A - 3

Hari demi hari berganti, kini Alvi tengah menatap dirinya yang menggunakan kebaya di depan cermin.

"Kak, calon suami gue serius udah tua?" Tanya Alvi pada Bani yang tengah menemani dirinya di dalam kamar.

Sedangkan keluarga yang lain dan para tamu sedang melakukan akad di bawah sana. Bani selama ini tak pernah menunjukkan foto calon suami Alvi pada sang adik. Ia hanya menceritakan jika calon suami Alvi sudah berumur dan di segani beberapa orang. Dari situ saja Alvi yakin jika mungkin calon suaminya pasti pria tua, pak ustadz atau semacamnya. Sebab Tuan Salim selalu ingin memiliki cucu yang mengerti agama dengan sangat baik.

"Seumuran Papa kayaknya"

"Wah gila ya Kakek, gue di jual ke Om-om"

"Hei, Kakek gak jual loe, tapi barter. Soalnya calon suami loe pinter ngaji dan ngerti tentang agama banget"

Mendengar perkataan Bani, hati Alvi rasanya sakit. Air mata perlahan menetes di pipinya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana malam pertamanya nanti. Bani semakin tertawa menjadi-jadi setelah mendengar ucapan sang adik tercinta.

"Kok loe gak sedih sih Kak? Segitu gak sayangnya ya loe sama gue?"

"Karena gue sayang sama loe, gue setuju dengan pernikahan ini adikku tersayang"

Bani menyeka air mata Alvi dengan tisu, ia tak ingin riasan adiknya kacau. Tak bisa Bani pungkiri, rupanya sang adik terlihat cantik saat berdandan seperti ini, walau sedikit berlebihan. Walau Bani sudah berusaha menenangkan adiknya, air mata Alvi tak kunjung berhenti mengalir. Ia tak bisa membayangkan jika harus pergi dari rumah mewahnya. Terlebih harus tinggal hanya berdua dengan pria tua yang akan menjadi suaminya.

Tokk... Ttok...

Suara ketukan pintu terdengar, Mama Oddy masuk kedalam kamar dengan raut wajah keheranan. Ia terkejut melihat Alvi yang menangis seperti ini untuk pertama kalinya. Selama ini Mama Oddy tak pernah melihat Alvi menangis sekalipun, setelah kematian Mama Alvi lebih tepatnya.

"Tante, apa sudah terlambat? Aku tidak ingin menikah"

"Apa? Bukannya kamu setuju?"

"Iya waktu itu aku cuma lagi marah Tante, aku gak mau sama Om-om"

"Om-Om? Tapi kamu sudah menjadi istrinya Alvi, ijab qobul telah usai"

Tangis Alvi semakin menjadi-jadi, ia memeluk Mama Oddy dengan sangat erat. Ini memang kesalahannya, menerima begitu saja karena amarah yang tak terbendung. Mama Oddy mencoba menenangkan ponakannya itu. Ia kembali memperbaiki riasan Alvi dan segera mengajaknya turun ke bawah, sebab para tamu sudah menunggu mempelai wanita.

Alvi sangat sedih sebab harus melepaskan ini semua. Ia masih berusia 18 tahun dan baru lulus SMA. Haruskah secepat ini melepaskan masa mudanya? Pikiran Alvi kembali kalut dan tak bisa berpikir dengan jernih.

Setelah Alvi sedikit tenang, Mama Oddy membawanya turun kebawah. Bersama dengan Bani yang tertawa senang melihat adik kecilnya menangis seperti anak kecil. Perlahan Alvi duduk di samping mempelai pria, ia masih tak mau menatapnya, hanya tertunduk dan menguatkan hatinya. Ia cium tangan suaminya, sekali lagi air matanya menetes.

Semua tamu undangan mengucap syukur dan mengucapkan selamat pada keluarga pengantin.

"Alvi, kau menangis?" Tanya Arfi pada Alvi yang tertunduk.

"Arfi? Loe ngapain disini? Mau ngeledekin gue ya?" Sahut Alvi yang masih enggan mendongakkan kepalanya. Ia pikir Arfi tengah duduk di belakangnya dan berbisik padanya.

"Aku harus datang, kan aku suamimu"

"Apa?" Teriak Alvi terkejut. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Itu adalah Arfi yang tengah mengenakan setelan jas dengan senyuman lebarnya.

Mata Alvi yang penuh air mata terbelalak lebar. Ia melihat semua orang yang memandangi dirinya karena heran.

"Kenapa kau terkejut? Kakek sudah memperkenalkannya padamu malam itu" celetuk Tuan Salim.

"Tapi Kakak bilang, Kakek nikahin aku sama Om-om seumuran Papa" jawab Alvi dengan polosnya.

Para tamu undangan tertawa melihat Alvi yang kebingungan. Begitu juga dengan Bani, Oddy dan kawan-kawan. Mereka seperti orang kesetanan tertawa terpingkal-pingkal. Tuan Salim memukul Bani dan kawan-kawan nya dengan tongkat yang beliau pegang.

"Papaaa" teriak Alvi yang langsung memeluk Ardi dengan sangat erat.

"Tuan Putri Papa sudah besar sekarang"

"Pa, aku gak mau sama dia, dia tuh cowok nyebelin Pa"

"Hush, gak boleh ngomong gitu, dia suamimu sekarang. Kau harus mendengarkan apa yang suamimu katakan, seperti Mama mu dulu"

Alvi memeluk Ardi dengan sangat erat, entah apakah dirinya harus bahagia atau bersedih. Ia bahkan tak tahu pria seperti apa Arfi itu. Tapi ada hal yang lebih mengusik pikiran Alvi, apakah Arfi sepandai itu tentang agama? Apakah dia benar-benar bisa mengaji seperti harapan sang Kakek? Arfi masih seumuran dengan Bani dan Oddy, kedua Kakak Alvi itu saja tak bisa mengaji dengan benar saat Kakeknya menyuruh.

"Gitu banget lihatin nya, aku ganteng ya?" Tanya Arfi yang sudah berada di samping Ardi.

"Dih, loe tuh masih aja kepedean. Lagian, emang loe bisa ngaji?"

"Alvi, sama suaminya gak boleh kasar gitu" sela Ardi menengahi.

Arfi terlihat tertawa senang, sedang Alvi semakin kesal sebab sang Papa malah membela Arfi. Tuan Salim tiba-tiba saja memanggil Arfi, beliau meminta menantu barunya itu untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya orang-orang terdekat Tuan Salim dan keluarga Arfi tentunya. Beliau tak ingin mengundang banyak orang di saat pernikahan sang cucu.

Terlihat sebuah Al-Qur'an disana, salah seorang sahabat Tuan Salim meminta Arfi untuk membacanya.

"Nak Arfi mulailah" ucap sahabat Tuan Salim yang biasa dipanggil Pak Kyai.

Setelah mendengar permintaan Pak Kyai, Arfi mulai membuka Al-Qur'an dihadapannya. Arfi memulainya dengan membaca ta'awudz dan basmallah. Suara merdu Arfi muslim terdengar, ia membacanya dengan begitu indah, bahkan tajwid Arfi mendapat pujian dari Pak Kyai.

Alvi yang mendengarnya bahkan membuka mulutnya, Ardi sampai harus menutup mulut putrinya yang terpesona dengan bacaan Ayat suci yang Ardi lantunkan.

"Alvii" panggil seseorang membuyarkan lamunan Alvi.

"Ibu Maya dan Pak Hasyim, selamat ya" ucap Ardi dengan ramah.

Ardi meminta Alvi untuk mencium tangan kedua mertuanya. Maya meminta sang menantu memanggilnya Bunda, dan memanggil Hasyim dengan sebutan Ayah. Mereka juga memperkenalkan adik laki-laki Arfi yang bernama Arka. Arka baru saja duduk di kelas 1 SMP.

"Anak Bunda hebat kan? Arfi banyak cerita tentang kamu loh"

"Tentang aku? Tapi kami kan dijodohkan"

"Di jodohkan? Sayang, kami tidak akan menjodohkan anak-anak kami. Arfi sendiri yang memintamu kepada Papamu" jelas Maya.

"Dia sedikit keras kepala, kami sudah menasihatinya. Tapi Arfi bilang, keburu kamu dilamar orang lain" imbuh Hasyim.

"Iya nak, Arfi pemuda yang pemberani. Kakekmu langsung setuju hanya dengan satu permintaan pada Arfi"

"Apa Pa?"

"Mengaji, saat itu juga"

Terpopuler

Comments

kalo ada konflik nya jangan berat"ya ka.. takut baper.. hihi

2022-06-10

1

semangat ka.. up lagi dong ka.. hehe

2022-06-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!