² Orang yang Berharga

Suasana rumah sakit masih sibuk seperti biasanya. Pasien berdatangan, tenaga kesehatan mondar-mandir melakukan tugasnya, medrep mengejar waktu kunjungan dengan para dokter. Tapi tidak dengan kasus yang satu ini. Mungkin sejarah boleh mencatat momen ini, dimana seorang dokter giliran mengejar seorang medrep.

"Wah gimana ya dok... Saya harus kunjungan ke dokter Ryan." Ujar Alora sembari curi-curi kesempatan untuk melipir kabur dari Kala yang sejak tadi mendesaknya. Padahal poli tempat praktek dokter Ryan juga ada di gedung yang sama.

"Sebentar, Al. Aduh... Mana ya... Kalau dicari aja susah ketemunya. Nah, udah saya kirim kontaknya."

Alora tertawa renyah di luar, mengaduh dalam hati. Tapi Alora tetap mengecek pesan masuk dari Kala. Sudah terkirim, dan sudah diterima oleh Alora, kontak seorang pria bernama Alden yang tidak lain tidak bukan adalah anak dari Kala.

"Gimana ya dok... Bukannya saya gak mau, tapi kalau ketahuan kantor, saya bisa dapat teguran..." Alora berusaha menolak sehalus mungkin permintaan dari Kala. Semua ini gara-gara Alora mengobrol dengan kakek-kakek yang ternyata adalah Ayah kandung dari Kala. Alora mengira kakek itu sedang mencari Istri muda, ternyata sedang menginspeksi calon mantu.

"Ah, itu sih gak masalah, Al. Yang penting kamu mau." Kala masih menyelaraskan langkah dengan Alora yang berusaha menghindar. Alora tidak pernah tahu kalau ternyata Kala segigih ini. Karena tidak bisa berpikir cepat, Alora akhirnya hanya nyengir saja.

"Oke ya, Al. Nanti saya bikin janji, di restoran hotel Adhigana, ya. Detilnya nanti saya-"

"Dokter Kala! Maaf banget dok, tapi saya sudah punya pacar." Alora akhirnya menggunakan alasan klise, berharap Kala tidak curiga. Memang betul sih, Alora punya kekasih. Tapi tidak bisa diraih. Karena yang dia sebut kekasih itu, adalah Benedict Cumberbatch, bapak tiga anak, yang terkadang berperan sebagai dukun.

Kala menarik napas seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi niatnya terhenti. Kala baru sadar, kalau dia sama sekali tidak tahu apa pun tentang kehidupan pribadi Alora. Kala juga sedikit merasa tidak enak, sehingga dia menyilahkan Alora yang pamit undur diri. Tapi disisi lain hatinya, masih ingin menyenangkan hati Giri.

"Alora!"

Wanita yang disebut namanya itu, menoleh dan menunggu Kala yang berjalan ke arahnya.

"Coba dulu, ya. Makan siang sekali, saya jadikan obatmu prioritas."

Di sini, ada Kala seorang dokter yang melakukan penawaran kepada Alora, seorang medical representative, yang tergiur dengan tawaran itu.

❖❖❖

Alora tidak bohong, dia benar-benar harus memenuhi target kunjungan dengan dokter Ryan. Sehingga di sinilah dia, ruang tunggu poli tempat prakter dokter Ryan, dokter muda idaman para wanita. Banyak desas-desus, kalau selain dokter, Ryan hanyalah pria biasa yang sangat suka dikelilingi wanita. Sehingga tak jarang para medrep wanita memanfaatkan kondisi ini demi terpenuhinya target penjualan. Tapi tidak dengan Alora, dia malah lebih tergiur dengan tawaran dari Kala.

Gila. Alora mungkin sudah gila. Berpikir untuk menerima tawaran itu saja sudah sinting. Apalagi benar-benar menerimanya? Alora tertawa kecil, menertawai kebodohannya sendiri. Disepanjang lamunannya, ternyata dokter Ryan sudah mengakhiri jam prakteknya. Beberapa medrep mulai mengelilingi pria bernama Ryan. Setelah kembali sadar, Alora tersenyum menghampiri Ryan.

"Siang, dok..." Sapa Alora, sembari menyerahkan layar tablet yang diap ditandatangani.

"Alora!" Ryan membalas sapaan dengan ramah. Tangannya menandatangani layar tablet Alora, tapi matanya hanya tertuju pada wanita itu. Ryan sering sekali begitu, terkadang dia tidak menandatangani tepat di kotak yang tersedia, sehingga lumayan merepotkan. Beruntung kali ini, Ryan tanda tangan di tempat yang seharusnya.

"Aku sebenernya mau marah sama kamu loh, Al." Suara Ryan mendadak terdengar serius.

Sambil menyelaraskan langkah dengan Ryan, Alora mencoba untuk tidak panik, "Wah, kenapa ya, dok?"

"Soalnya kamu manggil dak dok dak dok. Panggil Ryan aja."

Alora tertawa, hanya sekedar menghargai candaan Ryan. Sudah beberapa tahun belakangan ini, Alora harus menahan diri dengan sifat Ryan yang genit sana-sini. Dulu, Alora tidak terlalu menarik perhatian, tapi entah kenapa tiba-tiba saja Ryan jadi sangat sering menggoda Alora.

"Sekarang serius, Al. Aku mau tanya, kenapa sih stoknya lama banget kosong? Coba kamu ke farmasi. Stok kita kayaknya udah mau habis, deh."

Alora bisa bernapas lega. Ternyata Ryan benar-benar membahas soal kerja. Karena Alora sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, kalau Ryan terus-terusan menggodanya. Mau risih, tapi klien. Mau protes, tapi bisa fatal akibatnya kalau Ryan tersinggung.

"Waduh, coba nanti saya cek dulu ya, dok. Kalau di gudang masih kosong, biar saya minta kirim dari pabriknya langsung." Alora berusaha terdengar profesional, dan untung saja Ryan membalasnya dengan senyuman.

"Oke deh... Tapi jangan panggil 'dok' dong. Ryan aja!" Tanpa beban, Ryan tiba-tiba merangkul Alora, sampai wanita itu bergidik terkejut. Ryan bahkan menarik Alora untuk berjalan mengikutinya.

Sementara Ryan senang-senang saja dengan aksinya, Alora sudah panik setengah mati. Tubuh seakan kehilangan roh, hanya berjalan seperti robot. Dia bingung harus bagaimana. Tangannya menggenggam erat tote bag yang diposisikan ke depan. Alora takut setengah mati. Dirangkul secara tiba-tiba saja sudah membuatnya takut, apa lagi kalau harus berpikir kemana Ryan akan membawanya.

"Alora!"

Seperti bantuan Ilahi, seorang wanita terdengar menyerukan namanya. Kesempatan ini digunakan Alora untuk lepas dari rangkulan Ryan, dan berbalik mihat sang pemilik suara. Ternyata Kala, dokter paling baik yang Alora kenal. Dalam hati Alora mengucapkan beribu-ribu terima kasih, akhirnya kini dia bisa bernapas lega.

"Siang kakak..." Sapa Ryan pada Kala, masih dengan senyum, dan tidak terlihat merasa bersalah sama sekali.

Kala hanya tersenyum miring pada Ryan, kemudian beralih menatap Alora. "Alora, saya ada perlu, kita ke ruangan saya, ya."

Alora mengangguk mantap, kemudian mengekori Kala menuju ruang kerja bertuliskan 'dr. Kala Senja Adhigana, Sp. B'. Di sana, Alora dipersilahkan duduk disofa, dan tidak lupa Kala menyuguhkan segelas air mineral. Kala duduk di sebelah Alora, kemudian menggenggam tangan wanita itu yang masih mengepal di atas pangkuannya. Dingin. Alora pasti sangat ketakutan.

Menyadari hal itu, Alora buru-buru menarik tangannya, sembari mengambil gelas dan meminum isinya setengah. Alora berterimakasih setelahnya. Dia masih diam, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Tapi terlambat, Kala sudah menyadari segala setuasinya.

Setelah menghela napas, Kala kemudian berkata, "Permintaan saya tadi gak usah dipikirkan ya, Al. Gak apa-apa kok." Kala membuat suaranya selembut mungkin, berharap bisa membuat Alora tenang.

Tapi wanita itu sangat ahli menyembunyikan perasaanya. Alora bahkan sudah tersenyum, walau pun Kala masih bisa merasakan kalau Alora belum tenang sepenuhnya.

"Maaf ya, dok."

"Loh gak usah minta maaf, Al... Saya yang minta maaf, udah minta yang aneh-aneh."

Alora tertawa. Kini dirinya sudah merasa lebih rileks berkat Kala. Mungkin seharusnya Alora lebih berterimakasih.

"Papa saya memang gitu, kalau udah suka sama sesuatu, pokoknya kudu dapet."

Keduanya tertawa. Kini, Kala merasa Alora sudah benar-benar tenang.

"Anak saya itu sebaya sama kamu. Akhir dua puluhan lah. Kamu 29, kan?"

"Saya 28, dok."

"Oh, beda satu tahun berarti. Yah pokoknya gitu lah. Kata papa, udah mau kepala tiga, gak nikah-nikah. Yah, pemikiran orang jaman dulu lah. Nah, cucunya ini punya pacar, tapi gak mau nikah. Singkat cerita ketemu lah papa sama pacarnya anak saya. Dia gak suka, malah sukanya sama kamu. Aduh... Jadi minta yang aneh-aneh. Saya yang gak enak sama kamu."

Padahal Kala dan Alora tidak pernah sedekat ini, tapi keduanya saling mengobrol tanpa canggung sedikit pun.

"Katanya kamu baik, cocok sama anak saya."

Alora tertawa, kemudian menyilangkan tangannya, "Waduh saya gak sebaik itu, dok. Jangan deh, saya gak pantas sama anaknya dokter Kala."

Kala ikut tertawa kemudian kembali bebicara dengan suara yang terdengar serius. "Kenapa gak pantas? Kamu gak percaya kamu itu baik?"

Alora diam.

"Kamu jangan mikir kayak gitu... Kamu pantas kok buat pria baik-baik. Saya gak bisa bilang anak saya baik seratus persen. Dia punya kekurangan, dan saya rasa kamu pantas dapat yang lebih baik dari dia."

Alora masih terdiam. Dia tidak menyangka Kala akan mengatakan hal itu. Tidak salah Alora menilai Kala sebagai dokter paling baik di antara para dokter yang dia kenal. Kali ini, Alora merasa sangat berhutang pada Kala. Alora harus membalas kebaikan Kala, tidak peduli dengan target penjualan, Alora hanya ingin berterimakasih pada Kala.

"Restoran di hotel Adhigana ya, dok? Saya usakan tepat waktu."

Kala tertawa, begitu juga dengan Alora.

❖❖❖

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!