⁵ Tiga Bersaudara

Mari jangan lupakan Alora yang ditinggal seorang diri oleh Alden. Sebenarnya Alora berniat untuk pulang. Tapi melihat gedung hotel bintang lima yang baru saja dia kunjungi, mengingatkan Alora pada dua manusia di rumah kontrakannya. Alora merasa tidak enak, setelah makan di tempat mewah, sedangkan adik-adiknya kelaparan di rumah. Lagi pula, dia juga belum merasa kenyang. Sehingga, jadilah Alora membawa bungkusan tiga bento box pulang ke rumah.

Alora sampai di rumah sederhana yang bukan miliknya, alias membayar sewa tiap bulan. Ternyata benar dugaan Alora, adik-adiknya belum makan siang. Begitu dia masuk, adik perempuannya sudah menyapa makanan yang dibawa Alora. Bahkan kakaknya sendiri tidak disapa.

"Wah, apa nih? Pas banget kita belum makan." Ujar Kasandra Bestari, adik pertama Alora. Sandra buru-buru membawa makanan itu ke dapur dan mengeluarkan tiga bento box dari tas pembungkus.

"Kalian tuh ya! Kalau gak diomelin dulu gak mau makan. Mandi juga gitu! Harsa!" Keluh Alora. Padahal baru beberapa langkah Alora masuk ke rumah, ocehannya sudah menggema ke seluruh ruangan. Belum lagi Alora melihat sibungsu sedang bersantai disofa sambil menonton TV.

Harsa Bestari, tidak menoleh sedikit pun pada Alora. Tanpa dia sadari, Alora sudah berdiri di depannya, menghalangi pandangan Harsa.

"Sudah mandi belum kamu?"

"Belum mandi dia! Kalau libur mana pernah dia mandi!" Bukan Harsa, malah Sandra yang berseru sembari menikmati makanannya di meja makan.

"Tanggung, udah jam segini. Nanti aja sekalian." Sahut Harsa, sembari berjalan menuju meja makan untuk ikut makan bersama Sandra.

"Ih, Harsa! Sandra juga! Apa-apa harus disuruh dulu. Nanti kalau aku nikah gimana?"

Harsa dan Sandra yang sudah sangat terbiasa dengan omelan Alora, hanya diam saja. Bahkan mungkin, semua kalimat itu hanya berlalu seperti angin lalu. Padahal Alora juga sudah terbiasa dengan sifat adik-adiknya, tapi mulutnya tetap tidak tahan untuk tidak mengoceh. Mungkin karena dia terbiasa mengurus adik-adiknya sejak kecil, Alora sudah seperti sosok Ibu bagi Sandra dan Harsa.

Melihat omelannya tidak digubris sama sekali, Alora memilih pasrah, dan ikut makan bersama adik-adiknya.

"Kakak sendiri belum makan, ngomel-ngomel aja." Keluh Sandra.

"Sudah! Tapi sedikit, gak kenyang."

"Tumben? Biasanya kalau pergi makan sama dokter, bisa makan banyak."

Alora diam, memilih untuk tidak mengatakan apa pun. Adik-adiknya tidak tahu menahu soal acara makan siangnya dengan Alden. Yang mereka tahu adalah, bahwa Alora pergi melalukan tugasnya untuk menyenangkan para dokter. Dia hanya tidak mau Sandra dan Harsa terlalu heboh tentang acara makannya dengan seorang pria. Karena, walaupun terlihat tidak peduli, Sandra dan Harsa adalah adik yang cukup protektif pada kakaknya, terutama soal pria.

"Lagian ya, hari Minggu gini, ada aja acara. Selalu begitu! Gak bisa gitu santai aja di rumah." Sandra mengeluh lagi.

"Ya kan gak setiap Minggu."

Sandra tak menggubris kalimat kakaknya. Alora selalu begitu, mengutamakan kerja daripada kehidupannya sendiri. Sandra lebih sering mengeluh soal pekerjaan kakaknya, daripada Alora sendiri. Dia hanya merasa kasihan, melihat kakaknya harus banting tulang sejak lulus SMA. Padahal Sandra dan Harsa sudah bisa mandiri dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tapi Alora masih sama seperti dulu, bekerja seperti tidak ada hari esok.

Untuk beberapa saat, ketiganya makan dengan tenang, sampai acara berita di TV berbicara tentang pencarian orang hilang, serta penculikan yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi.

"Astaga, belakangan ini memang lagi banyak kasus penculikan. Kalian hati-hati di jalan." ujar Alora, mengkhawatirkan kedua adiknya. Walaupun sudah pada bongsor, Alora masih menganggap mereka adik-adik kecil yang perlu perlindungan.

"Siapa sih yang mau culik orang dewasa? Aku sih mau di culik mas-mas kaya, ganteng, terus disuruh jadi istrinya." Sandra malah mengoceh soal khayalan tingkat tinggi. Ini pasti akibat dari bacaan fiksinya semalam sampai siang tadi.

"Yang ada kamu sakit jiwa! Gila aja korban jatuh cinta sama penculiknya! Kamu tahu stockholm syndrome?"

Sandra menghela napas, tak menggubris kalimat Alora yang terlalu serius. Padahal Sandra juga tidak serius-serius amat. Wanita itu susah sekali diajak bercanda. Jika Ibu mereka masih ada, mungkinkah Alora menjadi orang yang berbeda? Atau itu memang tabiatnya sejak lahir? Sandra menggeleng pelan, berusaha menghapus pertanyaan yang melintas di kepalanya.

"Aku bisa jaga diriku sendiri. Kak Alo, sama kak Sandra yang harus hati-hati." Pria yang sejak tadi irit bicara itu, akhirnya buka suara. Ternyata Harsa sudah menghabiskan makanannya, pantas saja dia baru bicara.

"Sudah selesai makan?" Tanya Sandra. Mereka sudah hidup bersama bertahun-tahun, tapi Alora dan Sandra masih sering takjub dengan kecepatan makan Harsa.

"Kamu gak sakit perut, makan cepat-cepat gitu?"

Harsa menegak minumannya, sembari menggeleng, menjawab pertanyaan Alora. Harsa masih diam di bangkunya, melihat kedua kakaknya menikmati makanan masing-masing. Hasra terlihat bimbang. Ada suatu hal yang mengganggu pikirannya sejak kemarin. Tapi entah apa yang harus dia lakukan soal itu. Apakah dia harus memberitahu kedua kakaknya? Atau lebih baik dia simpan sendiri?

Alora masih makan dengan khidmat, saat dia sedikit melirik pada Harsa. Dalam satu detik, dia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran Harsa. Adik bungsunya itu memang irit bicara, tapi sama sekali tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya. Alora yang sudah merawatnya bertahun-tahun tentu hapal betul dengan sikap Harsa.

"Kenapa? Kamu mikirin apa?" tanya Alora pada Harsa.

Harsa hampir mengumpat, saking kagetnya dengan pertanyaan Alora yang tiba-tiba. Padahal dia sedang termenung sendirian, tapi Alora selalu bisa melihat kegelisahannya. Harsa tau dia tidak bisa berbohong, jadi dia memutuskan untuk menceritakan semua kejadian yang mengganggu pikirannya.

"Kemarin ada yang cari aku di lapas."

Sandra memakan suapan terakhirnya, kemudian memasang atensi penuh pada Harsa. Begitu juga Alora, yang menghentikan aktivitas makannya, untuk memerhatikan Harsa.

"Bapak-bapak, paruh baya. Dia tanya alamatku."

"Kamu ketemu orangnya? Kamu lihat orangnya?" Tanya Sandra.

Harsa menggeleng, "Enggak. Dia ketemu temanku. Katanya, Bapak itu juga gak bilang namanya siapa."

Saat itu juga Alora merasa tidak tenang. Dia berharap orang itu bukan orang yang merusak kehidupan mereka selama ini. Merusak segalanya, baik masa depan maupun masa lalu. Memikirkannya saja sudah membuat Alora merinding ngeri.

Sandra melirik Alora yang duduk di hadapannya sekilas, kemudian kembali pada Harsa dan bertanya, "Terus? Temanmu kasih alamat kita?"

"Enggak. Dia tanya alamatku, tapi pas temanku tanya nama, Bapak itu langsung pergi."

Sandra menghela napas resah. Bukan hanya Alora, bahkan Harsa pun kini juga merasa tidak tenang dengan fakta bahwa seorang pria paruh baya mencoba mencari informasi tentang data pribadinya. Suasana seketika menjadi hening dan agak mencekam. Ketiganya resah dengan perkiraan mereka masing-masing.

Sandra menatap Alora yang tampak larut dalam pikirannya sendiri. Kemudian Sandra menggeleng, berusaha menghapus bayangan seorang pria paruh baya dari kepalanya. Dia menghela napas panjang, lalu beranjak dari duduknya untuk membereskan bungkus makanan yang sudah kosong.

"Kamu gak lagi dikejar rentenir kan, Har?" tanya Sandra.

"Apaan sih? Buat apa juga aku hutang?" Harsa terdengar kesal.

"Yaelah santai aja sih! Kan tanya aja!"

Harsa menghela napas kesal, kemudian beranjak dari duduknya kembali bersantai di sofa depan TV. Suasana sudah kembali mencair, lantas Alora kembali melanjutkan makannya dengan hati-hati. Menyadari hal itu, Sandra mendekat pada Alora untuk menepuk-nepuk bahunya pelan.

"Gak udah dipikirin, kak." ujar Sandra pelan, tapi cukup untuk didengar Alora.

Alora mendongak, tersenyum sekilas pada Sandra, kemudian kembali menghabiskan makanannya. Tentu saja, Alora ingin sekali menghapus segala ingatan tentang pria itu. Sekeras apa pun Alora berusaha, pria itu tetap mengusik pikirannya. Setelah semua cerita Harsa, Alora hanya bisa berdoa, untuk keselamatan mereka, untuk kesejahteraan mereka. Berdoa agar pria paruh baya yang mencari Harsa bukanlah orang yang dia kira.

❖❖❖

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!