Ruang Laundry

Gusti Illahi

Sang Pemilik Alam

Yang Maha membolak-balikkan hati manusia,

Pencipta hati dan akal segala perilaku manusia,

Kenapa kau harus mengujiku dengan hal sulit?

Si Dewi Rinjani harus bertanya noda apa di bantal itu?!

Harus jawab apa umatMu ini Ya Tuhaaaaan?!

Hal memalukan begitu kau timpalkan padaku,

"Hem ...," hanya itu saja yang bisa terucap di bibir ini. Sungguh tak kuasa aku berbohong, tapi jujur pun fatal akibatnya.

Tapi,

Rasanya Engkau masih sayang padaku, HambaMu yang nista ini.

"Kamu kalau makan donat jangan di mobil dong. Kan filingnya jadi tumpah-tumpah, belum semutnya nanti," ujar Nona sambil memicingkan mata.

Apa dia mengetesku?

Sudahlah aku ...

Senyum saja.

"Maaf Non," gumamku pelan. Pelaaaaan sekali.

"Hm,"

Eits!

Apa aku tak salah lihat?!

Kenapa Nona seakan mencebik?

Kenapa sudut bibirnya naik sebelah?!

"Danar," suara seraknya kini terdengar semakin rendah.

"Y-y-ya, Non?" Aku tergagap.

Duh, matanya memicing lagi. Menatapku, menelisik.

Bagaikan kucing hutan sedang mengincar burung kecil yang mengistirahatkan sayapnya di rerumputan.

Bagaikan tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu yang menjijikkan.

"Serius itu noda filling donat? Saya hanya menguji kamu, loh. Masa isi donat, baunya apek?"

Sudahlah,

Lenyap sudah kebanggaan diriku.

Harga diriku diinjak-injak juga sudah lama berlangsung.

Apa karena aku merasa bersalah terhadap makhluk jelita ini, akan penolakanku terhadap perjodohan?

Mungkin benar,

Harga Diri versus Cinta

Sanggupkah menafikan akal sehat?

Bisakah menyangkal kewarasan?

Mungkinkah menampik logika?

Karena Cinta adalah sebuah kegilaan yang manis.

Dalam arusnya semua bisa saja terjadi

“Hem, tebak saja sendiri, Non,” akhirnya aku membuang muka sambil berujar begitu.

Aku sudah siap-siap dilempar sendal, atau ditampar.

Berikutnya, hanya ada keheningan.

Semenit,

Semenit setengah,

Semenit tiga perempat,

Kenapa tak ada respon? Apa dia sudah pergi?

Aku pun menoleh ke belakang, mencari keberadaannya.

Eh dia masih ada di sana, tapi wajahnya...

Wajahnya muram.

Menatapku sambil cemberut.

Kami saling bertatapan. Aku memasang ekspresi bertanya, tapi dia tetap berwajah semendung tadi siang.

Apakah dia marah?

Terhina? Emosi? Kesal?

Aku ingin minta maaf sudah lancang membayangkannya sedemikian rupa, tapi kalau kulakukan berapa banyak maaf yang harus ia terima? Karena sudah tak terhitung aku memikirkan dirinya dalam adegan vulgar.

"Danar," gumamnya, hampir tak terdengar.

"Ya?" aku berusaha tetap tenang.

"Kamu... mimpi itu?"

Diam saja, deh.

"Sialan kamu," tapi diucapkan tanpa ekspresi.

"Siapa wanita itu? Atau pria? Orang seperti apa yang membuatmu tertarik?" pertanyaan selanjutnya yang membuatku menaikan alis.

"Heh?" Aku tidak mengerti semua kalimat yang meluncur dari mulutnya.

"Kenapa kamu tidak membayangkan saya? Apa saya kurang menarik? Kurang cantik?Kamu selalu antipati kalau terhadap saya,"

"Hah?" Aku tidak bisa berkata-kata.

Sungguh, aku tak bisa mencerna semuanya. Otakku serasa ditutupi tirai, blank dan serasa berkabut, tersesat tanpa tahu ke mana arah jalan setapak.

Buntu ....

"Rasanya saya sudah bersikap baik sama kamu, yah ada kalanya saya membentak kamu karena kamu menyebalkan, tapi kalau dalam keadaan normal saya sudah bersikap selembut yang saya bisa, kok," kedua alisnya mengernyit bagai anak kecil yang permennya direbut.

Lalu berikutnya dia diam, keadaan kembali hening.

Kami diam,

Dia diam,

Aku diam,

Kami saling mengatupkan bibir kami masing-masing,

Kami saling menunggu reaksi selanjutnya.

Entah apa arti diamnya Nona,

Tapi arti diamku adalah sangat banyak pertanyaan yang tak bisa meluncur keluar karena dianggap otakku terlalu lancang.

Heningnya malam menambah sesaknya udara di sekitarku.

Apa yang bisa kuharapkan saat orang yang kucintai mengatakan 'apakah saya kurang menarik?'

"Kamu selalu jutek kalau menanggapi saya, tapi malah membayangkan wanita lain di mimpi kamu. Malah saya yang kena getahnya. Kapan sih kamu tidak bersikap menyebalkan kalau di depan saya?!" kata Nona.

Aku hanya, lagi-lagi, diam.

Kali ini karena kakiku lemas.

Mungkinkah...

Ah, tunggu, jangan bersikap gegabah dulu.

"Tuh kan, saya jadi marah-marah lagi! Bukan masalah pipi saya ternoda ya, tapi ini masalah harga diri,"

"Kenapa?" tanyaku.

Sungguh, pertanyaan 'kenapa' yang meluncur keluar dari mulutku, dan bukan kata-kata lain, karena kuanggap paling penting.

"Kenapa apa?" Ia bertanya balik.

"Kenapa Nona tidak langsung saja menampar saya?"

Lalu...

Wajahnya berubah merah.

"Inginnya sih, tapi bukan karena kamu berbuat mesum siang bolong," bisiknya.

Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Seperti dia disadarkan kalau dia barusan keceplosan.

Lalu,

Dia memalingkan kepalanya,

Dan pergi dari sana.

Meninggalkanku yang tercenung menatap punggungnya,

Dengan berjuta pertanyaan di benakku.

Lalu,

Setitik harapan muncul di hatiku.

Apakah perasaanku berbalas?

Reaksinya barusan lumayan membuatku percaya diri.

Tapi aku tak ingin bertindak ceroboh.

Jadi,

Akan kugunakan beberapa taktik pancingan agar dia sendiri yang mengaku,

Mengenai perasaannya padaku,

apakah kami seirama, atau malah bersinggungan,

Karena,

Wanita adalah makhluk yang sulit dipahami

Mereka ingin dimengerti

Tapi enggan meninggalkan informasi

Kami,

Kaum lelaki yang katanya dari Mars ini

Kebingungan untuk menanggapi

Bagaimana caranya meraih kalian kalau kami serasa dibodohi?!

Sungguh, wanita makhluk yang menarik.

Jadi, aku tak peduli kanan-kiri,

Kukejar sosok itu

Dia masih di lorong, melangkah dengan anggun namun pelan. Kepalanya menunduk bagaikan banyak pikiran.

"Non," aku menangkap lengannya.

Kepalanya menoleh ke arahku. Mata indah kecoklatan itu menatapku sendu.

"Nona kenapa?" tanyaku. Aku benar-benar ingin tahu dia kenapa.

Dia tidak seperti biasanya.

Aku lebih baik berhadapan dengan Nona yang galak dan bawel dibanding Nona yang kalem dan pendiam seperti ini.

Dan rasa ingin tahuku lebih besar dari tata krama.

"Nggak papa," gumamnya sambil menepis tanganku pelan.

Nggak papa-nya wanita, bisakah dipercaya?!

"Coba tampar saya," desisku.

"Kamu mau ditampar?!"

"Ya saya memang pantas ditampar,"

"Ya memang Iya! Nih pipi saya harus saya cuci dua kali! Bener kan feeling saya kalau itu bukan cairan sembarangan! Dasar semprul!"

Aku menyeringai malu. Tapi entah kenapa adegan ini terlalu geli untuk kuindahkan.

"Ya kalau begitu pukul saja saya, atau tonjok, kek, atau tampar, kek. Asal jangan dipecat saja," kataku.

"Seharusnya memang kamu saya pecat karena berbuat lancang!" ia menepis tanganku. Aku tak sadar kalau sedang memegang lengan kurusnya itu.

"Tapi tidak akan saya lakukan, memecat kamu tidak akan membuat saya puas," tambahnya.

"Hem, oke..." Aku tegang. Sekaligus bersyukur karena aku masih bisa bekerja dengan Nona.

"Kamu harus dihukum," gumamnya.

Loh?

Sepertinya kata-kata itu familiar.

Terdengar akrab di telinga hinaku ini.

"Kesalahan kamu ada dua. Pertama, kamu meremehkan saya. Kamu pikir saya cewek polos yang nggak tahu mimpi basahnya laki-laki itu seperti apa? Dasar Jorok!" Ia memakiku.

Oke lah kuterima, aku pun malu dengan diriku sendiri.

"Kedua, karena telah menolak dijodohkan dengan saya! Sekali lagi, kamu pikir saya cewek bego yang nggak tahu wajah calon suami saya sendiri?!"

Rasanya udara di sekitarku hampa.

Berikutnya, tangannya yang berjemari kurus dan seharusnya lembut itu sudah ada di leherku, menancapkan kukunya yang lancip dan terawat sempurna di nadiku.

Perih rasanya.

Tapi entah kenapa, nikmat pedasnya.

Ia mendekatkan wajahnya ke arahku,

"Saya memang masih tidak mengerti motif kamu, kenapa kamu menyusup ke sini, menyamar jadi supir saya pula. Kamu beruntung orang tua dan kakak saya tidak tahu tampang brengsek kamu! Karena kamu low profile dan anak bungsu yang tertutup, sok-sok'an jadi anak senja! Media jarang memblow up kamu," ia mengangkat bahunya.

Tapi kilatan matanya mengerikan. Ia bagai bersiap melahapku dalam sekali telan.

"Kalau saya baca sih, kamu menyusup kemari karena ingin memperbaiki hubungan dua keluarga. Bapak kamu hampir bangkrut saat kami batalkan proyeknya. Kamu menyusup dengan misi menjadi karyawan teladan yang friendly dan menunggu kesempatan untuk menjadi 'teman kepercayaan' di keluarga kami dengan menjaga putri bungsu mereka yang bawel ini, Benar kan tebakan saya?!"

Hem...

Memang pintar Nona-ku ini.

Tak kusangka selama ini dia mengamati gerak-gerikku.

Aku sangat tersanjung.

Sungguh, Nona.

Aku semakin mencintaimu.

"Terserah kalau misi kamu seperti itu, tapi saya tidak akan terpancing. Saya benci kamu. Cowok brengsek! Apa saya sejelek itu sampai kamu kabur di perjodohan kita?!"

Dia salah paham.

Kubiarkan saja.

Saat seperti ini aku beralasan apa pun tetap terdengar tidak masuk akal.

"Jadi, hukuman kamu, Danar S... S nya itu kayaknya Sanjaya ya? Ck ck ck, dasar manipulatif!" Ia mendesis gemas padaku. Cengkeramannya di leherku semakin kencang.

Kuharap, leherku benar-benar tergores kukunya. Kalau perlu sampai berdarah agar lukanya tidak hilang seumur hidupku.

"Hukuman kamu adalah menjadi budak saya, terjebak dengan saya, calon istri buruk rupa yang sudah kamu tolak ini, sampai saya puas lihat kamu tersiksa. Jelas?!"

Tuhan,

AnugerahMu yang mana lagi yang kami dustakan?!

Begitu banyak nikmat yang telah Kau beri.

Terpopuler

Comments

another Aquarian

another Aquarian

danar makin gendeng 😂😂😂😂🤣🤣🤣

2025-03-28

0

another Aquarian

another Aquarian

nah loohhhhhhh....

2025-03-28

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

MAMPUS LOO DAN... IHKLAS DN NIKMATI SAJA..

2023-10-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!