Adeeva tidak mengeluh karena tak mau cari perhatian. Makin diabaikan semakin bagus. Hakim pasti akan berpikir ulang punya isteri tidak licin macam bini lain. Adeeva tidak peduli bagaimana reaksi keluarga Dilangit padanya. Tujuan Adeeva hanya satu yakni akhiri semua kekonyolan ini.
"Ssssttt...sudah tak ada orang! Buka kacamatamu! Mual aku lihat kamu pakai kacamata Oma Uyut!" bisik Deswita lirik kiri kanan tak melihat orang lain ikuti mereka selain pembantu muda yang jalan di depan.
Adeeva mencopot benda warna hitam itu lalu serahkan pada Deswita. Kini Adeeva dapat melihat lebih jelas tempat yang bakal jadi tempat dia mondok selama menjabat sebagai selir keenam.
Rumahnya terletak paling ujung dari semua rumah yang ada. Model klasik ala-ala istana raja jaman dulu dengan ornamen patung-patung binatang purba. Kurang jelas singa atau harimau karena bentuknya kurang mirip kedua binatang itu. Cuma lucunya patung itu dicat warna maron campur pink. Emang ada binatang buas warna pink?
Adeeva mau ngakak sepuasnya tapi ditahan mengingat dia bukan di kandang sendiri. Ini rumah keluarga besar Dilangit yang kayanya selangit.
Akhirnya mereka tiba di depan pintu warna pink berkusen maron. Pembantu muda itu membuka pintu mempersilahkan Adeeva dan kedua wanita lainnya masuk ke dalam.
Begitu masuk Adeeva ingin sekali berteriak menolak funiture yang ke semuanya warna pink. Seisi rumah seakan kena bedak tabur warna pink tua muda. Sungguh gila orang yang menata rumah ini. Selera bertolak belakang dengan Adeeva.
Deswita dan Umi tak kalah bengong lihat isi rumah yang rasanya mirip anak gadis sedang jatuh cinta malu-malu kucing. Pink mbok!
"Maaf neng! Apa tak ada rumah lain selain pinky ini?" tanya Adeeva pada pembantu yang kawani mereka dari tadi.
"Ini rumah terakhir nyonya muda! Di belakang kebun ada satu rumah tapi kecil terbuat dari papan. Rumah pertama yang dibangun di lahan ini. Rumah itu sudah lama tidak dihuni tapi bersih kok! Tiap hari dibersihkan atas perintah nyonya besar. Emang nyonya muda mau tinggal situ? Sepi tak ada fasilitas bagus!"
Adeeva tertarik pada rumah yang dimaksud. Tidak masalah kecil asal layak dihuni. Adeeva betul-betul risih tinggal di rumah serba pink.
"Aku pilih rumah itu! Ada kasur dan kamar mandi kan?"
"Ya ada nyonya muda...semua lengkap cuma perabotan agak kusam karena memang peninggalan kakek majikan kami!"
"Ok...kita ke sana! Kak Des dan Umi balik ke rumah besar saja. Eva lacak dulu rumah di kebun belakang. Cocok selera Eva!" ujar Adeeva sambil bergelayut manja pada Uminya.
"Eva...jangan aneh deh! Dikasih tempat bagus malah ingin pindah ke gubuk! Apa di sana terjamin keselamatanmu?"
"Di sini aman Bu! Ada puluhan satpam di sini. Setiap jam mereka patroli apalagi kalau malam hari." pembantu itu mulai menemukan sesuatu yang segar dari Adeeva. Baru kali ini ada selir majikan mereka menolak kemewahan. Yang lain berlomba rebut perhatian majikan agar dapat keuntungan. Makin disayang tentu makin lancar aliran dana.
"Umi dengar itu? Eva akan baik-baik saja! Dan Umi tahu Eva orangnya malas tak suka bersih-bersih. Rumah segede gini berapa tahun baru bisa Eva bersihkan? Come on nona manis! Kita jelajahi dunia Dilangit!" Adeeva menggamit lengan pembantu muda itu tanpa peduli status mereka beda langit dan bumi. Adeeva statusnya nyonya muda sedang dia hanya pembantu kecil.
"Tapi nyonya muda..."
"Haiya...nyonya muda apaan! Panggil saja Adeeva! Umur kita toh jauh beda! Namamu siapa?"
"Tuti nyonya muda.."
"Nah Tuti...aku belum mau ubanan. Lebih baik kamu panggil aku Eva...Rugi kan muda sudah ubanan! Mari kita ke rumah antik yang dimaksud!"
"Tapi harus ijin nyonya besar dulu. Soalnya rumah itu jarang dihuni orang. Udaranya lembab dingin!" Tuti takut ambil keputusan karena resikonya bisa kena pecat.
Adeeva memaklumi posisi Tuti sebagai orang bawahan. Mereka tak bisa berbuat banyak di bawah tekanan majikan.
"Baiklah! Kamu pergi ijin sama nyonya besar dulu. Katakan aku kurang suka warna terang. Tolong ya! Oya sekalian antar Umi dan kakak aku balik ke rumah nyonya besar kalian!"
"Iya nyonya muda..."
"Tuti..kau ini jahat ya! Pingin lihat aku lebih cepat keriput? Namaku Adeeva..." suara Adeeva mulai menanjak satu oktaf. Adeeva sungguh tidak nyaman dipanggil nyonya. Seluruh bulu merinding mirip jutaan ulat bulu merayap di kulit.
"Maaf nona Adeeva..."
"Mendekati tapi usahakan hilangkan nonanya! Ok?"
Deswita dan Umi gelengkan kepala melihat tingkah Adeeva tak suka banyak adat. Adeeva ingin perkecil jarak antara sesama manusia. Tuti juga manusia walau pangkatnya cuma pembantu.
"Baik Adeeva...saya permisi dulu!" Tuti pamitan untuk minta ijin atas keinginan Adeeva.
Nyonya muda yang satu ini lain dari yang lain. Orangnya periang dan cuek bebek. Penampilan memang tidak menjanjikan namun gerak gerik lincah tidak seperti penampilan. Tuti suka pada majikan barunya. Cuma masih harus tergantung pada wewenang nyonya besar alias maminya Hakim.
Adeeva ditinggal sendirian di rumah lumayan besar. Warnanya cerah tapi berkesan dingin. Tak ada aroma manusiawi. Perabotan mahal tak ada guna bila tak ada kehangatan dalam rumah. Sedikitpun Adeeva tidak tertarik jadi penghuni rumah besar tak ada roh itu.
Adeeva berjalan lebih dalam lihat ruang apa di balik tembok pemisah dua ruang. Ruang keluarga yang cukup luas. Ada televisi ukuran jumbo dan home theater terletak angkuh di tengah ruang. Kursi sofa warna maron plus karpet warna pink masih jadi primadona penghias ruangan.
Di sudut ruang ada tangga putar cukup lebar untuk naik ke tingkat atas. Granit marmer warna maron bertotol hitam lapisi permukaan tangga. Adeeva tak tahu bangunan ini sudah berapa lama didirikan. Semuanya tampak masih baru belum ada pemilik aslinya.
Adeeva dapat kehormatan menjadi penghuni rumah pinky ini. Tak ubah mirip rumah boneka Barbie. Jelas bukan gaya Adeeva sok imut. Di rumah Adeeva bisa sulap diri menjadi kelinci imut manis bikin orang pikir Adeeva anak kalem.
Adeeva sengaja memilih tinggal di kota lain agar bisa ekspresi Adeeva yang sesungguhnya. Hidup merdeka tanpa perlu bersandiwara jadi kelinci imut.
Adeeva sudahi jelajah rumah pinky ntah milik siapa. Pendahulu Adeeva pasti orangnya melo jinak kayak marmut lucu. Dekorasi rumah saja terbaca bagaimana sosok pemiliknya. Yang pasti itu bukan Adeeva.
Adeeva ayunkan langkah kembali ke ruang utama di mana pertama dia injak kaki di rumah pinky. Kebisuan menjadi ratu di rumah besar itu. Seratus persen Adeeva takkan betah di situ.
"Nona Adeeva... Nona..." Tuti masuk membawa kabar untuk majikan barunya. Nafas Tuti terengah-engah seperti baru balapan dengan pocong di siang bolong.
"Up..sabar neng geulis! Tarik nafas...ok...berhembus pelan." Adeeva kasihan pada gadis muda yang perjuangkan permintaan Adeeva.
Tuti berhenti lalu menarik nafas dalam-dalam sampai pipinya kempot ke dalam. Perlahan nafas dilepas normalkan aliran nafas si Tuti.
"Ok...sekarang bikin laporan! Gimana misimu? Sukses?" Adeeva berharap Tuti bawa kabar gembira.
"Nyonya besar ijinkan asal nona Adeeva tidak keberatan. Sana semua lengkap kok cuma perabotan bukan baru! Ayok kita ke sana! Ini kunci rumahnya!" Tuti menyerahkan seikat anak kunci terdiri dari beberapa kunci. Adeeva belum tahu yang mana kunci utama serta kunci untuk pintu lain.
"Oh Tuti sayang...kau memang pahlawanku! Aku cinta padamu!" Adeeva memeluk Tuti dengan hati riang. Tuti kalah tinggi dari Adeeva hanya nyangkut di dada Adeeva.
Adeeva gadis dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter. Termasuk gadis jangkung untuk ukuran orang Asia. Abah Adeeva lumayan tinggi maka hasilkan ras tak jauh beda.
Tuti tertawa geli mendapat majikan super kocak. Tuti beruntung jadi pembantu Adeeva yang tidak sok elite. Nyonya-nyonya lain berlomba tampil glamor untuk memikat suami agar dapat jatah lebih banyak. Begitulah pertarungan sesama bini satu suami.
Adeeva tidak akan masuk dalam ring pertarungan. Makin tersisih makin baik. Lebih baik lagi Si mesum jatuhkan talak. Adeeva akan nyanyikan lagu kemerdekaan tujuh hari tujuh malam rayakan kebebasan dari penjajahan lelaki berotak mata keranjang.
"Lewat sini lebih dekat! Kita potong jalan saja! Ikuti jalan utama jauh banget!" Tuti menunjuk jalan pintas di belakang rumah.
Jalan sedikit berbatuan menyulitkan Adeeva bergerak dengan pakaian gamis yang panjang sampai ke mata kaki. Tuti malah bergerak lincah bak kelinci dilepas di alam bebas mencari makan.
Lebih kurang seratus meter berjalan mereka tiba di rumah yang dimaksud. Rumah type sederhana namun antik. Atap masih model jadul, rumah dicat warna biru keabuan. Lebar sekitar delapan meter dengan teras cukup lega.
Adeeva langsung jatuh cinta pada rumah terbuat dari papan jaman. Sepintas dilihat mirip rumah sinetron Si Doel Anak Betawi. Adeeva puas dapat rumah ini walau agak jauh dari rumah induk.
"Kita masuk nona Adeeva?"
"Oh iya .." Adeeva menyerah kembali kunci rumah pada Tuti untuk masuk ke dalam.
Tuti membuka pintu dengan senang hati. Bau harum kayu Cendana menyambut kehadiran Adeeva sebagai tuan rumah baru. Suasana mistis terasa akibat wewangian dari kayu mahal itu.
Adeeva mengitari seisi rumah pakai netra dan kontan mengangguk puas. Suasana adem beginilah impian Adeeva. Serba alami.
"Kau sering ke sini?" tanya Adeeva mengusir kebisuan.
"Pernah beberapa kali disuruh bersihkan rumah! Dia hari sekali harus disapu dan dipel. Saya akan ganti sprei biar tidak berdebu. Kamarnya cuma satu. Kamar mandi juga manual tanpa shower maupun air panas. Apa nona betah?"
"Betah...aku ini orang malas tak cocok tinggal di rumah gede. Aku nyaman di sini! Nanti antar koperku ke sini ya!"
"Baiklah! Apa nona berani tidur sendiri? Tuan Hakim tidak akan datang malam ini. Beliau berangkat ke luar negeri."
"Biarin saja! Aku berani neng Tuti! Kau tidur dimana?"
"Kami ada mes khusus untuk pembantu. Jumlah kami sekitar lima puluh orang. Yang cowok sekitar dua puluh orang. Masing-masing ada mesnya."
Kepala Adeeva pusing dengar jumlah pembantu di rumah ini. Bisa bangkrut hanya untuk bayar gaji pembantu. Betapa kayanya tuan rumah ini.
"Kok banyak amat?"
"Ya iyalah...setiap nyonya dapat jatah empat lima orang pembantu. Belum untuk urus kebun, rumah utama majikan kami. Kerja bergantian..."
"Oh gitu...aku tak perlu banyak pembantu cukup kamu saja! Kalau aku balik ke Bandung kamu yang ngawasin rumah. Kamu hanya kerja untuk aku! Kita sini santai saja. Ok?"
Tuti tentu saja setuju dapat majikan baru yang lucu. Rumahnya juga mungil jadi kerjanya lebih ringan. Ini berkah buat Tuti ditunjuk layani Adeeva. Majikan kocak tidak angkuh.
"Saya ambil seprei baru dulu ya non! Sekalian koper baju nona."
"Adeeva...panggil Adeeva..." Adeeva mengulang namanya berkali agar masuk ke otak Tuti.
"Iya Adeeva..."
Adeeva acung jempol puji Tuti tidak sebodoh bayangannya. Adeeva memeriksa ruang lain agar lebih akrab dengan kondisi rumahnya. Yang paling pertama Adeeva ceking kamar lihat apa kamarnya layak pakai.
Sama seperti pertama masuk ke rumah. Kamarnya juga berbau kayu Cendana. Adeeva menduga lemari dan tempat tidur terbuat dari kayu Cendana. Bau abadi yang takkan lekang dimakan waktu.
Tak ada yang sepesial dari kamar. Hanya ada tempat tidur, lemari dan meja rias. Semuanya terbuat dari kayu mahal. Bagi Adeeva semua ini sudah lebih dari cukup. Toh dia jarang di sini, hanya untuk persinggahan kalau pulang.
Dari kamar Adeeva memeriksa kamar mandi. Kamar mandi telah bernuansa moderen terpasang tegel keramik putih bersih. Kloset duduk warna senada serta bak penampung air juga putih. Lagi-lagi Adeeva puas.
Pemeriksaan berlanjut ke dapur. Dapur telah dirombak menjadi dapur moderen dengan kompor gas tanam. Semula Adeeva mengira akan melihat dapur pakai tungku kayu. Prediksi salah total.
Di samping dapur itulah ruang makan dari meja kayu berbahan sama. Selebihnya hanya lemari dan bufet. Hanya itu luas rumah Adeeva.
Bagi pencinta keramaian rumah ini akan membosankan. Terbalik dengan Adeeva yang sangat menyukai rumah klasik ini. Tinggal di situ serasa terlempar ke masa lampau di mana masih serba manual. Di jamannya rumah ini termasuk rumah mewah karena semua perabotan terbuat dari kayu mahal.
Adeeva melepaskan penat di kursi kayu tanpa alas busa. Begitu pantat mendarat langsung bertemu papa keras. Bagi yang pantatnya tipis pasti tidak nyaman duduk tanpa alas busa. Untunglah pantat Adeeva cukup bahenol ada isinya. Kerasnya kursi kayu tidak terasa.
Cukup lama Tuti baru balik bersama seorang pria juga muda. Pria itu membantu Tuti bawa koper baju Adeeva yang tak seberapa. Adeeva hanya beberapa helai baju muslim untuk kelabui suami dan para selirnya.
Kalau Adeeva menampilkan wajah aslinya maka dia tak bisa bergerak bebas di luar sono. Adeeva masih harus berjuang untuk kuliah S3. Adeeva ingin jadi dosen ngajar di universitas. Maka itu dia harus rajin kumpul duit untuk kejar cita-cita mulianya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
玫瑰
Wah.. pilihan yang bagus. Sejati nya, rumah kayu lebih keren bagi aku..
sejuk dan nyaman berbanding rumah simen..
2022-09-27
2
♡Ñùř♡
wow keren, aku pun mau klau kek gitu🤭🤣🤣🤣🙏
2022-07-14
2