Panggilan Wali Murid

"Jangan sembarangan kamu, Chalinda!" Artha berkata tegas meskipun masih dengan nada suara yang lirih.

Guru bahasa itu juga nampak sedikit mundur dan berupaya untuk menjauh dari Chalinda.

"Aku tidak sembarangan, Pak! Aku masih ingat betul apa saja yang sudah Pak Artha lakukan terhadap aku beberapa hari lalu. Bahkan sakitnya pun masih terasa!" Chalinda berusaha untuk tidak meneteskan air matanya saat itu, dia juga menahan rasa takutnya untuk kembali berbicara dengan guru yang sudah melakukan perbuatan buruk kepadanya.

Artha sedikit demi sedikit terus mundur dari Chalinda. Melihat hal demikian, Chalinda dapat memastikan jika Artha tidak akan mau bertanggung jawab atas apa yang sudah laki-laki itu lakukan.

"Jangan sembarangan kamu, Chalinda! Pak Artha yakin jika ini hanya tidak enak badan biasa, bukan berarti kamu sedang mengandung. Coba buktikan dulu, baru Pak Artha akan bertanggung jawab. Sudahlah, sudah lewat dua puluh menit dari waktu masuk, Pak Artha harus kembali ke kelas dan mengajar."

Tanpa menunggu jawaban dari Chalinda, Artha segera berjalan keluar dari ruang kesehatan. Guru laki-laki yang masih cukup muda itu nampak sangat terburu-buru dan sengaja meninggalkan Chalinda begitu saja.

Setelah kepergian Artha, beberapa detik kemudian dua anggota unit kesehatan itu kembali masuk ke dalam ruang kesehatan. Salah satu anggota dengan tubuh berisi mendekati Chalinda.

"Ini, diminum dulu, Kak. Siapa tahu enakan," ucapnya sembari menyerahkan satu gelas teh manis hangat.

Chalinda lebih dulu mengatur posisinya menjadi setengah terbaring. Dia kemudian menyesap teh manis hangat yang cukup menyegarkan tersebut. Beberapa menit saja dalam posisi demikian, Chalinda kembali merebahkan tubuhnya.

Satu jam berlalu dan bel sudah berbunyi dua kali menandakan sudah dua jam pelajaran semenjak jam istirahat selesai.

Kali ini Chalinda merasa tubuhnya sedikit enakan. Pening di kepalanya sudah tidak terlalu terasa, mual dalam perutnya juga sudah menghilang. Chalinda beranjak dari tidurnya.

"Eh, Kak, mau ke mana?" tanya anggota unit kesehatan yang kurus.

Chalinda menoleh ke arah anggota unit kesehatan itu. "Mau ke kelas, lagipula sudah agak mendingan."

Anggota unit kesehatan sekolah itu nampak menganggukkan kepalanya. Sekarang hanya ada dia sendirian yang ada dalam ruang kesehatan, entah kemana temannya yang lebih berisi itu.

"Maaf, aku nggak bisa nganter soalnya temanku lagi ke toilet," ucapnya tidak enak hati.

Chalinda tersenyum. "Nggak papa, lagian aku udah mendingan, kok. Ke kelas aja mah bisa."

"Yaudah, hati-hati ya. Semoga lekas sembuh."

Chalinda hanya tersenyum, kemudian kembali melangkahkan kedua kakinya keluar dari ruang kesehatan.

Melewati ruang bimbingan konseling yang bersebelahan dengan kantor kepala sekolah, Chalinda tiba-tiba ingin menceritakan permasalahannya.

Bercerita pada orang tua terlalu menakutkan bagi Chalinda. Tapi dengan guru yang sudah cukup dekat dengannya, Chalinda merasa lebih nyaman untuk bercerita tentang apa saja.

Dengan sedikit ragu Chalinda mulai melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Tampak tidak ada satupun guru yang ada dalam ruangan tersebut, padahal seharusnya ada tiga guru yang bekerja sebagai guru bimbingan konseling di dalam sekolahnya.

Pada saat Chalinda berpikir bahwa dirinya datang dalam waktu yang kurang tepat, tiba-tiba seorang guru nampak keluar dari toilet yang berada di dalam ruangan tersebut.

"Eh, Chalinda. Cari siapa, Nak?" tanya Bu Diah, guru yang kebetulan sudah kenal dekat dengan Chalinda.

Melihat keberadaan Bu Diah, Chalinda seketika merasa begitu gugup. Niatnya beberapa menit yang lalu untuk bercerita pada guru bimbingan konseling perlahan-lahan sirna. Menyisakan keraguan dan ketakutan yang ada dalam diri Chalinda.

Tubuh Chalinda bergetar dan Bu Diah mengetahui hal tersebut.

"Eh, duduk dulu, Chalinda." Bu Diah turut duduk di atas kursi kerjanya.

Perlahan Chalinda mendekat ke kursi yang ada di depan meja kerja Bu Diah. Entah keputusannya benar atau tidak, tapi Chalinda masih merasa takut untuk menceritakan kejadian buruk nan memalukan itu.

Merasa ragu dan takut, Chalinda bahkan tidak merasakan jika air mata mulai mengalir dari ujung netranya.

"Kamu kenapa, Chalinda? Apa yang sudah terjadi? Ibu tutup pintu dulu, ya, biar kamu bisa lebih leluasa untuk bercerita."

Bu Diah beranjak dari duduknya sementara Chalinda semakin jatuh dalam kesedihan dan tangisan. Tubuh Chalinda semakin bergetar, nafasnya terasa sesak. Chalinda merasa belum tepat untuk menceritakannya sekarang.

"Se--sepertinya Chalinda hamil, Bu. Pak Artha melakukannya Sabtu sore dua Minggu yang lalu saat les bahasa."

Setelah dibujuk dan ditenangkan, akhirnya Chalinda berani untuk mengatakan yang sejujurnya di hadapan Bu Diah.

Pada saat itu juga, Artha segera di panggil ke ruangan. Chalinda semakin merasa takut, tapi Bu Diah selalu menenangkannya.

Tes kehamilan juga dilakukan saat itu juga. Kebetulan salah satu guru membawa alat tes kehamilan yang baru dia beli tadi pagi dan akan digunakan sore sepulang mengajar.

Dengan bantuan Bu Diah, Chalinda melakukan tes kehamilan. Kepala sekolah, Bu Diah selaku guru bimbingan konseling, Artha, dan Chalinda bersama menanti hasil dari alat tes tersebut.

Setelah beberapa menit kemudian, terlihat ada dua garis dalam alat tes kehamilan tersebut.

Chalinda menangis merasa masa depannya telah hancur dan tidak ada harapan lagi.

"Artha, apa yang sudah kamu lakukan terhadap muridmu sendiri! Kamu itu wali kelasnya, bahkan orang tuanya juga mempercayakan kamu sebagai guru lesnya. Kenapa kamu tega terhadap muridmu sendiri!" Kepala sekolah tampak murka kepada salah satu bawahannya.

Sementara itu Artha hanya menundukkan kepalanya terus menerus, tidak ada keberanian untuk menyanggah ucapan kepala sekolah.

"Mulai saat ini, kamu saya pecat!" ucap kepala sekolah itu lagi.

"Ta--tapi, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab, tapi tolong sembunyikan hal ini sebentar saja hingga dia melahirkan. Saya masih harus mengumpulkan uang untuk biaya persalinan dan kebutuhannya," ujar Artha mengiba.

Chalinda terus menangis, bahkan kali ini air mata yang keluar dari ujung netranya semakin deras mengalir di kedua pipi. Tidak henti-hentinya Bu Diah menenangkan hati murid perempuannya.

"Bu Diah, hubungi orang tua Chalinda saat ini juga. Kita harus membicarakan hal ini sekarang."

Bu Diah beranjak dari sebelah Chalinda, namun dengan segera Chalinda menahan Bu Diah agar tidak menelepon kedua orang tuanya.

Sembari menggenggam lengan Bu Diah, Chalinda menggelengkan kepalanya. "Jangan sampai orang tuaku tahu, Bu."

"Maaf, Cha. Tapi tidak bisa, kita harus selesaikan ini semua. Ibu yakin Ayah dan Ibumu juga tidak akan marah. Ibu akan berbicara dengan tenang, kamu jangan takut, ya," ujar Bu Diah, meyakinkan dan menenangkan Chalinda.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya kedua orang tua Chalinda sudah sampai di sekolah. Mereka langsung menuju ruang kepala sekolah.

Beberapa murid teman sekelas Chalinda yang penasaran nampak membuntuti langkah orang tua Chalinda, begitu juga dengan Martha dan Daphnie.

"Ada apa ini, Pak, Bu?" tanya Liya.

Ibu dari Chalinda itu nampak begitu cemas kala melihat anak gadisnya duduk di ruang tamu yang ada dalam kantor kepala sekolah.

"Silahkan duduk, Pak, Bu, biar kami jelaskan apa yang telah terjadi," ucap kepala sekolah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!