Setelah perbincangan konyol dikantin, Alvi Bani dan Arfi memutuskan untuk pergi.
"Dek, gue pinjem motornya ya, loe balik sama Arfi. Gue mau jemput cewek gue"
"Apa'an? Sialan loe, ogah"
"Loe pikir ngapain gue kesini? Udah mana buruan!!" Paksa Bani yang langsung saja merebut kunci motor Alvi. Ia meninggalkan helm Alvi agar adiknya bisa pulang bersama dengan Arfi.
Entah mimpi apa semalam harus pergi bersama seseorang yang paling Alvi benci. Tidak benci, hanya kesal saja sebab 90% saat di SMA, Alvi selalu dihukum karena Arfi.
"Males banget tau gak pulang sama loe"
"Hm... sorry ya, motor gue jelek ya? Loe malu naik ini? Ya gimana lagi Vi, gue cuma punya ini"
Alvi tertegun mendengar apa yang Arfi katakan. Ia menatap motor Supra Fit 2006 yang ada disamping Arfi. Ah sial, bukan ini yang Alvi maksudkan, hanya saja ia tak ingin bersama dengan Arfi dalam keadaan ini.
"Dih, gak cocok banget tau gak sama loe, merendah kayak ini"
"Gue emang rendah hati Vi"
"Hoekk, loe tuh cowok sombong yang kepedean, sebel gue"
Arfi terkekeh dan meminta Alvi untuk segera naik ke motornya. Sebenarnya Alvi sedikit ragu, ia merasa jika berat badannya mungkin tidak akan bisa di topang oleh motor Arfi. Tapi sekali lagi Arfi meyakinkan jika motornya sangat kuat. Terbukti jika dirinya dan Bani berboncengan sampai ke kampus Alvi.
Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Alvi setuju. Ia berdoa yang dikatakan Arfi memang benar. Memang dasar cewek, padahal tubuh Alvi sangat kecil seperti anak SMP.
Arfi melajukan motornya pergi meninggalkan kampus Alvi. Tapi bukan menuju arah pulang, melainkan ke arah lain. Ke tempat yang membuat Alvi geleng kepala tentunya.
"Butik? Ngapain kita kesini?"
"Gue disuruh Bani, anterin loe milih baju pernikahan"
"Kok loe? Harusnya kan gue sama calon suami gue"
"Dia sibuk, gak apa-apa gue dapat amanah dari Kakak loe. Yuk masuk"
Tak ada pikiran aneh, Alvi mengikuti Arfi masuk kedalam butik itu. Waktu rasanya berlalu dengan begitu cepat. Seminggu lagi Alvi akan menikah dengan pemuda pilihan Kakeknya. Pemuda yang tak Alvi ingat tampangnya dengan jelas malam itu. Pemuda yang hanya sedetik melintas dalam pikirannya.
Arfi tampak melihat beberapa jas di bagian lain. Sedangkan Alvi hanya menatap gaun-gaun pernikahan disana. Tak ada satu gaun pun yang menarik perhatian Alvi, memang pada nyatanya ia belum siap dengan semua ini.
"Nona Alvi cucunya Tuan Salim?" Tanya seorang karyawan butik yang menggunakan setelan jas rapi.
Alvi mengangguk, karyawan itu langsung menuntunnya pergi keruangan khusus tamu VVIP. Di ruangan itu ada sebuah gaun yang sangat indah, dan juga sebuah kebaya di sampingnya. Warna putih dengan kilauan emas yang membuat gaun itu terlihat begitu elegan.
"Ini yang anda pakai nanti, bisa kita mencobanya?" Ujar karyawan itu dengan sangat sopan.
"Kakek yang memesan? Ah maksudku Tuan Salim yang menyiapkan semua ini?"
"Benar Nona, mari kami bantu"
Helaan napas Alvi terdengar sangat berat. Ia hanya pasrah kala para karyawan disana mulai menyiapkan kebaya dan gaun untuknya. Apapun yang karyawan itu katakan, Alvi hanya mengangguk setuju dengan segalanya. Ia ingin ini semua cepat berlalu, juga tak ingin membuat Arfi lama menunggu.
"Arfi, loe mau beli setelan? Buat apa?"
"Wisuda"
"Kan masih lama, ntar keburu kekecilan tau. Loe mah aneh"
"Suka-suka gue dong. Udah belum cobain gaunnya? Gimana? Bagus gak?"
"Bacot loe, udah yok pergi, laper"
Arfi tersenyum kikuk, ingin sekali rasanya ia memukul mulut kasar gadis itu. Pada akhirnya tak ada setelan yang Arfi sukai dan mereka pun pergi meninggalkan butik.
Selama perjalanan pulang, Alvi beberapa kali menghela napasnya kasar. Seolah ada sesuatu yang menakan dadanya sangat kuat hingga membuatnya merasa sesak. Arfi yang menyadari hal itu, mengubah arah mereka menuju sebuah taman kota yang lumayan ramai hari itu. Sebab hari menjelang sore, banyak sekali muda-mudi yang lalu-lalang disana hanya untuk sekedar menghabiskan waktu luang.
Alvi awalnya ingin menolak, tapi setelah melihat taman yang cukup indah, ia pun mengikuti kemana Arfi pergi.
"Fi, gue Minggu depan mau nikah"
"Iya gue tau. Alvi, bunuh diri itu dosa dan tidak akan membuatmu masuk surga. Jika ada sesuatu yang membuatmu terluka hari ini, tahanlah. Setelah kau menikah nanti, bagi keluh kesah mu pada suamimu"
"Nanti kalau dia marah gimana? Kalau dia anggap gue gak tau diri gimana?"
Arfi tertawa kecil melihat gadis yang biasanya egois ini bisa memikirkan perasaan calon suaminya. Mereka membeli dua es krim dan memakannya bersama. Duduk di tepi danau kecil yang di penuhi eceng gondok.
Dengan begitu santai dan penuh pengertian, Arfi mencoba menjelaskan kepada Alvi. Hanya sebuah bayangan kecil mengenai pernikahan. Ketika dua manusia di persatukan dengan sebuah pernikahan, bukan hanya hubungan mereka yang bersatu. Tapi semua hal mengenai keduanya harus disatukan, dengan cara saling memahami satu sama lain. Berbagi kisah sedih dan menyenangkan, berbagi masalah dan solusi, begitulah pernikahan.
"Loe udah nikah Fi?"
"Belum, kenapa?"
"Sok tau dong loe berarti, dih mentang-mentang tua"
"Udah yuk pulang, udah sore. Nanti gue dimarahin Kakak loe"
"Kenapa sekarang? Masih sore kan, ntar lah agak maleman"
Arfi menarik tas Alvi dengan sangat kasar. Membuat gadis itu berdiri dengan rasa kesal. Bagi Alvi, Arfi adalah pemuda yang sangat aneh dan tak pernah ia temui. Teman-teman pria Alvi selalu mengajaknya bermain sampai malam hari bahkan sampai pagi menjelang. Tapi Arfi malah memarahinya padahal tak ada hubungan apapun dengan mereka.
"Kak Bani gak bakal marah Fi"
"Tapi gue gak suka ada cewek keluyuran tanpa ijin. Takut ada apa-apa"
"Sok romantis loe, cewek loe pasti seneng banget punya pacar kayak loe. Ternyata sekarang loe udah berubah ya, padahal dulu nyebelin bingit"
"Sekarang ngangenin?"
"Hoeek, jijay"
Arfi dan Alvi tertawa bersama, untuk pertama kalinya tak ada perdebatan setelah perbincangan. Sesuai janjinya, Arfi membawa Alvi untuk pulang kerumah.
Bani terlihat tengah duduk di teras rumah bersama dengan teman-temannya. Mereka tampak tersenyum lebar menyambut kedatangan keduanya.
"Wahh pengantin baru nih" ujar Oddy mengejek.
"Ha apa? Wah parah, loe sebenarnya udah nikah ya Fi?" Tanya Alvi merasa dibohongi.
Bani dan teman-temannya semakin tertawa terpingkal-pingkal.
"Rama? Ngapain loe disini? Kan loe bukan brandal kayak mereka"
"Loe ingat Rama tapi gak ingat sama gue?" Sela Arfi sedikit kesal.
Alvi mendengus kesal lalu pergi masuk kedalam rumah setelah menjulurkan lidahnya mengejek Arfi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
up ka..
2022-06-09
1
kak ini kok namanya pemerannya sama kek judul ketua OSIS ya kak..
2022-06-09
1