Alora sudah berusaha tepat waktu. Diperjalanan saja, dia sudah mempercepat laju motornya. Semua usahanya membuahkan hasil. Alora datang tepat waktu. Jam 1 siang, di restoran hotel Adhigana. Begitu sampai, Alora langsung diantar oleh waitress, bahkan tanpa Alora mengenalkan diri.
Alora mengikuti waitress menuju sebuah meja yang sudah disiapkan. Di sana ada seorang pria dengan blazer kotak-kotak sedang duduk menunggu. Tiba-tiba saja Alora merasa tidak tenang, atau gugup, atau deg-degan, yah intinya begitu. Pasalnya, Alora tidak pernah sama sekali kencan dengan seorang pria. Lebih tepatnya dia menghindar. Tapi mengingat rasa terimakasih nya pada Kala, kali ini Alora tidak menghindar lagi.
Waitress menyilahkan Alora duduk di hadapan pria yang sedang sibuk dengan ponselnya. Karena mengira ada hal penting, Alora jadi enggan mengganggu aktivitas pria itu. Sampai beberapa saat, barulah pria itu menyimpan ponselnya dan menatap Alora.
Merasa sudah mendapat perhatian, Alora melebarkan senyumnya, hendak mengenalkan diri. Tapi belum sempat Alora buka suara, pria itu sudah lebih dulu memotong.
"Saya Alden, kamu pasti Alora."
Kenapa Alora merasa pria itu sok tahu, padahal dia memang benar, dan Alora juga memang berniat untuk mengenalkan diri. Tapi... Entahlah, Alora hanya tidak nyaman dengan nada bicara Alden. Seperti orang sombong yang merasa tahu segalanya, dan orang sok sibuk yang tidak mau diganggu. Kesan pertama yang buruk, bagi Alora.
Dari banyaknya kalimat di kepala Alora, dia hanya mengangguk mengiyakan kalimat Alden, membuat pria itu mengangguk juga. Alden biasanya mudah penasaran dengan hal baru, tapi melihat orang baru di hadapannya, tidak juga membuat rasa penasarannya muncul. Dia malah meneliti setiap penampilan Alora dengan raut wajah sedatar mungkin.
Alora mengenakan kemeja biru polos, celana jeans panjang dengan sneakers. Itu saja. Sekali lagi, hanya itu. Alden yang masih tergila-gila dengan kekasihnya, lantas membandingkan penampilan polos Alora dengan penampilan glamor kekasihnya. Sangat berbeda, dan Alden tidak tertarik dengan kepolosan Alora. Tidak untuk saat ini, tapi cukup memberi kesan pertama yang tidak baik.
Sepertinya kencan yang diatur secara tiba-tiba memang tidak bisa seindah drama korea, atau film romansa pada umumnya. Bisa saja kedua belah pihak malah tidak memiliki ketertarikan satu sama lain. Seperti Alden dan Alora.
Setelah memesan, satu persatu makan dan minuman yang mereka pesan datang. Alden, yang sudah bertekad membuat kesan buruk, memilih bir sebagai minumannya. Sedangkan Alora, yang memang sudah memiliki kesan buruk pada Alden, yah, biasa saja. Dia hanya pesan soda, dan pasta.
Keduanya tidak banyak bicara, hanya berbincang soal data diri masing-masing. Seperti usia, pekerjaan, Alden juga bertanya bagaimana Alora bisa mengenal Giri, kemudian tertawa setelah mendengar jawaban wanita itu. Agaknya, rasa emosi Alden terhadap Giri kembali muncul ke permukaan.
"Aneh. Gak habis pikir aku sama Opa."
Alora tertawa kecil, mengetahui Alden mengubah kata ganti orang pertama dari Saya menjadi Aku.
"Ya kan? Aneh, kan?"
Alora lebih terkejut dengan kalimat Alden selanjutnya. Atau lebih tepatnya, pertanyaan. Tadi, Alden masih menggunakan bahasa baku dan nada yang tidak bersahabat, tapi kini dia malah bicara seolah-olah mereka sudah kenal dekat.
"Yah, aku pikir juga aneh, sih."
"Terus kenapa kamu ke sini?"
Alora baru saja membalas sikap santai Alden, tapi pria itu kembali berubah ke mode serius. Benar-benar orang yang tidak bisa ditebak, atau mungkin lebih tepat disebut spontan, atau frontal. Apa pun itu, intinya Alora merasa tidak nyaman dengan prilaku Alden.
"Sudah kubilang, karena dokter Kala-"
Kalimat Alora terputus karena Alden mengangkat jemarinya meminta wanita itu untuk berhenti. Kemudian Alden menatap ponselnya yang bergetar beberapa kali tanpa jeda. Seperti ada yang mengirim banyak pesan dalam satu waktu. Belum lama Alden menatap ponselnya, sebuah telepon masuk sudah membuat pria itu bangkit dan memberi isyarat permisi pada Alora.
Di potong seperti itu saja sudah membuat Alora kesal, apa lagi ditinggal begitu. Kalau dilihat-lihat, Alden ini seperti pria yang tidak punya sopan santun. Setidaknya itu opini Alora setelah bertemu Alden kurang lebih satu jam. Manusia memang unik, hanya dalam satu jam saja mereka bisa mencintau, atau membenci. Dan Alora memilih membenci, walaupun dia sembunyikan di balik senyuman.
Daripada pusing memikirkan pria yang baru dia kenal, Alora memilih untuk melanjutkan aktivitas makannya. Sesekali dia melirik ke arah Alden yang berdiri dekat dinding kaca, tak jauh dari mejanya. Disatu waktu, Alora melihat Alden menjauhkan ponselnya dari telinga sembari mengernyit, kemudian menghela napas dan kembali menelepon. Dalam sekali lihat, Alora bisa menebak yang ada di seberang telepon itu pasti kekasihnya.
Beberapa saat setelah itu, Alden kembali ke bangkunya kemudian memotong steak yang sudah dimakan setengah. Tapi berhubung sudah terlanjur emosi, Alden menjatuhkan pisau dan garpu ke piring, membuat suara dentingan yang keras. Alden membuang napas dengan kasar, lalu menegak birnya setengah gelas. Memang seharusnya dia tidak datang ke acara kencan ini, sampai membuat sang kekasih merajuk.
"Kamu tadi bilang apa? Kenapa kamu ke sini?" Tiba-tiba Alden mengulang pertanyaannya, membuat Alora menghentikan suapannya.
"Kubilang karena dokter Kala pernah bantu aku."
"Cuma itu?"
"Kamu sendiri? Bukannya kamu punya pacar?"
Alden mengernyitkan dahi, terheran kenapa Alora bisa tahu. Alden diam. Dia sendiri juga menyesal sudah menuruti Giri, karena malas diomeli terus menerus. Alden kembali memotong daging steaknya kemudan menjatuhkan pisau garpunya, untuk kedua kali. Selera makannya benar-benar hilang.
"****! Kenapa dagingnya alot gini sih?" Gerutu Alden, lalu menegak birnya.
Mendengar Alden mengumpat, benar-benar membuat Alora muak. Dia sudah kesal sampai ke ubun-ubun. Tapi yang namanya Alora, bibirnya masih saja tersenyum. Ditambah dengan sedikit tawa mengejek, saking herannya bagaimana Kala bisa melahirkan anak seperti ini. Alora berhenti makan dengan sedikit sisa makanan, kemudian meminum sodanya. Alden benar-benar membutnya tidak napsu makan.
"Kenapa baru alot sekarang? Padahal tadi fine-fine aja." Ujar Alora dengan senyuman, sengaja menggunakan nada menyindir sampai yang mendengar tersinggung. Biar saja dia emosi setengah mati.
"Apa maksudmu?"
Benar, kan?
"Kamu sudah habis setengah, tapi baru marah-marah. Harusnya kamu gak lampiasin emosi ke makanan."
Alden tertawa renyah, kemudian berkata, "Gak usah sok tahu!"
"Kenapa? Pacarnya marah ya?" Alora tersenyum, sengaja menggoda Alden dengan tenang.
Sedangkan yang digoda, terlihat semakin emosi. Alden menyandarkan bahunya, lalu menatap Alora dengan tajam. Sudah cukup Alden merasa kesal karena situasi ini, Alora malah menumpahkan minyak di atas api.
"Aku bilang, gak usah sok tahu."
"Yah, mana ada sih, yang mau pacarnya ken-"
"Stop, Alora!"
Alden memotong kalimat Alora untuk kedua kalinya. Kali ini dengan nada yang agak ditinggikan. Tidak perlu menggebrak meja atau melempar air, suara Alden sudah cukup membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Beberapa waitress bahkan mulai berbisik, antara bergosip atau terheran-heran. Jujur saja, kondisi ini sangat cocok untuk digosipkan. Bagaimana bisa sebuah kencan berubah menjadi pertengkaran?
Kali ini, Alora tidak merasa kesal setelah kalimatnya diputus oleh Alden. Dia malah tersenyum, merasa puas karena sudah membakar emosi Alden yang sudah tersulut. Alora menegak sisa minuman sodanya sampai habis. Kemudian kembali menatap Alden sembari tersenyum.
"Aku heran. Wajar kalau pacarmu marah. Tapi, kenapa kamu ikut marah?"
Alden berdecih, kemudian meremehkan Alora, "Kamu tahu apa sih?"
"Oh, gak... Aku gak tahu apa-apa... Yang aku tahu, sikapmu gak wajar." Alora mengangkat bahunya, lalu melanjutkan kalimatnya, "Kelihatannya sih gitu..."
Tak disangka-sangka, kalimat Alora mampu menekan emosi Alden. Alora benar, Alden yang salah karena sudah bertemu dengan wanita lain. Seharusnya dia tidak emosi seperti itu. Mungkin karena hari ini Alden terlalu sensitif. Tapi itu pun tidak bisa dijadikan alasan. Setelah mendengar Alora, lantas Alden bisa berpikir jernih.
"Iya sih..." Ujar Alden, akhirnya melunak. "Aku kesal karena harus ke sini. Kena omelan sana sini." Lanjutnya, lalu menghela napas panjang.
Oke, walaupun Alden terlalu banyak bercerita, padahal Alora tidak penasaran juga, tapi wanita itu tersenyum pada pria di hadapannya.
"Sorry, jadi merusak suasana."
Alora cepat-cepat menggeleng untuk menanggapi Alden. Suasana di antara mereka memang tidak pernah baik, jadi tidak ada yang bisa dirusak.
"Nah, it's okay."
Alora dan Alden saling bertukar pandang, cukup lama. Kemudian Alden mengangkat sedikit ujung bibirnya, membalas senyuman Alora yang selalu mekar sejak tadi. Ini adalah pertama kalinya mereka saling menatap cukup lama. Ini juga pertama kalinya Alora melihat Alden tersenyum, walaupun sedikit.
"You can go. Go and tell her you're sorry."
Alden mengangguk, lalu bergegas bagun dan pergi. Dia sempat berbicara sebentar dengan waitress, kemudian menoleh pada Alora dan mengangkat tangannya memberi isyarat pamit. Alora tersenyum, sembari ikut mengangkat sebelah tangannya.
Akhirnya, suatu hari yang terasa sangat campur aduk, dapat diselesaikan dengan baik.
❖❖❖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments