayaan berlebihan pada Kamil yang memang lebih dekat dengannya. Padahal awalnya, Karin begitu menempel dengan Khalid, si abang nomor satu.

Namun ketika dia menikah dan tinggal berjauhan Kamil langsung mengambil alih posisinya. Sementara Kanaka, mereka lebih cocok disebut kucing dan tikus dibanding kakak beradik.

"Ayo turun Rin!" Ajak ibu begitu sampai di halaman rumah tante Lily.

"Aku nganter aja deh ya bu? Nanti aku jemput ibu lagi."

"Kenapa memangnya? Banyak sepupu-sepupu mu lho pada datang," Ucap ibu yang tak setuju dengan keinginan putrinya.

Daripada berdebat, pada akhirnya Karin memilih untuk menuruti perintah ibu. Mereka turun, dan gadis itu melangkahkan kaki dengan malas.

Tante Lily si pemilik rumah mewah ini adalah kakak dari ayah tepat di atasnya yang mempunyai tujuh orang saudara kandung. Dan hari ini, mereka kumpul semua, membuatnya sedikit risih karena pasti akan banyak sekali omongan menyebalkan.

"Selamat datang.." Sambut tante Lily yang berdiri di depan pintu, menyambut hangat kedatangan Karin dan ibu.

Tante Lily adalah seorang wanita berusia lima puluh lima tahun bersuamikan seorang pria asal Australia, dia masih nampak cantik dan bugar. Style nya juga keren, tak kalah dengan yang lebih muda.

Wajahnya juga dari dulu tidak banyak berubah, sampai pernah suatu ketika, Karin dengan dugaannya yang sembarangan, menuduh kalau tante Lily adalah titisan vampir.

"Hei.. Apa kabar?" Ucap ibu sambil saling mencium pipi dengan tante Lily.

"Apa kabar tante?" Karin ikut menyapa sambil mencium punggung tangannya.

"Kabar baik nak, tumben nih Karin mau ikut? Biasanya ibu kesini sama Kamil."

"Si Kamil lagi ada kegiatan sama teman-temannya, jadi nggak bisa anter," Sahut ibu.

"Oh begitu, ayo silahkan masuk."

Tante Lily mengajak keduanya masuk, sejurus kemudian Karin mendapati kenyataan bahwa di dalam sudah banyak sanak saudara yang datang. Ada beberapa saudara sepupu yang tengah berbincang, lalu salah satunya melambaikan tangan begitu melihat kehadirannya.

Tapi sebelum gadis itu menghampiri mereka, ibu menyuruh untuk menyalami terlebih dahulu beberapa orang tua di sana.

"Karin, ya ampun.. Sudah besar sekali sekarang. Kayaknya lebih tinggi dari yang terakhir ketemu ya?" Ucap salah satu perempuan, adik dari ibunya yang ia panggil bibi.

"Iya bi," Karin menjawab se ramah dan se singkat mungkin.

"Kamu kelas berapa sekarang Rin?" Tanya bibi nya yang lain.

"Kelas dua SMU bi."

"Oh, kirain sudah kelas tiga, muka nya lebih cocok jadi anak kelas tiga ya. Dewasa."

Jleb!

Karin berdecih dalam hati sungguh sangat malas menanggapi nyinyiran semacam ini sebab ia tak bisa berkutik sama sekali. Walau dinobatkan sebagai cewek judes, namun jika di depan para orang tua gadis itu seringkali mendadak kehilangan jati diri.

"He.. He.. Iya ya.." Jawab Karin sekena nya.

Ibu yang paham dengan atmosfir yang mulai tak nyaman langsung memberi isyarat agar putrinya berbaur dengan sepupu yang lain, dan menjauh dari kumpulan orang-orang tua tukang komentar itu.

"Akhirnya ratu kecantikan kita mau datang juga," Goda Marissa salah satu sepupunya ketika Karin datang menghampiri.

"Apa sih."

"Habisnya kamu itu susah banget datang kalau ada acara arisan Rin," Gina, sepupu nya yang lain ikut angkat bicara.

"Ya maaf deh," Ucap Karin pura-pura menyesal.

"Kan kita kangen kak Karin.." Dan adik sepupunya, si Putri sampai memeluk dengan erat.

"Kebiasaan kamu put! Meluknya kencang banget!" Protes Karin sambil berusaha melepas pelukannya yang menyesakkan, dan berakhir dengan rengekan si bocah SD itu.

Mereka asyik berbincang-bincang tentang sekolah, tugas yang menumpuk, pacar masing-masing, dan sesekali membahas oppa oppa Korea idola.

Disisipkan dengan guyonan yang di lemparkan secara bergantian, namun semua terhenti ketika Marissa menyebut nama seseorang, putra dari tante Lily yang dia sebut sangat amat tampan.

"Yang mana sih orangnya?" Tanya Karin penasaran.

"Astaga, kamu lupa ingatan atau gimana Rin?" Ucap Gina keheranan.

"Wajar sih Gin, dia kan memang sudah lama nggak tinggal sama tante Lily, si Karin juga jarang ikut acara kayak gini," Bela Marissa.

"Eh.. Tuh.. Tuh.. Orangnya dateng!" Gina menyikut lengan Karin sambil memberi isyarat dari mata nya ke arah seorang pria yang baru saja datang. Dia terlihat sedang menyalami para orang tua yang nampak takjub memandangnya.

"Duh.. Panjang umur.." Gumam Marissa.

Tiga cewek termasuk yang masih kecil ini begitu terpesona dengan cowok satu itu, kecuali Karin, entah bagaimana ia tak merasa terpukau dengannya. Meski ia sendiri tak menampik bahwa menyadari sepenuhnya akan paras tampan yang di miliki cowok itu.

Tapi ia benar-benar berani bertaruh kalau hanya dirinya yang tak tertarik sama sekali. Karena semenjak menjalin hubungan dengan Darren, kekasih yang sudah dipacari nya selama empat bulan itu, ia merasa tak ada lagi cowok yang tampan di muka bumi.

Cuma Darren, hanya Darren.

"Kalau saja Putri sudah lebih besar, Putri mau jadi pacarnya bang Rey!" Cicit si bocah kecil yang isi pikirannya terkontaminasi dengan roman percintaan.

"Hush! Baru kelas enam SD nggak boleh pacaran sama om-om!" Ucap Karin menggoda adik sepupunya.

"Kan tadi Putri bilang kalau sudah lebih besar!" Ucap Putri sambil bersungut, sementara Karin mengacak-acak rambutnya karena gemas dengan celotehnya.

Gadis itu memandang lagi cowok tersebut, tadi Putri menyebut nya bang Rey, dan ia sedikit mengingat tentangnya. Dulu, kalau tidak salah dia sering main bareng dengan Khalid si sulung. Bertanding nintendo, taruhan kartu, dan permainan anak laki-laki lainnya.

Karin merasa dulu wajahnya bukan seperti itu, dan bertanya-tanya dalam hati mengapa orang-orang bisa berubah sedemikian rupa? Sedangkan dia, dari dulu rasanya begini-begini saja.

Rey banyak berubah, dia juga terlihat begitu sopan dengan orang tua, bahkan beberapa di antaranya dibuat takjub di tengah-tengah sesi mengobrol lantaran cowok itu mengaku bahwa dia menjalani perilaku hidup sehat dengan menjadi vegetarian dan tak pernah merokok sama sekali.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Karina Alamanda Iskandar

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Reynard Lewis

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Darren Adam Narendra

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!