“Lahap sekali makannya, apa paman boleh minta?” Mark mengulurkan tangannya, berpura-pura hendak mencuri es krim Aera. Sontak saja gadis kecil itu menyembunyikan gelas es krimnya. “Tidak boleh, ini punya Aera”
Mark melepas tawa. Keponakannya memberikan tatapan sinis yang menurutnya sama sekali tidak mengerikan. Dengan jahil, Mark berusaha meraih gelas es krim milik keponakannya.
“Jangan menggodanya, Mark. Kalau sampai ia menangis, kau harus bertanggungjawab untuk membuatnya tersenyum lagi” ancam Jeanno yang duduk diseberang meja Aera. Putri kecilnya melanjutkan kegiatannya menandaskan es krim yang tinggal setengah, dengan satu tangan melindungi gelasnya seolah-olah Mark bisa merebut kapan saja.
“Aera sangat menggemaskan. Bagaimana bisa aku tahan untuk tidak menggodanya”
Jeanno tidak begitu memperhatikan ucapan Mark. Ia terlalu sibuk menyeka bekas es krim yang belepotan kemana-mana diwajah Aera. Bahkan sampai mengotori seragam sekolahnya. Alih-alih marah, ia justru menggeram gemas.
“Aku akan sangat kasihan kepada pria-pria yang menyukai Aera nanti. Mereka pasti harus memutar otak bagaimana caranya meluluhkan hati papanya yang begitu protektif” timpal Mark seraya mengulurkan lembaran tissue baru kepada sepupunya.
“Tentu saja. Aku akan menyeleksi pria-pria itu sampai menemukan pria yang sempurna untuk malaikat kecilku” Jeanno berhasil membersihkan noda terakhir diujung bibir Aera. “Cantiknya anak papa..”
“Papa, tadi Aera melihat Mama”
Gerakan tangan Jeanno terhenti. Pemuda itu bertukar pandang dengan Mark. Keduanya paham siapa yang dimaksud. Hanya satu perempuan yang Aera kenali sebagai mamanya dan melihat ‘mama’ tentu hal tidak mungkin karena orang yang dimaksud sudah meninggal dunia.
“Dimana sayang?”
“Didepan sekolah. Mama tersenyum, Aera ingin sekali mendekat tapi Mrs Sarah memanggil Aera. Waktu Aera menoleh, Mama sudah pergi” bibir gadis kecil itu melengkung kebawah.
“Aera rindu Mama. Aera ingin memeluk Mama..”
Jeanno menarik putrinya kedalam pelukan. Dikecupnya puncak kepala Aera lembut. “Papa juga rindu Mama”
“Papa, kapan Aera bisa bertemu dengan Mama? Akhir tahun akan ada pentas seni hari Ibu, semua teman Aera datang dengan Papa dan Mama. Aera juga ingin Papa dan Mama datang…”
Mark menghela nafas dalam ketika Jeno dengan ringannya justru berkata ‘Ya, Papa dan Mama akan datang’. Benaknya bagaimana mungkin sepupunya akan menepati janji itu jika orang yang dimaksud Aera sudah meninggal? Jeanno bodoh, mengapa ia tidak menjelaskan semua dari awal. Alih-alih jujur jika ibunya sudah tiada, Jeanno justru selalu mengatakan kalau Nayara sedang pergi ke suatu tempat. Hanya sementara yang mana akan kembali pulang dan berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya.
*
“Menurutku satu kejujuran menyakitkan jauh lebih baik dibanding seribu kebohongan manis, Jean” tutur Mark sekembalinya Jeanno dari kamar Aera. Gadis kecil itu terlelap usai makan malam mereka.
“Aera akan mengingat janjimu. Apa yang akan kau lakukan jika sampai akhir tahun hanya dirimu yang datang ke pentas akhir tahun itu. Kau seharusnya berpikir matang sebelum menjanjikan hal mustahil pada Aera. Dia bisa saja masih kecil, tapi dia mengingat semuanya dan kau lihat tadi bagaimana perubahan ekspresinya dari sedih ke senang begitu kau bilang Nayara akan datang. Kau akan menyakitinya lebih jauh..”
Jeanno mengusap wajahnya kasar. “Jika saja aku bisa menghidupkan Nana, apapun itu, akan kulakukan”
“Kau sudah gila”
“Aku tidak bisa mengatakan padanya kalau Nana sudah tiada. Aku.. tidak tau bagaimana cara mengatakannya. Kau dengar sendiri tadi. Bagaimana Aera mengatakan dia melihat Nana. Dan itu bukan satu-dua kali. Nyaris setiap waktu aku mendengarnya berkata seperti itu. Oh Tuhan, dia merindukan ibunya..”
Mark memijit pangkal hidungnya. Melihat sepupu sekaligus keponakannya harus hidup seperti itu mau tak mau turut membuat kepalanya pusing. “Dengar, kau harus mengatakan hal yang sebenarnya kepada Aera. Ia pasti akan menangis, gadis itu pasti akan bersedih. Tapi hal itu akan berlalu seiring berjalannya waktu, Jean. Kau harus membiasakannya hidup dalam kenyataan. Sebelum terlambat…”
*
Mark memasukkan ID card kedalam dompetnya usai menunjukkan kepada petugas keamanan. Persoalan pelik Jeanno membuat kepalanya berdenyut sehingga ia merasa butuh hiburan. Dan disinilah dirinya, Victoire Night Club. Yang kata orang merupakan club termewah di kota ini—bahkan mungkin di negeri ini. Mark sudah mendengar kasak-kusuk dari kawan-kawannya bahwa club ini bukan main-main mewahnya. Salah satu yang menonjol dan menjadi pemikat adalah para penarinya. Butuh nominal yang tidak sedikit bagi siapapun yang ingin private dance dengan salah satu dari mereka.
Sebelum ini Mark tidak pernah tertarik untuk masuk kemari. Hidupnya terlalu membosankan untuk masuk ke tempat hiburan malam se-vulgar Victoire. Ketika Lucas mengajaknya datang, ia tanpa basa-basi menyetujui. Sepanjang jalan, sahabatnya tak berhenti berceloteh bagaimana epiknya club malam itu. Dari segi minuman, musik, hingga penarinya. Mark sebetulnya ingin mengajak Jeanno, namun ia tau pemuda itu pasti akan menolak bahkan sebelum Mark mengatakan tempat tujuannya. Terlebih besok adalah hari libur. Jeanno pasti akan menemani Aera begadang menonton serial kartun favorit putrinya.
“Wow..”
Kata pertama yang meluncur dari bibir Mark. Ungkapan yang pas untuk menggambarkan bagian dalam club itu. Victoire berada di lantas teratas gedung pencakar langit. Club itu sendiri mempunyai empat tingkat lantai. Lantai dasar untuk lantai DJ sekaligus tempat dimana orang-orang bebas menari mengikuti hentakan musik. Lantai kedua kata Lucas merupakan tempat para penari itu pentas sekaligus beberapa ruangan tertutup jika pengunjung meminta private dance. Kemudian lantai ketiga ada tempat untuk berjudi, sementara lantai paling atas adalah kantor.
“Ayo, kukenalkan pada Johnny. Manager disini..” Lucas menarik tangan Mark berlalu. Leher panjangnya terjulur kesana-kemari mencari sosok yang dimaksud. Pria itu tersenyum sumringah kepada sosok tinggi yang tengah berjalan kearah mereka.
“Selamat malam, selamat datang di Victoire” sambut pria itu sembari menjabat tangan Lucas, yang ditepis lawannya dengan jahil. “Aish, aku bukan orang asing. Tidak perlu seformal itu setiap kali aku datang”
Johnny terkekeh. Ia melirik Mark yang tengah tersenyum tipis. “Anggaplah sapaanku tadi untuk temanmu”
“Iya, aku membawa teman kemari. Kenalkan, Mark Sebastian. Mark, ini Johnny . Orang yang mengelola tempat hebat ini”
Keduanya berjabat tangan.
“Baiklah, karena ini adalah kali pertama kau datang kemari, maka aku akan memberikan tempat duduk paling strategis untuk melihat pertunjukkan penariku”
Tawaran itu disambut ‘Yes’ dari Lucas yang begitu bersemangat. Sementara Mark masih tersenyum canggung. Tak tau apakah itu penawaran yang bagus atau tidak. Maksudnya, ia tak pernah melihat penari erotis sepanjang hidupnya. Ini pengalaman pertama dan langsung ditempatkan di kursi VIP?
Agaknya Johnny membaca gestur aneh dari tamu barunya, ia lantas menepuk pundak Mark ringan. “Tenang saja, penariku berbeda dari yang lain. Mereka tidak akan menyentuh para tamu semaunya. Kujamin kau akan menikmatinya, jika tidak, aku akan membayar minumanmu”
“Kenapa hanya minuman Mark?” protes Lucas. Johnny melirik datar. “Karena kau pasti akan puas dengan pertunjukkan penariku”
“Ah sepertinya kita terlalu lama membuang waktu disini. Mari kuantar kalian keatas”
*
Jeanno bersenandung pelan sembari menepuk-nepuk kaki Aera lembut. Gadis kecil itu memaksanya untuk ditemani menonton serial kartun, namun justru ia yang berakhir terlelap pada tiga episode pertama. Yang tentu saja membuat papanya tidak keberatan karena itu artinya ia tak perlu capek-capek meninabobokan si kecil.
“Selamat tidur, cantik. Mimpi indahlah. Jika kau bertemu dengan Mama dimimpimu, katakan padanya.. Papa merindukannya”
Jeanno mengakhiri tepukan dan memberikan kecupan selamat tidur. Pria itu lantas bangkit menuju ruang kerjanya. Ada beberapa pekerjaan yang sempat tertunda yang harus ia selesaikan.
Ding!
Layar ponsel itu menyala. Pesan dari Mark rupanya, bukan berisi apa-apa. Hanya foto yang menampilkan panggung berdesain simpel dengan beberapa pole disana. Jeanno tau Mark tengah berada di club malam. Pria itu juga tau seperti apa club yang didatangi sepupunya. Club mewah yang terkenal dengan pertunjukkan tari eksotis para perempuan cantik. Ia pernah kesana beberapa ketika masih kuliah. Ketika dirinya masih menjadi Jeanno yang belum bertemu Nayara. Sudah beberapa tahun berlalu, tempat itu berkembang pesat. Namun Jeanno tak ada niatan untuk mengunjunginya. Menjaga Aera lebih penting daripada harus membuang uang kesana.
Diabaikannya pesan Mark. Kemudian lelaki itu fokus pada layar komputer.
*
“Kau hapal penari disini?”
Lucas menampilkan cengiran khasnya. “Bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak. Penari disini ada puluhan, Mark. Bagaimana bisa aku hapal semuanya?”
“Bukankah kau sering kemari? Seharusnya kau hapal”
“Ya, aku memang sering kemari. Mereka semua sangat cantik. Namun tetap ada yang terbaik dari yang terbaik”
Dahi Mark mengerut. Tak paham apa maksudnya. Ia pikir semua penari sama saja.
“Mereka punya tiga penari terbaik disini” Lucas menujukkan ketiga jemarinya didepan wajah Mark. “Yang pertama, Renatta. Dia penari paling mungil disini. Wajahnya cantik dan anggun-walaupun menurutku sedikit ketus. Tapi dia terkenal galak, dia pernah menampar seorang pengunjung pria yang memegang tubuhnya ketika ia sedang menari” Lucas tertawa disela-sela ceritanya. “Tapi belakangan ini Rena jarang tampil. Sekalipun tampil juga tidak seterbuka yang lain”
“Yang kedua, Hannah. Kau harus melihat kulitnya, Mark. Dia memiliki warna kulit terbaik disini. Kulitnya yang kecoklatan diterpa cahaya keemasan dari lampu, ck. Kau tidak akan berkedip jika melihatnya. Aku jamin. Oia wajahnya juga manis”
Mark mengangguk-angguk seperti anak kecil yang sedang diajari ibunya belajar. “Lalu yang terakhir?”
“Nah yang terakhir ini yang paling spesial. Wajahnya inosen dan manis sekali, seperti kelinci. Kesan lugu anak itu seperti tidak pernah mengenal apa itu dunia malam. Tapi tariannya, sangat erotis. Dia penari termahal disini. Untuk bisa melihatnya private dance, kau harus membayarnya dengan nominal yang menurutku cukup untuk membeli satu vespa. Belum lagi jika kau mau membawanya untuk.. yah kau tau”
“Sebegitu spesial itukah?”
Lucas mengangguk, menyesap gelas champaigne-nya. “Seharusnya ia tampil malam ini. Tapi Johnny bilang ia ijin karena tidak enak badan. Jadi digantikan oleh Hannah sebagai penari utama”
“Siapa nama penari yang sakit itu?”
Lucas menoleh kearah Mark. Melempar senyum jahil. “Kau penasaran kan? Namanya Judith. Mungkin lain waktu aku akan mengajakmu untuk melihatnya”
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments