“Siapa bilang aku akan meninggalkan kursiku,” ucap Kai dengan nada bicara yang seolah dia sedang menunjukkan kalau dirinya ‘Keren’.
Mulutku seketika bungkam.
Ada rasa malu yang entah mengapa aku harus merasakannya.
Perutku seperti diaduk-aduk, mual.
Iya, dia memang keren dari penampilannya. Tetapi saat dia berbicara, rasanya ingin kutarik kembali ucapanku itu.
“Apa dia populer? Sepertinya, iya. Huweek…”
Rasanya ada yg mendorong ke atas dari perutku sampai ke kerongkongan. Seperti akan meledak. Tak tertahankan.
Berlari cepat dengan tangan yang menutup mulut.
Berutungnya aku, toilet tak begitu jauh.
Kosong tidak ada satu pun orang.
Menghela napas lega saat sudah mengeluarkan semuanya.
Kepalaku sedikit pening tapi tidak terlalu mengganggu.
“Yaahh, sayang sekali makananku…,” bawah bibirnya mengerucut.
Sky melihat dirinya di hadapan cermin. Usai membereskan semuanya. Ia mengambil permen di saku celananya. Selalu ada permen 1 atau 2 di sakunya. Karena ini bukan kali pertamanya, ia seperti ini.
Kai sudah berada di tempat semula. Laki-laki itu juga tahu keberadaanku yang berjalan mendekat. Dia benar-benar seperti batu yang diberi kehidupan. Aku tidak tahu bagaimana cara dia berpikir, setelah kejadian itu.
“Kenapa kau masih di sini?” rasa mualku sirna tapi begitu melihatnya menjadi kesal.
Tetapi bukan salahnya juga, aku yang menghentikannya tadi.
Hanya ingin dia menjawab pertanyaanku, itu saja.
“Sudah kubilang, aku tidak pergi.”
“Sekarang apa? Kau mau apa? Teman juga bukan. Jangan melampaui batas bahkan, kau sudah lancang. Tetaplah menjadi orang asing yang tidak tahu apa-apa,” itu keluar dari mulutku secara spontan. Ada apa denganku?
“Ah, kau ingin kita menjadi teman?” dia seperti tidak ada beban saat berbicara.
“Tidak.”
“Teman? Seperinya tidak bisa,” ucapnya seusai menegak minumannya.
“Oke, kalau kau sudah mengerti,” Sky beranjak dari tempat duduknya.
Tetapi…
“Aku tidak menyuruhmu untuk pergi,” jemari tangannya menahanku.
“Hah?” Sky menepisnya.
“Kau masih harus melakukan sesuatu untukku karena…”
Sky memotongnya, “Kenapa harus aku?”
“Iya, kau.”
“Tidak, seharusnya kau mengucapkan permintaan maaf padaku.”
“Ah, kau masih memikirkan soal itu? Kau anggap itu sebuah kesalahan?” Kai yang masih terlihat santai.
“Apa kau selalu seperti ini?” aku tidak ingin menangis tapi mengapa rasanya menjadi ingin menangis?
“Haha, kenapa? Kau ingin menangis?”
Siapa dia sebenarnya?
Apakah dia seorang peramal?
Orang gila itu seolah sedang membaca pikiranku.
Atau jangan-jangan dia orang yang kejam?
Apa dia selalu seperti itu, memaksa kehendak seseorang?
“Ah, kau kesepian sampai kau tidak peduli siapa orang itu. Kau orang yang seperti itu rupanya?” orang itu mendorongku untuk berdebat dengannya.
Kai tersenyum sinis dan berbicara, “Kau sendiri juga yang menginginkan itu. Lucu sekali, kau ingin menggertakku tetapi…kau payah.”
Wah!
Dia lawan yang tidak bisa dilawan.
Maksudnya, dia bukan lawanku.
Karena…
Orang itu gila.
“Kau kesepian…,” ucapku dan pergi dari hadapannya.
Kai pun tidak menahannya.
Hari itu…
Hari terakhirku melihatnya.
Dia meninggalkan ingatan yang tak ingin kuingat kembali.
Itu memalukan.
Selalu muncul di dalam ingatanku.
Berulang kali.
Pukul 3 pagi itu. Ya, kejadian itu. Ada rasa sesal yang tak bisa diulang kembali. Mengapa aku tidak melakukan apa-apa? Mengapa aku hanya diam dan mematung seperti itu?
Mungkin itu hanya beberapa detik tapi, bagiku berlangsung begitu lama.
Aku pergi begitu saja tanpa melakukan apapun. Sementara bagi Kai, itu yang memang terjadi…bukanlah kesalahan.
Hari yang berlalu menjadi hal yang menjenuhkan saat ingatan itu terus menghantuiku.
1 hari menjadi satu minggu yang berlipat ganda.
1 bulan menjadi beberapa bulan yang saat disadari banyak waktu yang terbuang percuma.
Tak biasanya, aku berbicara soal waktu.
Itu menyakitkan sekaligus menciptakan rasa sesal yang tidak ada habisnya. Satu hal lagi, apa yang ada diingatan justru menjadi tempat kesalahan yang tak ingin kau ulang kembali.
Seperti siklus yang terus berputar, itu sebabnya aku tak ingin menyalahkan waktu.
Jika aku telah melakukannya, berarti semua yang menjadi awal akan tidak akan menjadi akhir.
Rutinitas yang biasa kulakukan, seketika berubah.
Tak banyak yang kulakukan.
Selain kampus tempat yang terpenting saat ini. Hanya ada tempat tinggalku, tempat kedua setelah kegiatan di kampus selesai.
Yuta dan Kale, mereka memberiku jarak karena mereka paham bagaimana aku di mata mereka.
Tetapi…
Namanya juga kehidupan.
Skenario selanjutnya pasti akan datang.
Skenario yang telah tercipta jika masih diberi kehidupan.
Setelah begitu banyak yang kami lewati dan tak cukup jika itu tentang waktu, kami bertiga untuk pertama kalinya…berpisah.
Entahlah, apa artinya sebuah perpisahan?
Tak ada berjalan sesuai keinginanku, kembali lagi itulah kehidupan.
Rasanya ingin kugaris bawahi, ‘Itulah kehidupan’.
Saat kau memiliki seseorang yang selalu ada untukmu tapi tiba-tiba kau tak bersamanya, apakah pantas perpisahan itu terjadi?
Bagiku, jika benar-benar berpisah…kenangan-kenangan yang telah bersamaku itu…seolah-seolah akan membunuhku secara perlahan.
“Baiklah, aku akan datang. Lagi pula aku tidak bisa menolaknya, kan?” suara Sky terdengar tidak bersemangat. Ken meneleponnya pagi buta memberiku kabar yang sama sekali tidak ingin kudengar.
Akan ada makan malam keluarga.
Lucu sekali.
Ibu yang sama sekali tidak pernah menghubungiku.
Ayah sambungku yang hanya ingin citranya terlihat seperti figur seorang ‘Ayah’ tapi nyatanya, dia hanya melakukan sebuah adegan.
Ken, entahlah. Dia mungkin juga tersiksa.
Apakah aku harus menyebutnya sebuah keluarga?
“Tidak usah menjemputku,” tolak Sky.
“Ini terakhir kalinya kau menghubungiku. Kalau itu soal makan malam keluarga, itu tak masalah.”
“Kau mengerti?”
“Oke.”
Tut…tut…tut…
Berbicara dengan Ken adalah hal yang melelahkan bagiku. Energiku seperti telah terkuras habis.
Tetangga sebelah yang berisik itu. Tidak ada lagi dan menjadi kosong. Tidak tahu apa yang terjadi. Tidak tahu juga hubungan mereka akan seperti apa.
Bulan desember segera mendekat.
Hujan sepanjang hari akan menemani hari-hariku.
Kehidupan kampusku akan lebih sibuk dari biasanya.
Menyambut minggu-minggu akan berganti tahu ajaran baru.
Sky duduk dengan mendekapkan dirinya seolah sedang memeluk dirinya sendiri. Ia melihat hiruk-pikuk di balik jendela yang menembus suasana luar dari ketinggian.
Suasana yang ramai.
Sore yang melelahkan.
Karena esok adalah hari untuk beristirahat.
Pandangannya seketika buram. Seperti ada embun yang memberikan noda.
Banyak yang ia pikirkan, seperti kebanyakan orang lakukan.
Ia terus memandang dengan tatapan yang tak pasti. Seperti halnya lensa pada kamera yang mencari objek foto yang akan menyentuh hati, pikiran, dan serta kedua mata yang seolah mengerti ada sebuah cerita di baliknya.
Tok…tok…tok…
Sky berjalan mendekat.
Tidak ada siapa pun.
Tiba-tiba…
Ujung kakinya meraba sesuatu.
Ia pun menyadarinya.
Itu adalah kertas yang sengaja diselipkan di bawah pintu.
“Siapa?”
Itu hanya kertas putih yang dilipat menjadi dua.
Sky membukanya.
Ya, ada tulisan di balik kertas putih itu.
“Kau pasti tahu itu di mana…”
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments