Setelah menyerahkan kunci mobilnya pada satpam, Deva segera berlari mendekati mesin absen fingerprint. Jangan sampai dia terlambat lagi. Bulan ini, sudah empat kali dia datang lebih dari waktu yang ditetapkan. Sekali lagi mengulangi, surat peringatan akan turun untuk pertama kali. Deva yang perfeksionis, tentu saja tidak ingin kalau karier nya yang mulus ternodai dengan satu surat peringatan.
"Syukurlah!" Deva menarik napas lega, ketika melihat layar kecil di mesin tersebut menunjukkan angka 07.59 waktu Indonesia Barat.
"Nyaris telat, Dev?" Suara tanya seseorang membuat Deva menoleh ke arah sumber suara yang kini bersamaan masuk ke dalam lift khusus menuju lantai 36. Tempat di mana ruangan untuk pegawai managerial berada.
"Nyaris, Pak." Deva melemparkan senyuman pada Tino---CEO yang menjadi atasannya selama ini.
"Sepertinya, kamu pantas mendapatkan hadiah dariku, Dev. Hampir empat tahun kita bekerja bersama, kamu cukup meringankan kerjaanku. Ide-ide kamu juga selalu keren. Mencerahkan banget. Sayang, satu bulan ini memang bukan waktu terbaikku. Siapa pengkhianat di antara orang dalam kita, aku benar-benar tidak tahu. Yah... semoga saja, CEO yang baru nanti, bisa memberikan pencerahan lebih cepat," keluh Tino sembari melangkahkan kaki keluar lift. Deva mengikutinya di belakang.
"Apa Pak Tino mengenal dia? Apa dia sebaik Pak Tino?" Deva tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Tino menghentikan langkahnya. Lalu menoleh sebentar ke arah Deva. "Aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak berniat ingin mencari tahu."
Pembicaraan Deva dan Tino berakhir di sana. Keduanya berpisah dan masuk ke ruangan masing-masing. Deva langsung menenggelamkan diri ke dalam tumpukan file yang harus segera dia bereskan. Dia hanya sesekali berkomunikasi dengan Tino melalui sambungan telepon internal.
Hingga resepsionis menghubunginya, dan memberi tahu jika ada seseorang yang ingin menemuinya. Sebenarnya Deva enggan untuk menemui tamu tersebut, namun waktu yang bertepatan dengan makan siang, membuatnya berpikir praktis. Dia akan turun ke lobby menyapa tamunya, sekalian makan siang di kantin.
Melewati ruangan Tino, dia melihat atasannya itu masih serius berkutat dengan laptop di atas meja. Sebagian sisi ruangan yang terbuat dari kaca, membuat siapa pun yang lewat bisa melihat apa yang dikerjakan orang yang berada di dalam ruangan dengan jelas.
"Pak Tino tidak makan siang?" tanya Deva, sesaat setelah membuka pintu ruangan sang atasan.
Tino menghentikan pergerakan jemarinya di atas keyboard laptop. "Kamu duluan saja, Dev. Ehmmm... Kalau tidak keberatan, belikan saja makanan seperti biasa."
"Siap, Pak!" Deva langsung melesat meninggalkan ruangan.
***
Sampai di lobby, langkah Deva yang tadinya bersemangat, kini semakin pelan. Meski sosok itu memunggunginya, jelas dia hapal betul setiap sisi luar dari tamu yang enggan menyebut namanya saat ditanya resepsionis.
Rasa hati Deva ingin menghindar. Namun rupanya sosok itu terlanjur melihatnya dari pantulan bayangan yang ditampilkan tiang pancang bangunan berlapis kaca.
"Boleh ngobrol sebentar?" Tanya tamu yang tidak lain adalah Dave.
"Kalau pun aku tidak mau, pasti kamu akan memaksa bukan? Jadi bicara saja seperlumu. Langsung pada masalah. Aku sedang sangat sibuk." Deva melangkah menuju sebuah ruangan berpintu di sudut lobby. Ruangan khusus untuk menerima tamu yang tidak terlalu penting.
Dave mengikuti gadis yang masih sangat dia cintai itu dengan kepala sedikit menunduk. Meski sudah tujuh tahun menjalin hubungan dengan Deva, tapi ini pertama kali Dave menginjakkan kaki di kantor Diamond Corp---perusahaan tempat Deva bekerja. Selama ini, Dave lebih sering menjemput atau mengantar mantan kekasihnya itu sampai di lobby saja.
"Aku minta maaf," ucap Dave. Benar-benar langsung pada tujuannya.
Deva menatap Dave begitu tajam. Akan tetapi mulut gadis tersebut mengatup rapat. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Tentu saja membuat Dave semakin merasa bersalah dan salah tingkah. Deva mendudukkan dirinya di sofa single. Dave pun melakukan hal yang sama.
"Bee, Aku minta maaf. Karena aku tidak bisa menolak permintaan mama dan papa. Begitu banyak kebaikan yang aku terima dari mereka. Bahkan mungkin pengorbanan ini tidak akan mampu untuk membalas kasih sayang dan ketulusan mereka. Jika kamu ada di posisiku, apa yang akan kamu lakukan Bee?"
Dave mencoba mengajak Deva memahami posisinya. Bagi sebagian besar orang di luar keluarga dekatnya, Dave adalah putra tunggal dari Fira dan Agas. Kenyataannya, Dave hanyalah anak yang diadopsi dari sebuah yayasan panti asuhan sejak masih usia nol hari.
"Bee, apa menurutmu aku memang salah? Apa aku ini memang pantas menerima kebencianmu seperti ini?" Dave kembali bertanya. Kali ini dengan suara yang begitu lirih, dan tatapan yang menyiratkan keputus asaan.
"Aku harus melihat dari sisi mana? Kamu sudah mempunyai jawaban sendiri bukan? Semua juga sudah terlanjur terjadi. Apa pentingnya ada maaf atau tidak dari aku. Jika kamu menganggap itu sebagai tanda pengabdianmu sebagai seorang anak, aku bisa apa? Itu bener kok. Keputusanmu tidak salah. Mama Fira dan Papa Agas juga tidak salah." Deva berbicara dengan nada dan ekspresi yang sama sinisnya.
"Setidaknya kamu ngerti, Bee, aku menerima karena terpaksa. Kita pun sama-sama tahu kalau kejadian semalam sungguh diluar rencana dan kendali kita. Tapi kembali pada hati nurani kita, Bee, apakah pantas? Aku yang hanya anak pungut ini, mempermalukan orang yang sudah menyayangi dan membesarkanku?"
Dave kembali berusaha membuka pikiran Deva. Mencari celah agar perempuan tersebut memaklumi dan tidak membencinya terlalu dalam.
Deva menyunggingkan senyuman tipis. "Aku terima penjelasanmu. Kita sudah selesai bukan? Semoga hubunganmu dan Dira berjalan lebih baik dari hubungan kita. Semoga kalian berdua bahagia."
Perempuan itu beranjak berdiri, lalu melangkahkan kaki keluar ruangan. Baru satu langkah, Dave dengan cepat menahan pergelangan tangan Deva. Tanpa aba-aba, Dave memeluk gadis tersebut dari belakang.
"Lepaskan aku, Bang, tolong! Semua terjadi begitu cepat. Biarkan aku menikmati kesendirianku. Aku akan berusaha menerima semuanya. Mungkin memang kita tidak berjodoh," lirih Deva.
Dave semakin mengeratkan pelukannya pada Deva. Sesaat kemudian, laki-laki itu memejamkan matanya, merasakan wangi lembut yang khas dari rambut dan tubuh Deva.
"Aku janji tidak akan berpaling pada hati siapa pun, Bee. Milik siapa pun ragaku, hatiku hanya dan cuma untuk kamu." Dave mengecup pundak Deva penuh perasaan.
"Lepaskan aku, Bang. Sekarang sudah ada hati lain yang akan menjadi prioritasmu. Jangan bersikap seolah aku tidak akan tergantikan. Semoga kalian bahagia."
Deva melepaskan tangan Dave dengan paksa. Dia berlari secepat mungkin dari ruangan itu. Langkahnya tidak menuju kantin, tapi malah ke arah luar lobby. Dave bergeming, bukannya segera mengejar Deva, laki-laki itu malah memilih kembali duduk untuk menenangkan pikirannya sejenak.
***
Tanpa melihat ke sisi kanan terlebih dahulu, Deva menyebrang begitu saja. Decitan suara ban yang dihentikan mendadak, sesaat memekakkan telinga semua orang yang berada di sekitar lobby. Sementara Deva hanya bisa berdiri terdiam dalam keterkejutan, posisinya satu langkah saja dari bagian kap depan mobil premium hitam yang baru saja memasuki beranda lobby.
"Shitt ... Dasar perempuan tidak waras!" Pengendara mobil itu mengumpat sembari memukul kemudi mobilnya. Sesaat dia ingin menunggu reaksi perempuan yang melintas tiba-tiba tersebut.
Di luar dugaan, bukannya menghampiri mobil yang dibuatnya berhenti mendadak, Deva malah meneruskan langkah kakinya.
Si pengendara mobil seketika bergegas turun, dan dia pun meneriaki Deva. "Hei ... jangan lari kamu. Pembawa sial! Berhenti!"
Deva hanya menoleh sekilas, tanpa rasa bersalah sedikit pun, gadis itu malah menjulurkan lidah dengan santainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
Siti Fatimah
harap maklum aja lah babang orang lg stres.
2023-01-29
0
Diii
deva lagi stres bang....diamkan saja
2022-12-16
0
Cakcakdilejing
menyimak sambil di like....
lumayan....
susah cari cerita yang sampai ke hati
2022-12-06
0