Jantung Chalinda semakin berdegup kencang. Rasanya jika tidak ada ibu dan guru bimbingan konseling di sampingnya, mungkin Chalinda sudah sangat lemas dan tak sadarkan diri.
Bu Diah selalu mengusap pundak Chalinda, memberikan murid perempuan itu ketenangan dan Chalinda sedikit merasa damai kala itu. Meskipun Chalinda juga merasa takut jika nantinya ayah dan ibunya akan marah besar kala mereka bertiga sudah berada di rumah.
"Jadi begini, Pak, Bu. Baru saja Chalinda mengatakan kepada Bu Diah dan juga saya jika dia telah mendapatkan perlakuan buruk dari salah satu guru kami, yaitu Pak Artha," ucap kepala sekolah menjelaskan dengan sangat lembut.
"Perlakuan buruk apa itu, Pak?" tanya Liya, rasa penasarannya membuat dia tidak sabar.
"Mohon untuk tetap tenang ya, Pak, Bu. Jangan ada emosi. Pak Artha ini ... dia melecehkan Chalinda, putri Pak Juna dan Ibu Liya."
Mendengar hal itu, sontak Liya beranjak dari kursi tempatnya duduk. Nafasnya tersengal-sengal karena emosi, dengan air muka yang menggambarkan amarah telah menguasainya, Liya menarik kerah seragam yang dikenakan Artha dengan sekuat tenaga hingga membuat laki-laki itu berdiri secara paksa.
"Kau apakan anakku, hah?!" tanya Liya dengan begitu emosi.
Artha seakan meminta Liya untuk sabar. Kedua tangan laki-laki itu diangkat setinggi bahu dengan posisi terbuka.
Tidak hanya Liya, bahkan Juna turut berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah Liya dan Artha.
PLAK!
Suara tamparan yang begitu keras itu seakan menggema di seluruh ruangan kepala sekolah yang tertutup itu.
Tangan kanan Juna terasa cukup panas setelah mendarat pada pipi kiri Artha. Juna yakin jika laki-laki itu juga merasakan hal yang sama pada pipinya.
"Pak, Bu, tolong jangan dulu emosi seperti ini," lerai Kepala Sekolah.
"Bagaimana saya tidak emosi, Pak?! Bagaimana jika saudara atau bahkan istri Bapak sendiri yang mengalami hal itu, ha?! Apa Bapak tidak sakit hati?!" bentak Liya, dengan air mata yang sudah mengalir pada kedua pipinya.
Kepala sekolah terdiam mendengar ucapan Liya. Memang tidak akan ada yang terima begitu saja jika kasusnya sudah seperti ini.
"Tapi, Bu, setidaknya sekarang kita tenang dulu agar kita bisa tahu semuanya." Kepala Sekolah tidak juga gentar.
"Bapak ini bagaimana?! Sudah sepatutnya pelaku pelecehan mendapatkan semua ini!" bentak Juna, tidak mau kalah.
"Pa, Bu, sudahlah. Kita bicarakan dulu," bujuk Chalinda, sembari menarik lengan ibunya.
"Kamu lagi, Chalinda. Kenapa kamu mau saja begitu? Makannya kalau pakai baju yang bener, yang tertutup!" bentak Liya.
Sungguh Chalinda merasakan sakit hati yang bertubi kala itu. Seakan dirinya di dunia ini sudah tidak lagi diharapkan oleh siapapun, bahkan masa depannya sudah hancur.
"Bu, sabar dulu, istighfar. Chalinda ini anak satu-satunya, kan? Kita harus menguatkan dia, Bu, dia adalah korban. Jangan salahkan dia." Bu Diah menengahi.
"Ini semua salah Pak Artha. Tanggung jawab kamu, Pak!" Kali ini Liya kembali berbicara dengan Artha yang masih terdiam.
"Sudah, sudah ... Pak Juna, Bu Liya. Kita bicarakan baik-baik, saya yakin Artha juga mau bertanggung jawab." Kepala Sekolah kembali berusaha untuk melerai.
Liya melepaskan kedua tangannya yang sedari tadi mencengkram kerah baju seragam Artha dengan kasar.
Semuanya kini sudah kembali duduk di kursi seperti semula. Ruang kepala sekolah beberapa saat hening.
"Jadi kita akan dengar dulu bagaimana kesaksian dari Chalinda, kemudian kita dengar juga kesaksian dari Artha. Silahkan, Chalinda," ujar kepala sekolah.
Kedua tangan Chalinda mengepal, dia benar-benar ketakutan untuk menceritakan semuanya dihadapan guru dan kedua orangtuanya.
Bu Diah yang mengerti dengan apa yang sedang Chalinda alami segera berada mengusap punggung murid perempuan itu.
"Tenang, santai, tarik nafas ... keluarkan. Ceritakan saja sebisamu, Cha," ucap Bu Diah memberi intruksi.
Chalinda menuruti apa yang dikatakan oleh Bu Diah. Rasa takutnya memang sedikit berkurang, namun rasa takut itu juga terus muncul.
"Pa--Pak Artha, melakukan itu saat les bahasa Inggris di rumahnya. Pada saat itu ... sedang hujan, da--dan Pak Artha melakukan itu. Aku ... aku benar-benar tidak bisa memberontak, Bu. Aku--"
Tangis Chalinda kembali pecah. Meskipun perempuan itu berusaha untuk terus menceritakannya, namun bibirnya seakan kelu untuk bicara. Chalinda sudah mengatakannya dalam hati, namun semua itu tidak terucap pada mulutnya.
Chalinda sudah benar-benar pasrah, yang bisa dia lakukan untuk mengungkapkan semua ini hanyalah dengan menangis.
"Baiklah, Chalinda. Bapak rasa cukup dan tidak masalah jika kamu tidak mau melanjutkannya lagi. Bapak mengerti apa yang kamu rasakan saat ini. Sekarang giliran kamu, Artha. Coba ceritakan kejadiannya menurut versimu," ucap kepala sekolah.
Chalinda menyandar pada bahu ibunya. Sementara Bu Diah terus mengusap punggung Chalinda untuk menenangkan murid perempuan itu.
"Memang semua ini salah saya--"
"Semua juga sudah tahu!" potong Liya dengan begitu emosi.
"Bu, tolong, beri waktu untuk Artha menjelaskan semuanya." Kepala sekolah berkata lembut.
Liya terdiam. Kedua matanya melirik sinis ke arah Artha yang masih terus menundukkan kepala.
"Maaf, Pak Juna dan Bu Liya, aku sudah menghancurkan kepercayaan kalian berdua," ucap Artha, tanpa ada sepatah kata balasan pun dari kedua orang tua Chalinda.
Artha melanjutkan, "Memang benar apa yang dikatakan oleh Chalinda. Aku memang sudah sangat kurang ajar dan tidak sopan terhadap muridku sendiri. Aku tidak bisa menahan hasrat yang sebenarnya sudah selalu aku pendam setiap kali aku dan Chalinda sedang melaksanakan les privat."
"Kurang ajar kamu, ya! Sama murid sendiri aja begitu. Ingat, usiamu beda jauh dari anak perempuanku. Dasar, manusia pedofil!" hardik Liya, dari tempat duduknya.
Artha masih terus menundukkan kepalanya.
"Maaf, Bu," lirih Artha.
"Sekarang kalau sudah kaya gini bagaimana?! Kamu harus bertanggung jawab!" bentak Juna.
"Sa--saya akan bertanggung jawab atas semua yang sudah saya lakukan, Pak, Bu. Saya tidak akan lari begitu saja," jelas Artha.
"Tapi Artha, perlakuan kamu ini sepertinya tidak bisa dimaafkan. Juga Chalinda, sekolah tidak menerima murid hamil sepertimu."
DEG!
Chalinda seakan disambar petir pada siang bolong. Dirinya sudah rusak, begitu juga masa depannya juga sudah hancur.
'Entah apa tujuan aku hidup di dunia ini. Lebih baik aku mati saja," batin Chalinda.
"Tapi, Pak, bisakah kita menyembunyikan semua ini? Ujian kelulusan sudah sebentar lagi, perut Chalinda juga belum terlihat membesar. Saya mohon dengan sangat, Pak, tolong bantu kami sampai Chalinda lulus." Liya mengiba.
Kepala sekolah tampak berpikir sejenak.
"Benar, Pak. Hanya selangkah lagi Chalinda akan lulus dari sekolah ini. Beberapa bulan saja, saya yakin orang-orang tidak akan menyangka jika Chalinda sedang hamil." Juna menambahi.
"Ujian memang sebentar lagi, hanya sekitar tiga bulan ke depan. Tapi bagaimanapun--"
BRAK!
Pintu ruang kepala sekolah terbuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments