Jeanno mengutuk dirinya yang tak melihat persediaan makanan di kulkas tadi siang. Akibatnya ketika perutnya memberontak ingin diisi, tak ada bahan makanan yang bisa dimasak. Jadilah dirinya terpaksa keluar tengah malam menuju minimarket terdekat. Tidak perlu mencemaskan Aera karena Bibi yang membantunya membersihkan rumah, tengah menginap. Lagipula jarak antara apartemen dan minimarketnya dekat, Jeanno bahkan hanya menaiki sepeda untuk bisa ke tempat tujuan.
Judith mengerang kesal ketika pusing dikepalanya tak kunjung hilang. Tekanan darahnya rendah karena kurang istirahat. Tubuhnya juga lemas, ia tidak menyentuh masakan Hannah yang ditinggalkan untuknya sebelum berangkat bekerja. Sial, gara-gara sakit terpaksa harus ijin. Ijin sehari sama saja membuang rejeki. Bayangkan berapa yang ia dapatkan jika tidak melewatkan pertunjukkannya. Judith mendengus jengkel. Ia benci sakit. Ia juga benci dirinya yang menolak untuk ke dokter ketika Hannah masih disini. Sekarang ia menyesal, kalau dirinya menuruti Hannah, sudah pasti kondisinya membaik. Ke rumah sakit besok juga bukan ide bagus, semakin ia menunda pergi, semakin lama kesembuhannya. Dan itu artinya ia kehilangan banyak uang.
Tidak, tidak. Ia harus kerumah sakit sekarang. Tak apa jika harus sendirian. Toh ia biasa kemana-mana sendiri. Hanya kerumah sakit yang jaraknya tak seberapa bukanlah hal mustahil. Si cantik berambut blonde itu bangkit, mengabaikan tusukan menyakitkan dikepalanya. Diraihnya jaket dan memakainya dengan gemetar. Setelah memakai buket hat dan masker, dengan tertatih, Judith melangkah keluar apartemen mencari taksi.
Dan sepertinya keberuntungan belum berpihak padanya. Judith nyaris menangis karena taksi yang ia tunggu tak kunjung datang, sementara tubuhnya sudah semakin lemah. Netranya menangkap minimarket diujung jalan yang lampunya masih menyala. Dilihatnya beberapa kali taksi melewati tempat itu. Mungkin ia harus berjalan kesana untuk menunggu taksi.
Jeanno baru saja hendak mengambil sepedanya yang terparkir disamping minimarket ketika ia menangkap seseorang yang berjalan tertatih dengan tangan meraba tembok minimarket sebagai sandaran. Dari cara melangkahnya jelas orang itu tidak baik-baik saja.
“Hey, kau baik-baik saja?” tanyanya sedikit keras. Pria itu masih berada ditempatnya. Sisi samping minimarket begitu gelap, hanya ada cahaya temaram kekuningan dari lampu jalan. Ditambah sosok itu mengenakan topi dan masker, sehingga Jeanno tak bisa melihat dengan jelas rupanya.
Samar-samar Judith mendengar teriakan seseorang dari arah minimarket. Ia tak tau apakah itu ditujukan untuknya atau bukan karena dirinya lebih memilih menunduk. Mengangkat kepalanya membuat pandangannya semakin berkunang-kunang. Jika memang itu ditujukan padanya, ingin sekali ia meminta tolong untuk diantarkan kerumah sakit. Tapi perempuan itu begitu lemah untuk bersuara.
Jeanno, yang merasa gerakan orang itu semakin mencurigakan, mulai melangkah pelan. Dan benar saja, tak lama kemudian, orang itu pingsan! Refleks pemuda itu mendekat, membawa kepala perempuan itu ke pangkuannya.
“Hey, kau tidak apa-apa?” Jeanno menepuk lembut pipi Judith. Yang mana tak direspon, tentu saja. Suhu tubuh orang itu sangat tinggi. Sekalipun Jeanno tidak bisa melihat wajahnya, ia yakin pasti rupa orang itu sangat pucat. Pria itu membungkuk, melingkarkan tangannya di kaki dan pinggang Judith, kemudian kembali kedepan minimarket untuk mencari taksi. Mengabaikan sepeda dan belanjaannya yang teronggok begitu saja diparkiran.
*
Lucas tidak bergurau ketika menyebutkan bahwa Hannah adalah satu dari tiga penari terbaik disini. Mark akui, Hannah pantas menyandang yang terbaik dari yang terbaik. Penari itu muncul di menit-menit terakhir dan dengan lihai merebut atensinya. Membuat matanya hanya tertumbuk pada sosok menggoda itu. Bagaimana gerakannya, bagaimana tatapan seduktifnya, bagaimana tangannya membelai pole dengan gestur yang begitu sensual. Dan kulitnya.. astaga, Mark rasanya ingin memeluk Lucas karena telah mengajaknya ke tempat ini.
Ketika mereka tidak sengaja bertemu pandang, Mark merasakan pipinya memanas, begitu pula suhu tubuhnya. Hannah mengerling nakal kearahnya diiringi seringai yang menurutnya begitu seksi. Tarian itu begitu singkat, karena tau-tau lampu panggung sudah mati dan Hannah sudah tak ada disana.
“Bagaimana menurutmu?” Lucas bertanya dengan semangat, ditambah ketika ia mendengar helaan penuh kecewa dari kawannya ketika pertunjukkan selesai.
“Apa aku bisa melihatnya lagi?”
Lawan bicaranya mengangkat bahu. “Well, untuk hari ini, tidak. Pertunjukkan Hannah sudah selesai. Sesi berikutnya masih ada tapi bukan dia penari utamanya”
Lucas tau Mark tertarik pada Hannah. Setidaknya itu yang ia baca melalui bahasa tubuh kawannya ketika Haechan tampil.
“Kau bisa melihatnya besok. Atau mungkin.. kau mau membayar untuk private dance?”
Dari sekian banyak kalimat tak berfaedah yang diucapkan Lucas, kalimat terakhir menurut Mark adalah ucapan paling pintar yang terlontar dari mulut sahabatnya. Ide bagus, bukan?
*
Jeanno sampai dirumah sakit dan sedang menunggu pemeriksaan orang itu. Ditangannya terdapat dompet yang hanya berisikan beberapa kartu debet dan kredit. Tidak ada identitas disana, yang menurut Jeanno aneh untuk ukuran isi sebuah dompet. Hanya kartu bertuliskan ‘Ananta Judith’. Well, setidaknya ia tau nama perempuan tersebut.
Pemuda itu mengetukkan kakinya. Koridor rumah sakit ditengah malam bukanlah pemandangan bagus. Lorong itu hening dan dingin. Sudah jarang terlihat lalu-lalang disana. Dan rumah sakit juga bukan tempat indah untuk dikenang. Tempat itu sudah menjadi layaknya rumah kedua baginya, ketika Nayara sakit dan menjalani kemoterapi yang tidak membuahkan hasil apapun.
Jeanno menunduk, meremas kepalanya. Ingatan itu kembali muncul. Ingatan ketika Nana, dengan selang yang terpasang ditubuhnya, memandangnya nanar sekaligus berusaha tegar. Dengan senyuman yang susah payah ia sunggingkan.
“Aku.. mencintaimu, Jeanno..”
Siapa yang menyangka jika itu kalimat terakhir yang Nayara ucapkan. Karena setelah itu, matanya terlelap, selamanya.
Bayangan itu membuat matanya memanas dan hatinya berdegup tak karuan. Tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. Tidak, ia tak akan sanggup berlama-lama disini. Persetan dengan perempuan asing itu, toh ia bukan siapa-siapanya. Jeanno lantas bangkit, menitipkan dompet Judith ke bagian informasi, setelah itu ia pergi. Tanpa ingin tau bagaimana kondisi orang yang ditolongnya.
*
“Bisakah kau hilangkan cengiran di wajahmu sebentar saja? kau terlihat bodoh karena terus menerus tersenyum sedari tadi” sungut Jeanno sembari melempar tissue bekas kearah Mark.
Bukannya mereda, senyumnya justru semakin merekah. Membuat Jeanno bergidik geli.
“Jangan-jangan kau ketempelan makhluk halus usai bermain di bar itu”
“Bukan” Mark menggeleng. “Kau tau kan kemana aku semalam? Ternyata benar kata orang-orang. Reputasi club itu benar-benar luarbiasa. Terlebih para penarinya. Astaga, kau tidak akan menyesal jika datang kesana, Jean”
“Aku pernah datang kesana. Tak ada yang istimewa, memang club itu mewah. Tapi aku pernah ke bar mewah lainnya. Kau berlebihan, Mark”
Lagi, Mark menggeleng agresif. Tidak terima dengan ‘penghinaan’ Jeanno yang menyebut Victoire sama seperti night club lainnya. “Tidak, Jean. Yang ini sungguh berbeda. Aku hanya kesana sekali, dan merasa ketagihan ingin menginjakkan kaki kesana lagi”
“Apa yang kau cari dari tempat seperti itu, Mark? Kalau bibi tau kau sering ke tempat seperti itu, pasti paman dan bibi sudah sibuk mencarikan perempuan untuk dijodohkan denganmu” goda Jeanno. Matanya menatap ke kotak pesan email, menilik barangkali ada pesan penting yang ia lewatkan.
Mark melengos. “Kau tidak akan tau kalau tidak kesana. Penari disana tidak hanya seksi, tapi juga berkelas”
“Apa ada yang menarik perhatianmu?”
Tanpa sadar, Mark mengusap bibirnya yang tersungging seringai. “Ya, ada”
“Setauku penari disana bisa ada yang disewa untuk memuaskan pelanggan. Kau tinggal bayar saja dia, dan rasa penasaranmu akan terbayarkan”
Sebenarnya pernyataan Jeanno hanya ide asal karena dirinya sudah malas menanggapi Mark yang mengagung-agungkan Victoire yang padahal menurutnya biasa saja. Namun apa daya ungkapan Jeanno justru direspon serius oleh Mark.
“Kau benar, mungkin aku hanya penasaran..”
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments