“Kau Jeanno Alexander?”
Jeanno mengangkat wajahnya malas. Ia butuh tidur setelah begadang semalaman mabuk di pesta ulangtahun Henry. Jika saja bukan karena paksaan ibundanya untuk masuk kuliah hari ini, ia tidak akan tertidur di kelas.
Dengan ekspresi gusar dan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, Jeanno mengerjapkan matanya. Berusaha memperjelas siapa pelaku yang tengah berani membangunkan tidurnya. Pemuda itu sudah siap marah, namun ketika kerjapan matanya berhasil membuat figur dihadapannya semakin jelas, ia mengurungkan niatnya. Seorang perempuan mungil berambut coklat dan berparas manis. Wajah itu memandang tajam kearahnya, yang menurut Jeanno jauh dari kata mengerikan.
“Ya, aku”
Si manis memberikan—atau lebih tepatnya melempar- beberapa lembar kertas keatas meja Jeanno. Yang direspon dengan ekspresi kebingungan pemuda itu. “Apa ini?”
“Bagianmu. Profesor Wu memberikan tugas kelompok untuk membuat makalah dua minggu yang lalu. Kita satu kelompok. Aku sudah mengerjakan bagianku”
Dahi Jeanno menyernyit. “Lalu?”
“Sekarang giliranmu. Aku sudah menulis apa-apa saja yang harus kau kerjakan untuk melengkapi makalah kita. Oia, datelinenya besok. Jadi kuharap kau sudah bisa menyelesaikannya. Dan jangan lupa dijilid rapi” perempuan itu berbalik, melenggang ringan tanpa mempedulikan pelototan Jeanno. Langkahnya baru berhenti ketika pundaknya dibalik kasar oleh lawan bicaranya tadi.
“Apa kau bilang? Kau pikir aku akan mengerjakan tugas bodoh ini?”
Lawan bicaranya memandang datar. “Jika kau tidak mau, mudah saja. Aku bisa mengatakan pada Profesor Wu kalau kau tidak berkenan, sehingga nilaimu 0 dan kau mengulang”
Bibir Jeanno tertarik sebelah, menampakan seringai sinis yang menurut orang-orang, seksi. “Kau pikir ini semua salahku? Ini tugas dua minggu yang lalu. Dateline besok dan kau baru memberitahuku hari ini?”
Tak dinyana, seringai itu justru dibalas si lelaki manis dengan seringai yang sama. Yang justru terkesan cantik dimata Jeanno. “Salahku? Aku sudah mencarimu sejak hari pertama kelompok terbentuk. Tapi kau tidak pernah menampakkan batang hidungmu di kampus. Ketika aku meminta nomormu kepada mahasiswa lain, aku justru dicemooh dan mengatakan bahwa aku bukan seleramu. Detik itu aku tau bahwa Jeanno Alexander yang satu kelompok denganku adalah seorang casanova yang menjadi incaran para mahasiswi disini. Tapi tenang saja, aku tidak akan terpesona denganmu. Aku hanya ingin tugasku selesai dan aku mendapatkan nilai. Jadi kau, Mr. Alexander yang terkenal. Selesaikan tugasmu dan setelah itu tidak ada yang terluka, okay?”
Ia itu melepas tangan Jeanno dipundaknya. Lalu berbalik, melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Disaat Jeanno berteriak bertanya siapa namanya, si manis berhenti dan menjawab singkat.
“Nayara”
*
Nayara mendesah jengah ketika melihat Jeanno mengambil kursi disampingnya. Sudah satu bulan sejak pertama kali mereka bertemu, sejak itu dengan ajaib Jeanno selalu hadir disetiap mata kuliah yang ia ambil. Dan selalu, selalu mengambil tempat duduk disampingnya.
“Halo, Nayara”
Yang dipanggil melirik datar seraya mengeluarkan alat tulis dari tasnya. “Apa yang kau rencanakan?”
“Apa maksudmu?”
Ia mengedikkan bahu. “Aneh bukan? Mahasiswa yang jarang sekali hadir di kampus, tiba-tiba hadir tepat waktu disetiap mata kuliah. Apa yang membuatmu berubah jadi serajin ini?”
Jeanno mengistirahatkan dagunya ditelapak tangan. Memandang Nayara dengan binar yang luar biasa indahnya. “Kalau kujawab kau, bagaimana?”
Jawaban yang membuat Naya nyaris tersedak ludahnya sendiri. “Aku tidak akan tertipu rayuan murahanmu, Jeano. Dan kuberi tahu, diruangan ini ada banyak kursi kosong. Kau bisa memilih tempat lain. Bukankah barisan belakang adalah kursi favoritmu? Supaya kau bisa tidur?”
Jeanno terkekeh. Nayara dimatanya semakin hari semakin manis. Sekalipun perempuan itu selalu menjawabnya dengan nada ketus dan gestur anti-Jeanno-Alexander andalannya. “Kau menarik, Na”
“Sst. Diamlah, aku ingin memperhatikan apa yang dijelaskan Profesor Jill. Jika kau tak keberatan”
“Aku akan tetap bersuara, asal..”
“Asal?”
“Asal kau mau memberi nomormu padaku”
“Tidak ada untungnya bagiku”
Jenno mengedikkan bahu. “Baiklah, kalau begitu aku akan terus bicara sampai kita berdua ditegur. Aku tidak masalah jika nilaiku dipangkas, tapi kurasa kau sangat masalah dengan itu”
“Jangan mengancamku, Jean”
“Hanya nomormu. Anggaplah ada seorang teman kuliah yang ingin meminta nomormu. Apakah itu melewati batas?”
Nayara memberikan tatapan membunuh kearah Jeanno, terlebih ketika Profesor Jill berdehem keras sembari memandang kearah mereka. Jeanno memberikan cengiran kuda, melihat Naya merobek kasar kertas pada bukunya untuk dituliskan nomor ponselnya.
“Puas?” ujarnya setelah memberikan kertas itu kepada Jeanno.
Jeanno mendekatkan kepalanya ke telinga perempuan itu ketika dosen mereka kembali fokus pada buku tebalnya. “Puas. Dan omong-omong..”
Pemuda tampan itu mendekatkan kepalanya, menyesap aroma manis yang menguar dari sosok perempuan disampingnya. “Kau harum sekali, Nana”
Nayara tidak tau apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Menonjok wajah tampan Jeanno, atau menenangkan hatinya yang entah mengapa, berdegup begitu kencang.
*
Nayara mendengus sebal ketika layar ponselnya terus berkedip, menampilkan nomor Jeanno yang laki-laki itu simpan setelah merebut ponselnya paksa. Sudah sejak setengah jam lalu si tuan muda berusaha menelponnya, yang tentu saja tidak ia angkat dengan beberapa alasan.
Pertama, telpon dari Jeanno pasti hanya berisi kata-kata tidak penting. Kedua, mengangkat telpon sama saja mengganggu belajarnya. Ia sudah memasuki semester akhir dan belajar adalah prioritas utamanya. Ketiga, ia tidak boleh membiarkan dirinya melemah. Sejujurnya, sejak Jeanno terus duduk disampingnya, ada perasaan aneh yang melingkupi dada Nayara. Dirinya tau jika dibiarkan terus menerus maka akhirnya akan buruk. Ia akan jatuh cinta kepada lelaki tampan itu. Dan Nayara tidak mau sampai hal tersebut terjadi.
Gadis itu tersenyum penuh kemenangan ketika ponselnya padam. Mungkin Jeanno sudah menyerah menelpon, batinnya. Detik berikutnya pintu kamarnya diketuk.
“Naya, kau sibuk?” tanpa perlu menunggu, pintu kamar asramanya terbuka. Menampilkan kepala Bu Ira, penjaga asramanya.
Naya menggeleng. “Tidak, aku hanya sedang belajar. Ada apa, bu?”
“Oh, ada temanmu diruang tamu”
Dahi Nayara mengerut. “Teman? Seingatku tidak ada teman yang mau menemuiku sore ini”
“Dia bilang sudah ada janji denganmu. Temui saja, Nak”
Nayara menutup bukunya, memutuskan untuk menuruti perkataan bu Ira walaupun dalam hatinya masih bingung sekaligus penasaran siapa ‘teman’ yang dimaksud karena selama ini dirinya paling jarang kedatangan tamu dibanding mahasiswi lain.
Sepanjang perjalanan dari kamarnya di lantai 3 menuju ruang tamu di lantai 1, ia beberapa kali berpapasan dengan mahasiswi lain. Biasanya mereka hanya bertegur sapa, atau sekedar menganggukkan kepala sembari tersenyum. Namun kali ini mereka yang berpapasan dengannya justru meliriknya aneh. Ada yang memandangnya dengan penuh kekaguman, ada yang memantaunya dari ujung kaki hingga ujung rambut, ada yang memandangnya sinis. Terakhir telinga Nayara menangkap bisikan dua mahasiswi yang melewatinya.
“Tidak menyangka dia punya kekasih”
“Kekasihnya setampan itu pula”
Bisikan itu semakin membuatnya heran, kekasih? Apa mereka membicarakannya? Jika memang ucapan itu ditunjukkan kepadanya, maka itu artinya teman yang dimaksud bu Ira adalah……
“Selamat sore, Nayara”
Disanalah Jeanno Alexander, berdiri dengan jeans abu-abu dan kaos putih polos yang dibalut dengan jaket biru navy. Tengah duduk disofa ruang tamu asramanya. Melempar senyuman paling mempesona yang membuat matanya melengkung membentuk bulan sabit.
Senyuman yang sedikit menggoyahkan pendirian Nayara.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments