Aku benci bangun pagi.
Aku benci melihat orang terburu-buru di jalanan, sarapan secepat kilat sambil menunggu angkutan umum, peluh di atas baju mereka yang rapi, tatapan kuatir dan marah jadi satu, bau keringat bersatu dengan wangi parfum.
Melihat itu semua, hatiku yang tadinya adem malah jadi panas.
Dan tertularkan sikap mereka yang grasa-grusu.
Namun pepatah mengatakan, bangunlah pagi-pagi agar rezekimu tidak dipatok ayam.
Pepatah ini juga berasal dari pepatah lain yang menyebut :
Janganlah kau kalah bijak dari ayam jantan. Ia berkokok di waktu subuh, kau jam segini malah masih tidur.
Kupikir pepatah itu hanya berlaku untuk pedagang. Semakin pagi ia buka toko, semakin banyak ia dapat pembeli.
Namun, apakah berlaku juga untuk para pekerja yang gajinya diterima perbulan?
Bukankah yang penting adalah tercapai target, bukan bangun pagi? Mungkin ini masalah penilaian disiplin.
Jaman sekarang, bahkan seringkali freelance yang tidur dini hari dan bangun siang, masih lebih kaya dari pegawai yang tak pernah telat bangun pagi.
Kesampingkan urusan agama, kalau beribadah sih waktunya sudah baku tak bisa diganggu gugat harus dilaksanakan sebelum kena azab. Walaupun setelah itu tidur lagi.
Namun,
Sejak bekerja untuk Nona, aku bangun pagi.
Karena apa?
Apa lagi alasannya kalau bukan untuk mengabdi pada pelita hatiku.
Nona Dias.
Nona biasa ke kantor jam 10 pagi. Itu terhitung 'sudah siang' untuk pekerja kantoran.
Tapi dia bekerja dari subuh, dengan media dawainya.
Nonaku terbiasa bangun pagi. Alasannya, konglomerat rata-rata bangun pagi. Dan kliennya sebagian besar konglomerat.
Jadi Direktur Marketing di perusahaan perbankan memang harus 'service excellen' setiap saat. Seringkali, subuh-subuh sudah dikirimi pesan singkat : berapa rate hari ini?
Apa jadinya kalau Nona tak bangun pagi dan langsung membalas pesan dalam hitungan detik? Si konglomerat beralih ke bankers lain untuk menginvestasikan uangnya.
Tak ambil pusing mereka sibuk menghubungi Nona lagi.
Rejeki pun kabur dipatok ayam.
Nona bekerja dengan target. Dalam sebulan ia harus mencari orang yang mau menyimpan dananya di bank, dengan target 150 miliar.
Karena itu, setiap gerakan jarum jam bagaikan uang untuknya.
Wajar kalau telat ia emosi, apalagi kalau itu gara-gara diriku. Bawahan tak berguna yang tak tahu diri.
Sore ini, sambil menunggu Nona bekerja, aku menunggu di parkiran mobil. Aku mengganti celanaku yang terkena noda biadab.
Ya ampun, bahkan sambil tidur pun aku bisa bertindak asusila.
Celana coklat itu kulipat dan kuletakkan di jok belakang, kutumpuk dengan bantal yang juga terkena tetesan 'bakal calon anak' milikku.
Nanti saja kumasukan ke mesin cuci di rumah Nona.
Lalu kutatap semburat lembayung langit Jakarta yang berawan. Mendung sudah hilang, digantikan mentari yang berwarna kemerahan.
Kuraih kantong kemejaku, kusundut sebatang rokok.
Kunikmati sore ini, kurasakan sepoi angin dengan aroma hujan yang masih tersisa.
Dinginnya membuat tubuhku nyaman.
Sekitar satu jam kemudian, Nona masuk ke dalam mobil sambil merengut.
Bibir merahnya membentuk bulan sabit terbalik.
Manisnya kamu, Sayang ...
Kapan kau akan torehkan bibir itu di leherku?
"Ini yang terakhir kamu bertingkah, saya hampir kehilangan 20 miliar gara-gara kamu ketiduran," suaranya rendah dan penuh nada penyesalan.
Aku lebih takut kalau ia berbicara dengan suara rendah seperti ini, dibanding memakiku dengan suara menggelegar.
Tapi tampaknya, bekerja adalah hidupnya. Hal ini penting baginya.
Semua orang dalam keluarganya giat bekerja untuk membuat Sang Ayah mengakui mereka.
Aku menelan ludahku dengan gugup.
Bidadariku sedang marah, dan ini serius.
Tapi aku tahu, dia tidak akan kehilangan kesempatan itu.
Karena Nona adalah wanita yang pintar.
Dan aku tak ada artinya bagi hidupnya, hanya satu butir kerikil kecil yang kalau diinjak sakit sedikit namun tidak berpengaruh bagi metabolisme tubuh.
"Kamu tahu kalau jalanan tadi sering macet, kenapa kamu malah lewat sana?" Nona masih berbicara dengan suara rendah.
"Lupa, Non," jawabku.
"Bohong," balas Nona.
Astaga, dia tahu.
"Entah apa alasan kamu, besok saya tidak akan tolerir tindakan kamu yang menghambat pekerjaan saya. Ngerti, Danar?"
Aku mengangguk sekali, namun tatapanku tetap ke depan. Tak berani aku menatap wajah Nona.
Tanganku meremas badan setir.
Aku kini kuatir.
Bukan kuatir masalah diomeli, tapi aku lebih kuatir masalah dipecat.
Itu berarti aku tidak akan bertemu lagi dengan Nona.
Sabar, Nona.
Aku tidak akan membuat ulah lagi.
Setelah ini aku janji bersikap kalem.
Tak tega aku melihatmu kelelahan.
Sebuah pesan singkat dikirim ke ponselku, dawai itu bergetar dari dalam kantong celanaku.
Aku melirik Nona, dia sibuk dengan ponselnya. Maka aku curi waktu untuk mengintip sedikit ke layar ponselku.
Tertulis di layarku,
20 miliar ya Bos, done.
Aku pun membalas.
Deposito tambahan, 50 miliar. Rate Bank, roll over. Saya ingin target bulanannya lebih cepat tercapai.
Kuketik secepat mungkin jemariku bisa bergerak.
Pasti di seberang sana lawan bicaraku sedang mengernyit. Bosnya sedang kumat.
Rate Bank bunganya rendah, rollover pula, itu berarti mengikuti ketentuan bank dan tidak di-special-kan. Kalau saham mereka lagi bagus ya tinggi, saham mereka biasa saja ya rendah. Untuk apa investasi dengan keuntungan minim seperti itu?!
Tapi siapa yang berani protes padaku?!
Lalu aku menyelipkan kembali ponselku ke kantong celana. Dan kutekan pedal gas, keluar dari area perkantoran dengan kecepatan sedang.
Nonaku masih sibuk dengan dawainya, dan bibir cemberutnya.
Biarlah, sebentar lagi dia akan tersenyum. Kabar baik segera datang.
Walaupun aku suka rautnya saat mengomel, tapi aku lebih suka senyumnya.
"Kamu gantikan Bik Isma selama seminggu, sampai saya dapat ART baru," gumamnya kemudian.
Bibirku pun menyunggingkan senyum puas.
Keberuntungan sedang berpihak padaku.
Tuhan sedang sayang padaku.
Uangku ludes pun aku tak peduli.
Penyamaran dengan target Nona jadi istriku pun, akan tetap berlanjut.
Kenapa aku susah-susah menyamar?
Ada alasan tertentu dibaliknya, kujelaskan nanti saja, aku sibuk menyetir sekarang.
Rezeki, nikmat dari Tuhan untuk penyembahNya.
Ataukah ujian dari Tuhan untuk calon penghuni surgaNya?
Rezeki membuatmu senang, sedih, kuatir, pusing, terlonjak bahagia.
Bentuknya beragam, dari mulai uang, oksigen, kesehatan, sampai rasa cinta.
Dijemput belum tentu dapat
Didiamkan belum tentu tersendat
Hak Tuhan untuk kebutuhan Umat
Wajib kita untuk jadikannya manfaat
Rezekiku adalah Nona
Kupikir tadinya tak dapat bertemu lagi
Rezekiku adalah bisa hidup lebih lama
Termasuk bertemu dengannya dipagi hari
Rezekiku kuterima dengan penuh rasa syukur
Tak peduli orang berkicau nyinyir
Walaupun aku dapat tanah berjamur
dan tetangga dapat bunga anyelir
Iri hati sikap dengki tak sudah-sudah berakhir
Rezekiku bukan rezeki orang lain
Tak tertukar tak terbeli tak bertepi
"Capek, saya ..." keluh Nonaku sambil menengadahkan kepalanya dan menghela napas.
Aku diam saja. Mau minta maaf tapi nanti dia malah semakin emosi.
Kutunggu saja sampai dia tenang sedikit.
"Bantal mana ya?" katanya, lalu dia menoleh ke belakang, "Oh di sana," dan meraih ...
Oh, Tidak!
Aku tak sempat mencegahnya. Hanya bisa menatapnya sambil tegang karena sedang mengemudi.
Kulihat dalam efek slow motion,
Si Manis meraih bantal dengan satu tangan,
membawanya ke dadanya,
kedua tangannya memeluk si dacron laknat,
kepalanya direbahkannya ke permukaannya,
si noda tepat tertekan pipinya,
lalu ia pejamkan matanya.
Dan matanya pun terbuka lagi sambil mengernyit.
"Kok apek ya baunya? Kamu sudah cuci bantalnya belum, sih?"
Maafkan aku, Nona ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
🪴🍓🌟💫sangdewi💫🌠💐🏵️
kata kata nya puitis banget
2025-03-08
1
anne_malila
aduh, kocak, 🤣🤣🤣🤣
2024-07-17
0
Naftali Hanania
wahahahahaaa....aroma sperm....😝
2024-03-11
0