“Kau menyesalinya?” tatapannya kosong.
Itu hanya sebuah kebetulan.
Benar, laki-laki itu tinggal di gedung apartemen yang sama denganku. Hanya berbeda satu lantai.
Pukul 1 pagi.
KREK!
“Aku tahu, kau akan percaya padaku,” ada sinar di matanya. Seolah bersinar terang. Orang itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tetapi tidak membuatku sepenuhnya percaya.
“Cepat, apa maumu? Sebelum aku berubah pikiran,” Sky pasang muka masam.
Menyebalkan, raut wajahnya itu…
Menjengkelkan.
Seperti muka-muka ada maunya.
Perasaanku tidak enak.
Bersama orang asing dan mengiyakan sesuatu yang tidak jelas saja sudah cukup ganjal. Tetapi hati nuraniku menuntunku untuk datang kembali.
Itu telah menjadi suatu kebiasaan. Jika dirasa hal itu cukup mengganggu pikiranku dan beberapa kali berbaur bersama isi kepalaku…artinya, aku harus memilihnya.
Ya, hidup penuh pilihan dari berbagai pilihan. Meski tujuannya di jalan yang sama tetapi pilihan itu terkadang juga bisa menjebak.
“Hei, katakan maumu! Kau pikir ini waktu yang tempat untuk bertemu dengan orang asing sepertimu di tempat seperti ini?” Sky yang mulai kesal.
Laki-laki itu menyuruhnya menunggu dan melihatnya sedang sibuk mondar-mandir tanpa tahu maksudnya.
Bukannya menjawab, dia justru terdiam dan tak peduli.
Apa dia bermuka dua?
Beberapa menit yang lalu, dia terlihat bahagia dan itu begitu terlihat dari kedua matanya.
“Hei, orang asing!” Sky semakin dibuat bosan.
Orang itu seperti batu yang bergerak. Wah, berapa kali mulutku ini mengucapkan panggilan untuknya.
Orang asing.
Laki-laki itu.
Orang itu.
Pandangan mata Sky berkeliling. Dekorasi rumahnya minimalist. Tidak terlalu banyak barang. Hanya ada gabungan dua warna, kelabu dan putih. Ada rak buku yang terlihat mencolok karena berada pada ruang-ruang yang semestinya masih bisa terisi.
Sudah pukul 2 pagi tetapi laki-laki itu tidak terlihat batang hidungnya. Sky hanya bisa mendengar suara langkah kakinya yang terdengar ramai. Orang itu berada di lantai atas.
“Hoaaamm…,” rasa kantuk mulai menyerangku.
Haruskah aku pergi melihatnya?
Ya.
Anggap saja orang asing itu butuh bantuan.
Sky berpindah dari ruang tamu menuju tangga. Ada 2 tangga di sisi kanan dan kiri. Apa bedanya? “Ah, sama saja.”
Ia memilih tangan di sisi kanan.
“Wah…”
Ternyata tangga di antara keduanya berbeda. Kupikir akan saling bertemu ternyata tidak. Di lantai itu hanya ada satu ruang yang entah di antara kamar atau ruang kerja. Sky tidak mendengar ada kehadiran orang asing itu. “Baiklah, tangga yang satunya.”
Wah, apa ada maksud tersendiri? Dari luar kedua tangga itu seperti terhubung di antara keduanya. “Sebentar…,” Sky putar haluan dan kembali menaiki tangga di sisi kanan. Satu ruangan yang ia maksud tadi berada tepat di sisi kanan tepat ia menginjakkan kakinya.
Dan…
Ada sesuatu yang membuatnya ingin mendekat untuk memastikannya.
Sekarang ia sedang meraba tembok berwana putih pucat di sisi kiri dengan kedua tangannya. Dari jauh itu terlihat hanya sebatas tembok.
Sekarang Sky seperti cicak yang sedang merayap di tembok. Bedanya ia tidak mungkin merayap sampai di langit-langit dinding.
Pandangannya dibuat menjauh lalu mendekat, seperti itu dan berulang. “Apa itu pintu?”
“Ya, itu pintu.”
DEG!
“Hei, sejak kapan ka—u…”
Orang asing itu sudah berada di belakangku.
“Wah, bukankah kau seharusnya tidak melakukannya?” sorot matanya tajam. Aku seperti sedang tertangkap basah. Tapi, kan…aku tidak melakukan apa-apa.
“Sebanyak apa kau melihatnya? Terlihat jelas, kau akan mengatakannya. Haha…,” orang asing itu tertawa dengan sorot matanya yang masih tajam tapi sorot matanya itu juga seolah sedang mencibirku.
“Tidak, bukankah kau butuh bantuanku?” entahlah, Sky. Kau terlihat sedang berbasa-basi dengan alasan yang klasik.
“Ahhhhh…,” suaranya menusukku. Telinganya juga seperti mencibirku.
Orang asing itu memberiku isyarat untuk mengikutinya.
Benar. Tembok yang tampak menipu itu ada sebuah pintu yang juga senada dengan warna tembok. Pintu itu memang penghubung di antara ruang dan juga tangga pada sisi kiri.
“Psychopath…,” suara Sky lirih.
“Apa?” orang asing itu pasang muka bodoh.
“Hah?” Sky pun, seperti tidak tahu apa-apa dengan menunjukkan gesturnya.
Rupanya ada tangga lain. Tentu saja, itu balkon. Tidak terlalu besar tapi cukup untuk menenangkan pikiran. Jikalau hidup membuatmu sesak.
Ada lampu-lampu yang tak begitu terang, itulah fungsinya. Lampu-lampu itu memang redup. Jika terang justru akan merusak suasana.
Ada meja kecil dengan karpet di bawahnya. Karpet dengan motif abstrak dan dua bantal duduk yang saling berhadapan di antara meja kecil itu. Tunggu…kalau tidak…
“Hei!”
“Kau, hei!”
“Aku tidak tahu namamu, hei!”
Orang asing itu tepat di hadapan Sky dengan melambaikan jemari tangannya tapi Sky tak kunjung tersadar.
PUK!
Mataku melebar, “Aw!”
“Sudah….sudah melamunnya?” ucapnya di hadapanku.
“Apa yang kau lakukan?” muka Sky masam.
“Tidak…aku hanya mengetuk pelan,” mukanya itu polos sekali tetapi sorot matanya menyebalkan.
“Mengetuk? Menggunakan botol kosong yang kau bawa itu?”
“Iya.”
“Wah…kau…”
“Apa itu sakit?” orang asing itu berlagak polos.
“Kau pikir?”
“Benarkah, itu sakit?”
Orang asing itu…
Keterlaluan.
Sky menepis tangan orang asing itu.
Tangannya itu berada di atas kepalanya dan…
Orang asing itu mengacak-acak rambutnya dengan…
Lembut.
Seolah…
Wah, aku tidak bisa meneruskannya.
Mengapa semua laki-laki itu menyebalkan?
Apa itu senjata bagi mereka?
“Tidak sopan,” ucap Sky tanpa melihat ke arah orang asing itu.
“Hahaha, kau lucu sekali. Ah, ternyata kau tipe orang yang seperti itu, ya?” orang asing itu tertawa dengan suara tawa yang canggung dan dipaksakan.
Tidak salah lagi. Orang asing itu benar-benar gila…
Psychopath.
Tidak ada kue ulang tahun.
Hanya ada setoples permen mint dan permen rasa buah dengan dua gelas minuman kaleng yang kupikir itu adalah minuman terlarang. Nyatanya hanya minuman kaleng rasa buah blueberry yang biasa kubeli di supermarket dekat apartemen.
“Kenapa?” itu yang terucap dari mulut orang asing itu setelah beberapa menit saling berdiam diri menatap ke arah luar.
Angin yang yang berembus terasa sejuk sekaligus menusuk-nusuk permukaan kulit. Orang asing itu seperti sedang menutupi apa yang terlihat pada dirinya.
Pandangannya kosong. Seperti sedang mengenang.
Tidak ada bintang lagi.
Seolah masuk ke dalam lubang hitam yang gelap.
Kedua matanya seperti sedang menahan sesuatu. Apa itu hal yang begitu menyakitkan bagi seorang laki-laki?
Bukankah menangis bukan berarti kau lemah?
Bukankah akan menjadi sesak jika terus menahannya?
“Selamat ulang tahun, Kai.”
Dag…dig…dug…
Jantungku berdegup kencang…dag…dig…dug…
Kurengkuh tubuhku seperti sedang melindungi diriku sendiri. Rasanya campur aduk. Seolah jantungmu ada di tangan seseorang dan berusaha mengeluarkannya dari tubuhmu.
“Kai…,” tak kusangkah itu keluar dari mulutku.
Pukul 3 pagi.
Cup!
Dua orang asing yang tentu tidak saling mengenal itu…
Saling membeku bersama embusan angin yang semakin dingin.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments