Deva mengunci pintu rumahnya sedikit terburu-buru. Pagi ini, dia ingin datang lebih awal di kantornya. Beberapa hari ke depan, akan terjadi pergantian CEO. Dia tidak mau sampai menjadi sasaran empuk disalah-salahkan, jika ada pekerjaan tertunda atau tidak jelas. Sebagai asisten pribadi CEO lama, tentu dialah yang akan menjadi tempat bertanya atau bahkan sangat mungkin menjadi sasaran kemarahan dari CEO baru. Pasalnya, satu bulan terakhir ini, perusahaan mengalami kerugian yang cukup dratis.
"Boleh Mama berbicara sebentar, Dev?"
Deva seketika memutar badan ke arah sumber suara yang terdengar sangat familiar di telinganya. Dia pun menarik napas berat. Terlanjur bertemu, dan didatangi pula. Walaupun dengan berbagai alasan, menolak dan menghindar bukanlah hal yang sopan.
"Mama tahu kamu pasti akan berangkat kerja. Hanya sebentar, Dev. Mama janji." Fira mengulang sekali lagi permintaannya.
"Silahkan, Ma."
Deva berniat membuka pintu rumahnya kembali, namun Fira menahan tangan gadis tersebut agar tidak memasukkan anak kunci ke lubangnya.
"Kita duduk di sana saja," Fira menunjuk kursi ukiran kayu di sisi kiri beranda rumah Deva.
Fira menggandeng tangan Deva, mengajak mantan kekasih anaknya itu duduk di kursi terpanjang.
"Langsung saja, ya. Sepertinya kamu juga terburu-buru. Mama mau minta maaf sama kamu, Dev. Mama dan papa terpaksa menerima tawaran orangtua Dira untuk menjodohkan Dave dengan Dira. Papa Agas mengalami masalah yang kurang lebih sama dengan papamu. Kamu tahu sendiri, kesehatan papa sudah sangat menurun akhir-akhir ini. Kalau pun Tuhan tidak memberikan umur panjang, setidaknya papa tidak berakhir di bui." Fira menjeda penjelasannya sebentar.
Deva bisa melihat dengan jelas wajah Fira yang sendu dan menyembunyikan beban. Namun dia tetap memilih untuk tidak memberikan reaksi apa pun. Menunggu penjelasan Fira lebih lanjut adalah pilihannya.
"Mama tidak mau melihat papa menderita di dalam ruangan sempit dan pengap. Kejadian mamamu cukup memberi pelajaran pada kami. Mamamu yang hebat saja tidak kuat, Dev. Apalagi Mama yang lemah ini. Tolong maafkan Mama dan papa! Jangan membenci kami atau pun Dave. Kalian masih bisa bersahabat bukan? Atau bahkan menjadi saudara. Jangan jauhi Dave. Jika kamu menjauh terlalu cepat, Dave pun akan hancur."
Deva menarik dua ujung bibirnya ke atas, membentuk garis senyuman tipis yang sepertinya sedikit dipaksa. Dia meraih tangan Fira dan menggenggam tangan itu dengan memberikan rasa sayang yang masih tersimpan utuh untuk calon mertuanya yang gagal itu.
"Deva butuh waktu, Ma. Deva bukan malaikat yang bisa menerima keadaan begitu saja tanpa rasa sakit hati. Deva dan Bang Dave menjalin hubungan yang tidak sebentar. Kalau Deva bisa menerima keadaan ini begitu saja, lalu apa arti hubungan kami selama ini?"
Fira mengangguk dan membalas senyum Deva tak kalah lembut. "Mama tahu, Dev. Setidaknya, Mama sudah menjelaskan pada kamu. Jika jodoh, pasti jalan kalian dimudahkan. Mungkin apa yang dialami Papa Agas adalah pertanda, jika kalian memang tidak bisa bersama."
Deva melepaskan genggaman tangannya dari tangan Fira. Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Deva sedang berusaha meredam emosi kesedihan yang sebenarnya sudah membuncah. Sebagai manusia biasa, tentu dirinya ingin sekali mengeluarkan sumpah serampahnya pada kehidupan yang semakin lama semakin jelas tidak adil padanya.
Papa Deva--Amar--sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama salah satu perusahaan milik negara, di vonis sembilan tahun penjara karena kesalahan kebijakan yang dibuatnya. Di mana kebijakan itu dinyatakan merugikan negara dengan nominal yang fantastis. Tidak ada satu barang bukti atau saksi yang bisa meringankan Amar dari tuntutannya. Jangankan seratus ribu, padahal seperak pun Amar tidak menikmati uang yang dimaksud dalam tuntutan.
"Deva harus berangkat, Ma. Deva takut kesiangan. Maaf." Tanpa bermaksud tidak sopan, Deva berpamitan pada Fira. Dia mencium punggung tangan Mama Dave tersebut, lalu bergegas masuk dan langsung mengendarai mobil Honda Jazz hitam miliknya dengan perlahan. Dari spion tengah, Deva bisa melihat sosok Fira masih mematung menatap mobilnya dengan tatapan kosong.
***
Deva memelankan laju kendaraannya begitu dia sudah mendekati gedung perusahaan tempatnya bekerja. Namun tiba-tiba dia merasakan mobilnya terdorong ke depan hingga jarak beberapa meter, disertai suara benturan keras antar besi di bagian belakang mobilnya.
Dengan sigap, Deva menarik hand rem dan menginjak rem mobilnya. Setelah memastikan kendaraan lain yang akan melewatinya masih jauh, dia pun segera keluar dari mobilnya.
Pandangan matanya langsung fokus pada bagian depan kendaraan sedan hitam yang tergolong premium menempel sempurna di bumper belakang mobilnya.
Deva mempercepat langkah kakinya. Tidak sabar ingin memastikan apa yang menjadi dugaannya tidaklah salah. Bersamaan dengannya, pengemudi dari mobil yang menabraknya pun berjalan mendekati objek yang sama.
"Astaga!" Deva langsung memegangi lampu sein belakang kirinya yang pecah. Meneliti lebih jauh, bumper di dekat sein pun penyok.
"Kamu lagi, kamu lagi. Setiap bertemu kamu, aku selalu terkena sial," dengus si penabrak sembari menatap Deva yang tidak juga membalas tatapannya.
"Saya? Sepertinya Anda salah orang." Deva melirik sekilas laki-laki tampan yang mengajaknya bicara. Lalu kembali mengambil foto mobilnya yang mengalami kerusakan menggunakan kamera ponsel.
"Wah, bener-bener. Semalam kamu baru saja menabrakku di lobby hotel. Sekarang kamu pura-pura lupa."
Deva mengernyitkan keningnya. Pura-pura mengingat-ingat sembari menatap pria di depannya dengan tatapan menyelidik.
"Sepertinya Anda salah orang, saya tidak pernah mengenal Anda," Deva kembali berjalan menuju pintu mobilnya.
"Tunggu dulu! Kamu tidak sopan sekali. Bukankah mobilku menabrak mobilmu?" Si Penabrak mengejar Deva.
"Terus?" Deva menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
Laki-laki itu menambah langkahnya ke depan, hingga dia bisa berhadapan dan beradu pandang dengan Deva.
"Apa kamu tidak normal? Seharusnya kamu meminta ganti rugi padaku. Atau setidaknya kamu marah-marah sedikit."
Deva menggelengkan kepala seraya tersenyum sinis pada si lelaki penabrak. Terlihat begitu santai. Hingga membuat pria tersebut menjadi penasaran, kesal sekaligus keki.
"Saya sangat normal. Saya tidak akan meminta ganti rugi pada Anda. Urusan kita selesai sampai di sini."
Deva hendak membuka pintu mobilnya. Tapi pria tadi ternyata bergerak lebih gesit. Dia dengan santai bersandar di pintu mobil Deva.
"Apa lagi? Bukankah saya sudah mengatakan urusan kita selesai?" Deva melirik jam di pergelangan tangannya. Sepuluh menit lagi, dia akan terlambat absensi.
Si penabrak menyodorkan kartu nama pada Deva. "Berapa pun yang kamu habiskan untuk memperbaiki mobilmu. Silahkan hubungi aku. Seumur hidup, aku tidak pernah melalaikan tanggung jawab pada kesalahan atau kekacauan yang aku buat. Jadi jangan menjadikanku pengecut untuk pertama kali,"
Deva menerima kartu nama itu, membaca sekilas, lebih tepatnya, hanya nama saja yang dia baca.
"Saya pikir merogoh dompet untuk memberi uang, ternyata hanya memberi kartu nama. Bilang saja mau kenalan. Modus pria berkemeja memang sangat halus. Tapi maaf, saya punya asuransi untuk mengcover kerusakan mobil saya. Saya tidak mau memperpanjang urusan kita, Pak Dewa. Terimakasih atas niat baiknya, permisi."
Deva mendorong sedikit tubuh Dewa agar menyingkir dari pintu mobilnya. Lalu dia segera masuk dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi.
"What? Siapa dia? Sombong sekali! Apa dia tidak melihat ketampanan di wajahku? Dia harusnya juga tahu level kemapananku dari kartu nama tadi. Sepertinya dia memang sedang depresi." laki-laki yang memang bernama Dewa itu mengumpat sendiri seperti orang yang tidak waras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
Siti Fatimah
pasti dewa ini lah nanti pengganti ceo di kantor deva.
2023-01-29
1
???
terbiasa dgn pujian dan kekaguman para gadis tentu saja Dewa gk terima klo dicuekin Deva😂
2022-11-27
0
rista_su
oooo jadi si bapak rada" ngerasa kekerenannya menurun drastis karna mbaknya tidak minat sama sekali sm bapak. 😆
2022-11-10
1