⁴ Glamor

Giri sekarang sedang bersantai di sofa ruang tengah, sembari menggonta-ganti kanal televisi. Hatinya merasa tenang, setelah Alden berangkat untuk bertemu dengan Alora. Setelah perdebatan panjang, Alden akhirnya mengiyakan permintaan Giri. Walaupun Giri tahu, Alden menerimanya dengan terpaksa, tapi Giri tetap percaya diri. Alden akan tahu alasan Giri setelah bertemu dengan Alora. Begitu kira-kira pikirnya.

Tapi Giri, ternyata dirimu salah besar. Alden, cucu kesayanganmu malah bertengkar dengan Alora, dan sekarang pergi menemui kekasihnya, Shellandine.

"Cih! Apa coba yang disukai Alden dari orang ini?" Giri ketus, begitu melihat iklan televisi yang dibintangi oleh Shella, kekasih kesayangan Alden.

Sedangkan Opanya mencibir Shella, Alden malah menerjang jalanan macet demi bertemu wanita itu. Setelah sampai di tempat yang dikabaeu Shella sejak tadi, Alden memarkir mobilnya, dan bergegas masuk. Jalannya sudah seperti dikejar hutang dari teman lama, mirip orang yang kabur. Semuanya demi wanita cantik bernama Shellandine.

Alden masuk ke dalam sebuah gedung mewah yang tidak ramai. Dengan desain interior minimalia bernuansa emas. Tempat ini adalah salon kecantikan yang sering Shella kunjungi. Jangan tanya harga sekali perawatan di sini, yang pasti sangat mahal. Tidak apa-apa, karena Alden sangat mampu untuk membiayai semua gaya hidup Shella.

Alden bernapas lega setelah menemukan Shella yang masih ada di sana. Tanpa bicara sedikit pun, Alden duduk di sofa tunggu, sembari memandangi Shella yang sedang dirias sedemikian rupa. Bibirnya melengkung, selalu terpesona dengan kecantikan Shella. Untuk beberapa saat, Alden berpikir kalau dia beruntung bisa menjadi kekasih Shella.

Setelah selesai dengan rutinitas selebriti, Shella yang sudah menyadari kehadiran Alden, sengaja melewati pria itu tanpa menyapa.

"Shel..." Panggil Alden, lembut sekali.

"Ngapain ke sini?" Berbeda dengan Shella, ketus sekali.

"Ngapain lagi sih, Shel? Ketemu kamu lah!"

Shella berdecih, lalu melipat tangan ke depan, tanpa melirik Alden sedikit pun.

"Aku udah ke sini loh. Masih marah?"

"Menurut kamu?"

Alden menghela napas pelan, berusaha sabar. Ingat, dia kemari karena merasa bersalah, bukan mau cari perkara lain.

"Aku minta maaf ya..."

Shella diam.

"Shel? Maaf ya?"

Masih diam.

"Kamu mau apa, aku turutin deh. Tapi, maafin aku ya?"

Shella akhirnya melirik Alden yang berdiri di sampingnya. Bibirnya sengaja dimajukan sedikit, berlagak merajuk ala-ala anak remaja baru gede.

"Apa aja deh, Shel. Janji!"

Kali ini barulah Shella menghadap Alden sepenuhnya. "Janji?"

"Janji, sayang."

Shella lantar tersenyum, kemudian permisi sebentar untuk berbicara dengan managernya. Alden melihat dari kejauhan. Shella memang berbicara dengan managernya. Kedua wanita itu saling melempar tawa, sambil sedikit melirik ke arah Alden. Managernya menunjuk Shella sekali, seperti memberi peringatan. Shella memberi gestur 'OK', lalu kembali menghampiri Alden.

"Aku mau banyak loh!"

"Apa aja, sayang! Apa yang enggak buat kamu?"

Dua sejoli itu saling melempar senyum, menuju mobil, kemudian melesat dengan range rover putih itu. Sebenarnya cukup mudah untuk menyenangkan hati Shella. Cukup membawanya ke butik mewah, toko perhiasan, makan di restoran bintang lima, dan hal-hal glamor lainnya. Alden yang begitu buta akan cinta, rela menggunakan kartu hitamnya demi Shella seorang.

Cukup mudah, tapi Alden masih saja sering terbawa emosi kalau Shella merajuk. Jujur saja, Alden terkadang merasa energinya terkuras habis saat harus mengikuti gaya hidup Shella. Jangan salah, Alden memang mencintai Shella, tapi terkadang dia hanya perlu istirahat. Seperti sekarang ini.

Mereka sudah mampir ke beberapa toko, mulai dari baju, tas, sepatu, sudah didapatkan Shella. Tapi, wanita itu masih semangat memilih perhiasan dengan mata yang berbinar. Sedangkan Alden yang duduk di sofa tunggu mulai merasa pegal-pegal. Tak jarang dia menghela napas, ingin aktivitas ini segera berakhir.

"Al, ini bagus gak?"

Selelah apa pun Alden, saat Shella memanggil, dia tetap menoleh dengan senyuman, tak lupa dengan pujian juga, "Bagus, Shel. Cantik."

"Tapi aku lebih suka yang pertama, deh." Ujar Shella, sembari melihat penampilannya dicermin dengan kalung berlian yang berkilau. Sedangkan Alden memijat kepalanya, merasa agak kesal.

"Menurut kamu gimana, Al?"

Alden kembali tersenyum, "Keduanya bagus. Cocok. Kamu cocok pakai yang mana aja."

"Hmm... Aku bingung..."

Alden menatap langit-langit, sedikit merasa prustasi. Sudahlah, Alden ingin mengakhiri aktivitas ini sekarang juga. Sepertinya, ini waktunya Alden untuk angkat bicara. Keputusan Alden sendiri sudah bulat.

"Ambil kedua aja gimana, Shel?"

Itulah keputusan final Alden.

"Boleh?"

"Boleh dong!" Alden berseru, merasa keputusannya benar-benar tepat.

"Iya deh, aku ambil keduanya." Ujar Shella sumringah.

Alden bernapas lega, lalu bergegas menyelesaikan pembayaran. Akhirnya setelah ini, Alden bisa menghabiskan waktu berdua saja dengan Shella. Waktu bersama yang sejak lama Alden dambakan.

💸💸 kaching 💸💸

Di dalam mobil, Shella sibuk dengan ponselnya, Alden menyetir dengan gelisah. Sesekali Alden melirik Shella, mencari tahu soal apa yang wanita itu lakukan dengan ponselnya. Tapi Alden tidak menemukan jawaban apa pun. Bukannya Alden ingin melihat semua privasi Shella, dia hanya ingin wanita itu meletakkan ponselnya dan fokus pada Alden.

"Kamu ada proyek film lagi setelah ini?" Tanya Alden, membuka pembicaraan antara mereka.

"Ada. Aku harus casting buat second lead, nyebelin gak sih?" Keluh Shella.

"Memang gak ada tawaran lain?"

"Ada sih... Tapi film ini pasti bakal booming banget. Hani juga saranin aku fokus casting film ini."

Alden mengangguk paham, setelah Shella menyebut nama Hani, yaitu manager Shella. Hani memang pintar memilih naskah. Beberapa naskah yang dia pilih, seringnya memang bernilai tinggi.

"Shella pasti bisa! Mau aku temenin castingnya?"

"Gak usah. Aku sama Hani. Lagian Alden, kalau kamu ikut bisa kebongkar dong hubungan kita?"

Alden terdiam. Alden lupa kalau dia sedang berpacaran dengan seorang selebriti. Seorang bintang yang perlahan mulai naik daun. Sehingga dia harus berpura-pura menjadi sahabat bagi Shella. Ya, sahabat, Shella selalu menyebutnya sahabat. Sahabat yang menemaninya meniti karir dari nol hingga sekarang.

Memang betul sih, Alden menemaninya mulai dari Shella yang hanya bermain sesebaga figuran hingga kini. Tapi Alden menemaninya bukan sebagai sahabat, melainkan seorang kekasih. Bayangkan sudah berapa lama hubungan mereka terjalin dengan yah, begitulah. Terkadang Alden merasa seperti kekasih yang tidak dianggap, dan hanya bisa mengalah menahan setiap amarah.

"By the way... Gimana tadi kencannya?" Tanya Shella tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka.

"Bukan kencan, sayang... Makan siang."

"Iya, gimana?"

"Gimana apanya?"

"Gimana orangnya? Cantik?"

"Hmm... Cantikan kamu."

"Enak?"

"Hmm... Makanannya enak."

Shella diam, kembali sibuk dengan ponselnya. Alden memilih untuk tidak mengusiknya, berjaga-jaga kalau saja Shella kembali merajuk. Tapi tak disangka-sangka, wanita itu malah tertawa kecil sembari fokus mengetik dilayar ponselnya.

Suasana kembali hening, lagi-lagi Alden menjauh dari waktu bersama yang sudah lama dia dambakan. Sekarang dia hanya menyetir, mengantar wanita itu menuju gedung apartemennya. Sungguh Alden merindukan Shella. Wanita itu ada di sampingnya, tapi terasa sangat jauh. Wanita itu ada di dekatnya, tapi terasa sangat sulit diraih. Alden menerima segala kenyataan pahit itu, memilih diam dalam mencintai.

Setelah perjalanan yang terasa panjang, akhirnya mereka sampai di parkiran basement gedung apartemen Shella. Sabuk pengaman sudah lepas, mesin sudah mati, tapi Shella masih terpaku dengan ponselnya.

"Shel..." Panggil Alden dengan sangat lembut.

"Sebentar, Al. Sebentar lagi Hana turun." Shella masih tidak menoleh padanya.

Alden hanya menatap Shella, sampai dia merasa jengah, lalu menarik pipi Shella sampai wanita itu menatapnya. Dalam sepersekian detik, Alden mendekat, lalu mempertemukan kedua bibir mereka, mencium Shella dengan rasa rindu yang mendalam.

Tapi semuanya tidak berarti lagi, saat Shella mendorong Alden dengan kasar. Wajah terlihat sangat kesal, sedangkan Alden hanya menatap wanita itu sendu. Shella mengernyit, menatap Alden tajam.

"Kamu apa-apaan sih, Al?"

"Shel, i miss you." Alden berusaha menggenggam tangan Shella, tapi wanita itu buru-buru menepisnya.

"Kamu sadar kita di mana? Kalau ada yang lihat gimana? Kamu mau karirku hancur? Iya? Itu maumu?!"

Alden menghela napas kasar, lalu bersandar pada jok mobil, sembari menghadap lurus ke depan. Sedikit pun dia enggan melihat raut wajah Shella yang sedang marah. Alden tidak marah atau apa pun. Dia hanya kecewa, perasaan rindunya dibalas dengan tidak baik.

Tak lama setelah itu, sosok Hana akhirnya datang menghampiri mereka. Tak mau berlama-lama di mobil, Shella keluar dan membanting pintu dengan kasar. Dia berjalan cepat meninggalkan Hana yang tampak kebingungan. Hana mengambil barang belanjaan Shella dari mobil Alden, lalu bergegas menyusul Shella yang sudah hilang bayangannya.

Alden tidak mengerti apa yang harus dia lakukan tentang kegelisahan ini. Dia jenuh, lelah, tapi hatinya masih terikat padanya. Terkadang dia sangat senang, lalu kembali gundah. Dia hampir tidak bisa berpikir jernih. Hasilnya, dia harus melukai batinnya sendiri.

❖❖❖

...Shellandine...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!