Surat Undangan

Sepanjang perjalanan kembalinya kereta ke stasiun awal.

Dimas, tak bisa mengelak akan kelegaan yang ia dengar dari Mama Zalfa tadi,

"Rupanya sekarang ia masih sendiri." Kata Dimas dengan suara pelan lalu Dimas melihat kembali cincin yang dibilang Zalfa terdapat masa lalu yang kurang menguntungkan untuk Zalfa.

"Edo dan Zalfa ..." Lirih Dimas dengan ekspresi berfikir keras. Mencoba mencari kebenaran dari ucapan dari masa lalu yang kurang menguntungkan yang Zalfa bilang tadi.

"Apa mungkin Edo adalah tunangan Zalfa dan mereka tidak jadi menikah karena suatu alasan tertentu sehingga tadi Zalfa bilang kalau itu cuma masa lalu yang kurang menguntungkan?" Dimas berusaha untuk menebak-nebak serasional mungkin.

"Bisa jadi!" Imbuh Dimas lagi.

"Itu tak jauh beda dengan kisahmu sendiri Dimas." Dimas mulai mengingat kisah cintanya juga.

"Asal kamu tau Zalfa aku juga mengalami masa lalu yang kurang menguntungkan sama seperti kamu." Dimas berbicara di depan cincin Zalfa yang ia pegang dengan ibu jari dan jari telunjuk kanannya.

Berbulan-bulan yang lalu ...

"Kenapa kamu menerima laki-laki itu, Sintia? Kenapa?" Tanya Dimas saat menerima undangan pernikahan dari Sintia yang tak lain dan tak bukan adalah kekasih Dimas.

Dimas melihat baik-baik surat undangan ditangannya itu. Sesaat hatinya terasa begitu sakit dan terpukul, bagaimana tidak? Niat awalnya datang ke rumah Sintia adalah untuk menepati janjinya menemui kedua orang tua Sintia dan membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Tapi Dimas malah mendapat sesuatu yang tak pernah ia sangka Sintia akan tega melakukan semua ini.

"Dimas aku tidak bisa kalau harus selalu menunggu kamu. Kamu terlalu lama menyuruhku untuk menunggu dan menunggu saja." Kata Sintia yang ternyata merupakan kekasih Dimas,

"Kamu selalu lebih memilih pekerjaanmu daripada menemui kedua orang tuaku untuk melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius."

"Sintia bukankah aku sudah bilang sama kamu kalau aku akan menemui kedua orang tuamu bulan ini? Dan sekarang aku sudah di sini untuk menepati janjiku padamu, Sintia. Tapi kenapa kamu tidak percaya padaku dan lebih bersabar lagi?" Dimas menjelaskan/kembali janji yang pernah ia katakan pada Sintia.

Sintia hanya tersenyum tipis dan begitu meremehkan ucapan Dimas.

"Dimas ... Dimas, berapa lama lagi kamu akan menyuruh aku untuk menunggu dan percaya akan ucapan kamu itu?Ucapan yang belum tentu bisa kamu tepati." Ucapnya mendekat ke arah Dimas dengan tatapan begitu meremehkan.

"Maksud kamu? Kamu kira aku tidak sungguh-sungguh pada janjiku itu? Bagaimana?Bagaimana bisa kamu kamu semudah itu tidak mempercayai aku Sintia? Setelah hubungan yang kita jalani selama ini." Dimas cukup kecewa kemudian ia meneruskan kembali ucapannya,

"seharusnya aku di sini yang marah bukan kamu. Aku datang ke sini ke rumah kamu ingin menemui kedua orang tua mu, tapi apa yang aku dapat? Bukannya aku mendapatkan kamu tapi kamu malah menerima lamaran dari pria lain bahkan kalian akan menikah?"

"Sintia aku enggak nyangka kamu akan seperti ini. Harusnya kamu bisa lebih bersabar dan lebih percaya lagi padaku."Dimas yang masih terbawa rasa emosi dan kecewa terus mengeluarkan kata-kata dalam hati kecilnya,

"tapi sungguh mengecewakan pada kenyataannya kamu tidak bisa bersabar dan tidak dapat juga dipercaya."

"Dimas kenapa kamu mengatakan itu mengenai diriku?" Sintia tak suka saat Dimas mengatakan kalau dia tidak dapat dipercaya dan tidak bisa jadi orang yang sabar.

"Ia lebih dulu datang menemui kedua orang tuaku dan pria itu juga cukup mampu membahagiakanku dengan tidak akan pernah pergi jauh dari ku saat kami sudah menikah nantinya."

Sintia mengungkapkan alasan ia lebih memilih laki-laki yang namanya sudah tercantum dengannya di surat undangan yang ada di tangan Dimas.

Dimas kali ini tersenyum sinis dan berkata,

"Seperti inikah cara kamu mencintai seseorang Sintia? Hanya dengan jarak? Alangkah kecilnya cinta kamu itu, kamu cuma bisa mencintai saat orang yang kamu cinta akan berada dekat denganmu namun saat orang yang kamu cinta itu jauh dari mu, saat itu pula cintamu untuk dia juga jauh bahkan hilang dan pergi begitu saja."

"Dimas!" Sintia benar-benar tidak suka dengan sindiran dari Dimas untuk dirinya.

"Kenapa? Memang seperti itukan standar dari sebuah cinta menurut kamu?" Dimas menegaskan kembali kepada Sintia.

Sintia pun kini wajahnya memerah bak kepiting rebus karena cukup menahan emosinya.

Dimas ia masih santai dan tersenyum seraya meneruskan ucapannya, "Sudahlah Sintia! Terima kenyataannya bahwa itulah ukuran dari sebuah cinta untukmu. Sekarang rasanya ... aku sangat bersyukur ternyata kamu bukanlah takdir yang tepat untukku. Karena alangkah aku akan terlambat mengetahui dirimu yang sebenarnya (yang mempersalahkan jarak) dan alangkah tidak beruntungnya akau kalau mengetahui cintamu yang tidak setulus perkataanmu saat kita sudah menikah nantinya. Tentu saja mungkin satu minggu setelah kita menikah kamu akan pulang dan mengadu kepada kedua orang tuamu dan menuntut banyak hal padaku."

Dimas membelokkan tubuh hendak pergi dari rumah Sintia, sepersekian detik kemudian ia kembali menghadapkan tubuhnya ke depan Sintia.

"Tapi kamu tidak sepenuhnya salah juga Sintia. Kamu memang berhak mendapatkan laki-laki yang bisa menjaga dan membahagiakanmu setiap saat." Dimas tersadar tak seharusnya ia mengucapkan kata-kata di atas dan berusaha untuk menstabilkan emosinya,"semoga kamu selalu berbahagia dengan laki-laki itu."

Dimas mengatakannya sebagai laki-laki yang bijaksana (gantle man) kemudian berlalu pergi meninggalkan rumah Sintia.

Kembali ke situasi sekarang ...

"Asal kamu tau Zalfa, aku pun mengalami masa lalu yang kurang menguntungkan ternyata." Cercah Dimas pada dirinya sendiri.

"Aku berniat menepati janjiku untuk mendatangi kedua orang tuanya tapi apa yang terjadi? Dia malah menerima lamaran dari laki-laki lain tanpa sepengetahuanku dan naasnya lagi mereka akan segera melangsungkan pernikahan."

"Masa lalu yang kurang menguntungkan memang, tapi ada hikmahnya juga dari peristiwa itu. Hikmahnya adalah secara tidak langsung Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa mereka bukanlah orang yang baik dan tepat untuk kita. Karena Allah sudah menyiapkan mereka seseorang yang lebih baik dan tepat untuk kita." Dimas masih asik berbicara sendiri dengan cincin itu.

Salah seorang kru kereta yang melihat pemandangan itu seketika itu diam dan termenung kaget. Pemandangan yang cukup mencengangkan di mana Dimas berbicara sendiri dengan cincin yang dipegangnya.

"Oh Hei, jangan seperti itu!" Dimas saat mengetahui bagaimana raut wajah dari kru tersebut menatapnya.

Secepat mungkin memasukkan cincin itu ke dalam sakunya.

"I---iya Pak." Ucap kru itu dengan terbata-bata karena merasa aneh dan bingung sendiri.

"Saya masih normal dan waraslah!" Ujar Dimas mengerti apa yang sedang kru itu fikirkan tentangnya.

"Lantas, kenapa berbicara dengan sebuah cincin?"

"Oh, cincin tadi itu cuma mengingatkan saya dengan peristiwa masa lalu yang kurang menguntungkan saja."

"Ooo begitu rupanya!" Jawab kru tersebut seolah-olah mengerti.

Tanpa ingin mendebatkan permasalahan yang ujung-ujungnya ia juga yang harus mengalah secara perlahan seperti diawal, dimana waktu ia melihat Dimas tergesa-gesa. Akhirnya ia pun menganggukkan kepala dan pergi saat itu juga. Meskipun kalau boleh jujur sebenarnya dalam hati ia masih cukup penasaran atas kelakuan Dimas yang tak seperti biasanya menurutnya.

Tapi ia cukup kaget dengan seorang laki-laki yang kembali berdiri dan berjalan dengan begitu gagah dan berwibawa dengan senyum memancar pada wajahnya dan sangat profesional dalam bekerja.

Dan laki-laki itu adalah Dimas Adityama Putra Wijaya.

Kru itu hanya mampu menelan salivanya. Tak habis fikir dengan perubahan pak kondektur satu itu. Begitu pandai dalam memposisikan diri. Dan ia cukup salut karenanya.

Memposisikan diri dimana seseorang berada saat itu nyatanya cukup penting. Sebab dengan bisa memposisikan diri di mana seseorang itu berada akan mampu membuat seseorang itu tidak egois dan mengajarkan untuk bijaksana dalam bersikap. ๐Ÿ’ช๐Ÿ˜Š๐Ÿ™.

๐“๐“ผ๐“ผ๐“ช๐“ต๐“ช๐“ถ๐“พ'๐“ช๐“ต๐“ช๐“ฒ๐“ด๐“พ๐“ถ ๐“ฆ๐“ป. ๐“ฆ๐“ซ.

๐“๐“น๐“ช ๐“ด๐“ช๐“ซ๐“ช๐“ป ๐“ผ๐“ฎ๐“ถ๐“พ๐“ช๐“ท๐”‚๐“ช? ๐“ก๐“ฎ๐“ช๐“ญ๐“ฎ๐“ป๐“ผ ๐“ด๐“พ ๐“ฝ๐“ฎ๐“ป๐“ฑ๐“ธ๐“ป๐“ถ๐“ช๐“ฝ ๐“ญ๐“ช๐“ท ๐“ฝ๐“ฎ๐“ป๐“ผ๐“ช๐”‚๐“ช๐“ท๐“ฐ ๐Ÿค—.

๐“ข๐“ฎ๐“ถ๐“ธ๐“ฐ๐“ช ๐“ญ๐“ฎ๐“ท๐“ฐ๐“ช๐“ท ๐“ฒ๐“ท๐“ฒ ๐“น๐“ช๐“ญ๐“ช ๐“น๐“ฎ๐“ท๐“ช๐“ผ๐“ช๐“ป๐“ช๐“ท ๐“ท๐“ช๐“ฒ๐“ด ๐“ด๐“ฎ๐“ป๐“ฎ๐“ฝ๐“ช ๐“ซ๐“ช๐“ฐ๐“ฒ ๐”‚๐“ช๐“ท๐“ฐ ๐“ซ๐“ฎ๐“ต๐“ธ๐“ถ ๐“น๐“ฎ๐“ป๐“ท๐“ช๐“ฑ ๐“ท๐“ช๐“ฒ๐“ด ๐“ด๐“ฎ๐“ป๐“ฎ๐“ฝ๐“ช. ๐““๐“ช๐“ท ๐“พ๐“ท๐“ฝ๐“พ๐“ด ๐”‚๐“ช๐“ท๐“ฐ ๐“ผ๐“พ๐“ญ๐“ช๐“ฑ ๐“น๐“ฎ๐“ป๐“ท๐“ช๐“ฑ ๐“ผ๐“ฎ๐“ถ๐“ธ๐“ฐ๐“ช ๐“ผ๐“ฎ๐“ต๐“ช๐“ต๐“พ ๐“ถ๐“ฎ๐“ป๐“ฒ๐“ท๐“ญ๐“พ๐“ด๐“ช๐“ท ๐“น๐“ฎ๐“ป๐“ณ๐“ช๐“ต๐“ช๐“ท๐“ช๐“ท ๐“ผ๐“ช๐“ช๐“ฝ ๐“ท๐“ช๐“ฒ๐“ด ๐“ด๐“ฎ๐“ป๐“ฎ๐“ฝ๐“ช.

๐“”๐“ถ๐“ถ.. ๐“ข๐“ฎ๐“ซ๐“ฎ๐“ท๐“ช๐“ป๐“ท๐”‚๐“ช ๐“ญ๐“ฒ ๐“ผ๐“ฒ๐“ท๐“ฒ ๐“ด๐“ฎ๐“ท๐“ช๐“น๐“ช ๐“ผ๐“ช๐”‚๐“ช ๐“ซ๐“พ๐“ช๐“ฝ ๐“ท๐“ธ๐“ฟ๐“ฎ๐“ต ๐“ฒ๐“ท๐“ฒ? ๐“๐“ธ๐“ฟ๐“ฎ๐“ต "๐“’๐“ฒ๐“ท๐“ฝ๐“ช ๐“ญ๐“ฒ ๐“ข๐“ฝ๐“ช๐“ผ๐“ฒ๐“พ๐“ท ๐“š๐“ฎ๐“ป๐“ฎ๐“ฝ๐“ช" ๐“ฒ๐“ท๐“ฒ?

๐“™๐“ช๐”€๐“ช๐“ซ๐“ช๐“ท๐“ท๐”‚๐“ช ๐“ช๐“ญ๐“ช๐“ต๐“ช๐“ฑ ๐“ด๐“ช๐“ป๐“ฎ๐“ท๐“ช ๐“ผ๐“ช๐”‚๐“ช ๐“ฒ๐“ฝ๐“พ ๐“ด๐“ช๐“ฐ๐“พ๐“ถ/๐“ผ๐“ช๐“ต๐“พ๐“ฝ ๐“ผ๐“ช๐“ถ๐“ช ๐“น๐“ช๐“ป๐“ช ๐“น๐“ฎ๐“ฐ๐“ช๐”€๐“ช๐“ฒ ๐“ด๐“ป๐“พ ๐“ด๐“ฎ๐“ป๐“ฎ๐“ฝ๐“ช ๐”‚๐“ช๐“ท๐“ฐ ๐“ช๐“ญ๐“ช ๐“ญ๐“ฒ๐“ซ๐“ช๐“ต๐“ฒ๐“ด ๐“ต๐“ช๐”‚๐“ช๐“ป ๐“ช๐“ต๐“ฒ๐“ช๐“ผ ๐“ญ๐“ฒ๐“ซ๐“ช๐“ต๐“ฒ๐“ด ๐“ต๐“ช๐“ท๐“ฌ๐“ช๐“ป๐“ท๐”‚๐“ช ๐“ผ๐“ฎ๐“ฝ๐“ฒ๐“ช๐“น ๐“น๐“ฎ๐“ป๐“ณ๐“ช๐“ต๐“ช๐“ท๐“ช๐“ท ๐“ญ๐“ฒ ๐“ด๐“ฎ๐“ป๐“ฎ๐“ฝ๐“ช ๐”‚๐“ช๐“ท๐“ฐ ๐“ด๐“ฒ๐“ฝ๐“ช ๐“ฝ๐“พ๐“ถ๐“น๐“ช๐“ท๐“ฐ๐“ฒ.

๐“‘๐“ฎ๐“ฐ๐“ฒ๐“ฝ๐“พ ๐“ด๐“พ๐“ป๐“ช๐“ท๐“ฐ ๐“ต๐“ฎ๐“ซ๐“ฒ๐“ฑ๐“ท๐”‚๐“ช ๐“น๐“ช๐“ป๐“ช ๐“ป๐“ฎ๐“ช๐“ญ๐“ฎ๐“ป๐“ผ๐“ด๐“พ ๐“ฝ๐“ฎ๐“ป๐“ฑ๐“ธ๐“ป๐“ถ๐“ช๐“ฝ ๐“ญ๐“ช๐“ท ๐“ฝ๐“ฎ๐“ป๐“ผ๐“ช๐”‚๐“ช๐“ท๐“ฐ.๐Ÿค—

๐“š๐“ช๐“น๐“ช๐“ท-๐“ด๐“ช๐“น๐“ช๐“ท ๐“ญ๐“ฒ๐“ฝ๐“ฎ๐“ป๐“พ๐“ผ๐“ฒ๐“ท ๐“ต๐“ช๐“ฐ๐“ฒ ๐”‚๐“ช๐“ช....

๐“ช๐“ต๐“ช๐“ผ๐“ช๐“ท ๐“ด๐“ฎ๐“ท๐“ช๐“น๐“ช ๐“ซ๐“พ๐“ช๐“ฝ ๐“ท๐“ธ๐“ฟ๐“ฎ๐“ต ๐“ฒ๐“ท๐“ฒ. ๐Ÿ˜Š

๐“ฃ๐“ฎ๐“ฝ๐“ช๐“น ๐“ข๐“ฎ๐“ถ๐“ช๐“ท๐“ฐ๐“ช๐“ฝ !

๐““๐“ช๐“ท ๐“™๐“ช๐“ท๐“ฐ๐“ช๐“ท ๐“ต๐“พ๐“น๐“ช ๐“ซ๐“ช๐“ฑ๐“ช๐“ฐ๐“ฒ๐“ช! ๐Ÿฅฐ

๐“ฆ๐“ช๐“ผ๐“ผ๐“ช๐“ถ๐“พ'๐“ช๐“ต๐“ช๐“ฒ๐“ด๐“พ๐“ถ ๐“ฆ๐“ป. ๐“ฆ๐“ซ.

Episodes
1 Kejadian diluar Dugaan
2 Lihatlah!
3 Cuma Masa Lalu yang Kurang Menguntungkan
4 Surat Undangan
5 Ulah Ica
6 Kue Pandan Coklat
7 Mereka Mirip?
8 Hilang Konsentrasi Karena Rindu
9 Cegukan
10 Cepat Carikan Mama Menantu!
11 Pertemuan
12 Pak Dimas baik-baik saja kan?
13 Kejadian yang Mendebarkan
14 Hanya Mengungkapkan Kriteria
15 Mandiri dan Dewasa
16 Cincin Pengganti
17 Ingin Menatap Masa Depan
18 Kejutan Lain
19 Cincin dan Kebimbangan
20 Menceritakan dan Menelfon
21 Menyusun Rencana
22 Ini dari Pak Dimas?
23 Jadi, maksud kamu Zalfa?
24 Cintai, Miliki dan Sayangi Karena Allah
25 Zalfa bangun, bangun Zalfa!
26 Harus Yakin!
27 Keadaan Zalfa
28 Akan Kuat!
29 Dibalik Permintaan Maaf
30 Kbahagiaannya Dimas itu cuma kamu Zalfa!
31 Sebenarnya Merindu
32 Semakin Membaik
33 Zalfa Seorang
34 Kabar untuk Dimas
35 Sadarkan Diri
36 Dimana Pak Dimas?
37 Ini Benar-benar Kamu!
38 Permintaan
39 Penyesalan Meta
40 Dilema
41 Malam Panjang
42 Sah
43 Menceritakan
44 Keadaan Bu Ambar
45 Kejutan untuk Dimas
46 Menghabiskan Waktu Bersama
47 Moment Hujan Deras Cokelat Hangat
48 Saat Kamu Rindu, Sebut Aku dalam Do'a Kamu!
49 Berjauhan
50 Berat
51 Siapa dia?
52 Sempurna!
53 Udah Jadi Suami Orang
54 The wedding of Dimas dan Zalfa?
55 Bertemu Kembali
56 Ngunduh Mantu
57 Baiklah, Ayo Fasya!
58 Mas Adi
59 Enggak Salah Milihin Menantu
60 Cantik Luar dan Dalam
61 Satu Hati Satu Jiwa
62 Siapa Orang itu?
63 Menjaga Sebaik Mungkin
64 Cinta di Stasiun Kereta
65 Tujuh Bulanan
66 Bertaubat
67 Secarik Kertas
68 Perjuangan Dimas
69 Putri Humaira Adityama Wijaya
70 Akhir Bahagia "Keluarga Kecil Dimas"
Episodes

Updated 70 Episodes

1
Kejadian diluar Dugaan
2
Lihatlah!
3
Cuma Masa Lalu yang Kurang Menguntungkan
4
Surat Undangan
5
Ulah Ica
6
Kue Pandan Coklat
7
Mereka Mirip?
8
Hilang Konsentrasi Karena Rindu
9
Cegukan
10
Cepat Carikan Mama Menantu!
11
Pertemuan
12
Pak Dimas baik-baik saja kan?
13
Kejadian yang Mendebarkan
14
Hanya Mengungkapkan Kriteria
15
Mandiri dan Dewasa
16
Cincin Pengganti
17
Ingin Menatap Masa Depan
18
Kejutan Lain
19
Cincin dan Kebimbangan
20
Menceritakan dan Menelfon
21
Menyusun Rencana
22
Ini dari Pak Dimas?
23
Jadi, maksud kamu Zalfa?
24
Cintai, Miliki dan Sayangi Karena Allah
25
Zalfa bangun, bangun Zalfa!
26
Harus Yakin!
27
Keadaan Zalfa
28
Akan Kuat!
29
Dibalik Permintaan Maaf
30
Kbahagiaannya Dimas itu cuma kamu Zalfa!
31
Sebenarnya Merindu
32
Semakin Membaik
33
Zalfa Seorang
34
Kabar untuk Dimas
35
Sadarkan Diri
36
Dimana Pak Dimas?
37
Ini Benar-benar Kamu!
38
Permintaan
39
Penyesalan Meta
40
Dilema
41
Malam Panjang
42
Sah
43
Menceritakan
44
Keadaan Bu Ambar
45
Kejutan untuk Dimas
46
Menghabiskan Waktu Bersama
47
Moment Hujan Deras Cokelat Hangat
48
Saat Kamu Rindu, Sebut Aku dalam Do'a Kamu!
49
Berjauhan
50
Berat
51
Siapa dia?
52
Sempurna!
53
Udah Jadi Suami Orang
54
The wedding of Dimas dan Zalfa?
55
Bertemu Kembali
56
Ngunduh Mantu
57
Baiklah, Ayo Fasya!
58
Mas Adi
59
Enggak Salah Milihin Menantu
60
Cantik Luar dan Dalam
61
Satu Hati Satu Jiwa
62
Siapa Orang itu?
63
Menjaga Sebaik Mungkin
64
Cinta di Stasiun Kereta
65
Tujuh Bulanan
66
Bertaubat
67
Secarik Kertas
68
Perjuangan Dimas
69
Putri Humaira Adityama Wijaya
70
Akhir Bahagia "Keluarga Kecil Dimas"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!