Matahari di hari senin telah muncul. Richi telah melewati hari libur dengan berleha-leha di atas ranjangnya dan membaca deretan huruf di novelnya. Walau setiap satu jam sekali ia pasti kena sembur Ibunya yang resah melihat anak gadisnya tidak mau bergerak hanya sekedar mengambil air dan makanan, Ia meminta Sunny yang menyediakan.
Wajah Richi lesu mengingat ia harus menginjakkan kakinya di gedung lima tingkat itu. Dia bahkan tidak bisa menerka apa yang akan dilakukan lelaki sialan itu nanti. Belum lagi pandangan kumpulan orang-orang bodoh yang mengagumi lelaki itu. Entah apa yang mereka kagumi dari Hugo.
'Dia tampan dan berkharisma, Richi. Kau yang seperti lelaki ini tidak akan mengerti!'
Begitulah yang sering diucapkan Greta. Walau tidak akrab, mereka saling mengenal sejak kecil karena rumah mereka yang saling berdekatan.
Richi menutupi kepalanya dengan hoodie sebelum turun dari mobilnya. Selain cuaca yang memang terlihat agak gelap, ia memakainya juga untuk menyembunyikan wajah akibat gosip yang menerjang ketenangannya.
Nah, kan. Benar saja. Baru saja dia turun, bola mata orang-orang penggila Hugo sudah seperti menyeruduknya.
"Itukah pacar kak Hugo?"
"Benarkah?"
"Apa tidak salah?"
"Ah yang benar saja"
"Apa dia mengancam Hugo kita?"
"Apa dia tidak sadar diri?"
'Huuaaaah, apa-apaan kalian ini! Aku bisa dengar, Tahu!'
Dia enggan berlama-lama. Langsung berjalan cepat ke lantai dua dimana kelasnya berada.
Namun saat menaiki anak tangga, dia berpapasan dengan Hugo dan teman-temannya. Dia sempat menegang, berdiri disana. Begitu juga mereka yang langkahnya terhenti.
"Minggir!" Sentaknya namun suara yang dipelankan.
Hugo tersenyum miring. "Silakan, sayang." Katanya sambil membuka jalan untuk Richi lewat.
Richi berlalu begitu saja tanpa melihat ke belakang.
Orang-orang disekitar memandang bingung. "Mungkin mereka sedang bertengkar." Ucap mereka diam-diam.
Richi tidak keluar kelas. Entah hanya perasaannya saja, tetapi cewek-cewek yang lewat dari kelasnya mengambil kesempatan melihat ke arahnya duduk. Membuatnya sulit berkonsentrasi.
"Richi.. hiks." Greta menarik kursi dan duduk di dekat Richi yang sejak tadi menidurkan wajahnya di atas meja menghadap jendela dan menutup kepalanya dengan hoodie putih miliknya.
Richi membalikkan kepalanya menghadap Greta dengan tatapan malas.
"Jelaskan. Kenapa kau bisa pacaran dengannya. Kenapa kau mengkhianatiku. Kau, kan tahu, aku naksir Hugo dari kelas satu". Greta merengek tak terima kalau Hugo punya pacar. Padahal Hugo sendiri yang mengatakan tidak mau berpacaran lagi. Ternyata dia berbohong.
"Aku kalah taruhan." Richi ingin bilang ke orang-orang kalau dia pacaran karena terpaksa. Toh, mereka tidak punya kesepakatan lainnya.
Greta mengangkat kepalanya. Melihat Richi dan memasang telinga dengan jelas. "Taruhan? Kau taruhan apa?"
"Kau dekat kan, dengan dia. Sana, bilang ke Hugo, kau saja yang jadi pacarnya."
"Hugo bahkan tidak mau membuka mulut." Greta melemaskan tubuhnya tanda dia bersedih atas sikap Hugo.
Richi menghela napas atas ketidak pintaran Greta. Kalau sudah tahu lelaki itu tidak suka, kenapa harus merendahkan diri mengemis seperti itu. Sampai sekarang Richi heran. Apa yang para siswi ini gilai dari Hugo? Hah, entahlah.
...🏀...
Hugo dan yang lain bermain basket pada jam istirahat kedua. Semenjak gosip beredar, Hugo memang sudah jarang mendapat surat atau hadiah dari para penggemar. Itu sedikit melegakannya. Ternyata gosip itu benar-benar mempengaruhinya.
Namun sepertinya, karena para siswi tidak pernah melihat Richi dan Hugo bersama, cewek-cewek sekolah mulai mendekati Hugo lagi. Mereka berprasangka, gosip itu memang salah.
"Hugo, kenapa pacarmu tidak ikut main?" Tanya Frans. Salah satu teman Richi yang selalu bermain dengannya. Ia bertanya sekaligus memastikan apakah diantara mereka memang ada hubungan.
"Aku juga tidak tahu." Jawabnya cuek sambil memasukkan bola ke ring.
Mendengar itu, sepertinya keyakinan Frans benar adanya, bahwa mereka memang tidak berpacaran. Pasalnya, Richi memang tidak pernah membahas laki-laki jika berkumpul dengan mereka. Saat ditawari pun, Richi bereaksi cuek.
Beberapa kali Frans mendatangi Richi ke kelasnya. Tapi Richi hanya melambaikan tangan tanda tidak mau ikut bermain. Padahal, Frans melihat Richi hanya tiduran saja.
Mereka sedikit heran, biasanya Richi hampir tidak pernah menolak diajak bermain basket. Tapi beberapa hari ini, batang hidungnya bahkan tidak muncul di mana-mana. Nampaknya anak itu hanya datang dan pulang saja. Bahkan ia tidak masuk ke kantin untuk sekedar membeli minuman.
Sepulang sekolah, saat seluruh kelas benar-benar kosong, Richi mulai melangkah keluar kelas. Dia berjalan sambil menghitung kotak-kotak di lantai. Samar-samar ia mendengar decitan sepatu. Dia melihat teman-temannya tengah bermain basket
Lalu, ada satu orang berbadan tinggi yang wajahnya tidak ia kenali.
Tap tap tap
Bola memantul-mantul ke arahnya dan menangkap bola basket dengan tangannya.
"Richi.. astaga. Kau kemana aja?" Erick berlari ke arahnya.
"Hei, Richi. Ayo main lagi. Dasar kau, ya!" Teriak yang lain.
'Ah teman-teman. Aku memang rindu bermain.' Batin Richi sedih.
Seseorang yang wajahnya tidak dikenal hanya berdiri menatap Richi. Dia mungkin sedang bingung, kenapa gadis itu diajak bermain. Apa dia pemain basket?
"Richi. Pakai ini." Frans memberinya sebuah tas kecil. "Baju basket. Cepat ganti." Tangannya ia kibas-kibaskan menyuruh Richi cepat pergi.
Richi meletakkan tasnya dan berganti pakaian.
Setelah berganti, dia dikenalkan oleh orang baru.
"Ri, kenalkan, ini kak Emer. Kau kenalkan, Ketua Osis kita yang selama ini ikut pertukaran pelajar." Kata Erick kepada Richi.
Richi mengangguk.
"Emerald Valter" Katanya sambil mengulurkan tangan.
Tubuhnya yang tinggi membuat Richi mendongak. Ia menyambut tangan panjang Emer.
"Richi Wiley" ucapnya singkat.
"Kak, jangan sepelekan dia. Dia ini hebat". Ujar Erick mengenalkan lebih dalam.
"Benarkah?" Emer tersenyum menatap Richi.
"Jangan naksir, kak. Dia ini tidak suka lelaki." timpal Frans mengejeknya.
"Sialan kau, Frans". Maki Richi di iringi tawa semua orang yang ada disitu.
"Sepertinya hanya dirimu perempuan yang bermain basket di sekolah ini." Tukas Emer. mengingat sekolah ini menjadi ajang kecantikan bagi cewek-ceweknya.
"Iya kak, benar. Makanya sejak awal aku sudah bergabung dengan mereka". Jawab Richi ramah.
Emer memperhatikan wajah Richi dengan seksama. Wajahnya sangat cantik dan senyumannya sangat manis. Hanya saja, gadis ini bukan tipikal yang ramah. Makanya, senyum manis itu benar-benar tersembunyi.
Mereka bermain seperti biasa. Emerald melihat Richi memang bukan sembarang. Dia lincah dan larinya juga cepat. Badannya yang kurus tinggi membuatnya hampir setara dengan teman laki-lakinya.
Emerald memperhatikan Richi yang sedari tadi berbincang dan tertawa dengan teman-temannya. Wajah Richi yang penuh keringat terlihat sangat cantik dimatanya. Bajunya pun sudah basah. Sesekali Richi menenggak minuman botol di tangannya.
"Richi. Kau jago sekali." Emer mengacungkan jempolnya ke arah Richi.
"Jago, apanya! aku tidak ada apa-apanya di banding kakak." Sanggahnya lalu tergelak.
Ada sedikit getaran saat melihat gadis itu. 'Gadis ini tidak biasa. Dia jago bermain basket. Keren sekali.' Batin Emerald sambil Sesekali melirik Richi yang terbahak-bahak mendengar lelucon temannya.
To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 288 Episodes
Comments
FR
saingan Hugo haha
2023-12-04
0
Qaisaa Nazarudin
Waahh Ada yg kebakaran jenggot beneran kayaknya setelah ini,,
Emer walaupun baru kenal Richi tapi dia bisa menyimpulkan Richi itu irgnya seperti apa 👍🏻👍🏻👏🏻👏🏻👏🏻
2023-05-07
1
Sandrie
penuh kebuncinan karya author Alfajry,,suka🥰🥰🥰
2022-09-20
1