Sisa Rasa
Seorang Gadis dengan wajah sumringah memutar badannya ke kiri dan ke kanan di depan cermin. Menatap pantulan bayangan serupa dengan dirinya tanpa rasa bosan. Kekaguman berbalut syukur terpancar jelas dari sorot matanya. Tuhan memang menitipkan kecantikan dan keindahan yang luar biasa pada tubuh itu.
Deva namanya, dia sedang bersiap menghadiri undangan makan malam dari keluarga kekasih hatinya yang bernama Dave. Hati perempuan berusia dua puluh empat tahun itu sedang berbunga-bunga. Pesan singkat yang dikirim Dave agar Deva memakai gaun cantik dan datang ke sebuah ballroom hotel bintang lima, meninggikan harapan perempuan tersebut. Tujuh tahun menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, membuatnya yakin, jika malam ini, Dave akan mengajak dirinya untuk menaikkan level hubungan ke jenjang yang lebih serius.
"Sudah cantik ... berangkat yuk! Jangan sampai telat!" Deva berbicara pada dirinya sendiri sembari menyambar kontak mobil kesayangan yang dibelinya secara kredit.
***
Sampai di lobby sebuah hotel berbintang lima, Deva langsung menghubungi Dave melalui pesan singkat. Sebelum keluar dari mobil, gadis itu kembali bercermin melalui sun visor untuk memastikan penampilannya benar-benar sudah sempurna.
Deva meminta petugas valley untuk memarkirkan mobilnya. Lalu dia berjalan dengan anggun menghampiri Dave yang baru saja muncul. Pria itu menyambutnya dengan senyuman khas yang mempesona. Dengan bergandengan tangan, Deva dan Dave melangkahkan kaki menuju sebuah room yang sudah di pesan oleh keluarga Dave.
"Cantik ," puji Dave dengan suara setengah berbisik.
"Benarkah?" Deva menoleh pada Dave dengan tatapan lembut penuh cinta.
"Benar, Bee. Aku bersyukur memilikimu. Kamu tidak hanya cantik, tapi juga baik, sabar, dan selalu tegar. Aku tidak pernah bosan untuk mengagumimu." Dave mengusap punggung tangan Deva.
Keduanya memang pasangan yang selalu terlihat romantis. Hubungan berjalan manis dan dewasa. Bukannya ujian tidak pernah datang, hanya saja, kesetiaan masing-masing, memang sulit untuk digoyahkan. Mereka juga pernah cemburu, kesal, dan marah satu sama lain.
Memasuki sebuah ruangan yang lumayan luas, jantung Deva seketika berdetak kencang. Bahagia sekaligus deg-deg'an. Pandangan mata gadis itu langsung tertuju pada backdrop yang ada di tengah dinding bagian depan. Bunga Tulip putih berpadu dengan dedaunan hijau, ditata begitu apik membentuk bingkai persegi panjang ukuran besar. Tepat ditengahnya, terdapat ornamen dari kertas hias berbentuk sepasang burung merpati yang sedang menghinggapi sangkar bertuliskan 'D & D.' keyakinan Deva akan ada kejutan untuknya semakin tak terbendung.
Empat buah meja persegi, masing-masing dilengkapi bangku hanya untuk empat atau lima orang, tertata rapi dengan jarak agak saling berjauhan. Nuansa putih berpadu hijau, sungguh memberikan kesan segar, damai dan tenang.
Fira---mama Dave dan Agas---papa Dave, baru saja memasuki ruangan, keduanya langsung menghampiri dan menyapa Deva. Hangat seperti biasa. Namun, Deva merasakan sesuatu yang berbeda dari Fira dan Agas. Keduanya seperti sedang menyimpan beban.
Sesaat kemudian, Opa dan Oma dari Dave pun datang bersama kakak kandung dan kakak ipar dari Fira. Setelah menyapa Deva sekilas, mereka langsung duduk memenuhi bangku-bangku yang ada di salah satu meja yang tersedia.
Sikap opa dan oma yang biasanya sangat ramah pada Deva, mendadak terasa asing. Kedua orang tua tersebut seperti enggan menatap mata dan wajah Deva. Seperti ada yang sedang ingin mereka hindari.
Hingga delapan orang datang dengan aura yang berbeda. Tanya dibenak Deva mulai menyeruak. Begitu pun dengan Dave. Perasaan keduanya mendadak tidak enak. Di antara tamu yang baru saja datang, ada satu sosok yang menarik perhatian keduanya. Dres batik yang dikenakan oleh sosok tersebut memiliki corak dan warna yang sama persis dengan yang dikenakan Dave.
Dengan susah payah Deva menelan ludahnya sendiri. Dia mencoba untuk berpikir positif. Dave sendiri menatap tajam pada Papa dan mamanya untuk meminta sebuah penjelasan. Namun kedua orang itu seolah tidak peduli dan mengabaikan putra semata wayang mereka begitu saja. Dave semakin gelisah. Ingin rasanya dia berpindah duduk di samping Deva. Tapi tatapan sendu penuh harap dari Fira, membuat Dave segan.
Dirasa semua sudah datang dan sudah menempati meja masing-masing, munncullah seorang pembawa acara yang langsung berdiri di depan sembari memegang pengeras suara wireless. Menyapa dengan suara renyah dan menarik perhatian semua orang yang ada di sana agar fokus pada sosok tersebut.
Deva memajukan duduknya, hingga bokongnya hanya menyentuh ujung kursi yang didudukinya. Perempuan itu begitu tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Deva yang duduk di sebelah Fira, mencoba terus bersikap tenang. Harapan dan angannya tidak lagi melambung tinggi. Logika terus mengajak Deva berpikir akan kemungkinan-kemungkinan terburuk.
"Bapak Ibu hadirin yang berbahagia, malam ini adalah malam yang begitu istimewa. Dua orang yang mencinta, akhirnya, menyatukan rasa dalam ikatan pertunangan. Tidak berlama-lama, mari kita sambut ... yang berbahagia, Dave Sebastian dan Dira Gracella."
Bagai terhempas jatuh dari puncak gunung tertinggi. Hancur dan remuk sudah harapan Deva. Dalam waktu sekejap, harapan itu berganti duka luar biasa. Begitu sakit dan sedihnya hati, sampai bulir bening pun tak sanggup keluar dari mata. Bibir Deva mengatup rapat, tidak mampu lagi berkata-kata.
Dave bergeming, dia belum juga beranjak dari kursinya. Ingin melihat reaksi Deva, namun pria itu pun sudah tidak mempunyai daya dan kekuatan. Sama halnya seperti Deva, tulang Dave seolah terlepas dari tubuhnya. Dave memberanikan diri menatap Agas dengan tatapan penuh kebencian.
"Lakukan, Dave. Selamatkan keluarga kita dari rasa malu, selebihnya, serahkan semua pada Papa. Papa janji, Deva tidak akan pernah membencimu," Agas berbisik penuh harap. Tangannya mencengkeram lengan Dave begitu erat.
Fira menoleh ke samping, wanita itu meraih tangan Deva, sorot matanya menyiratkan rasa bersalah. Sebagai perempuan, dia tahu persis apa yang mereka lakukan malam ini sangat kejam.
Deva menggelengkan kepala dengan kuat. "Seharusnya tidak seperti ini, Ma," ucapnya begitu lirih.
Tidak sanggup menghadapi kenyataan, Deva pun akhirnya beranjak dan berlari meninggalkan ruangan itu.
Tidak ada yang mengejar Deva. Fira dan Agas memilih bicara serius dengan Dave. Angan kedua insan itu hancur lebur dalam sekejap, sungguh kenyataan jauh dari yang ada di benak dan pikiran.
Deva terus berjalan dengan langkah terburu-buru. Bisa dikatakan setengah berlari. Gadis itu berjalan sembari menyeka bulir bening yang mulai berjatuhan di pipi tanpa aba-aba.
Terlalu fokus pada kesedihan, membuat Deva tidak memperhatikan keadaan jalan yang dilalui. Akibatnya, bahu Deva menabrak lengan seseorang yang berjalan dari arah berlawanan dengan cukup keras.
"Kenapa jalan nggak lihat-lihat? Bukannya tempat ini sangat luas? Makanya kalau jalan sambil lihat jalan, jangan mainan ponsel mulu." Bukannya maaf yang diucapkan Deva, tapi malah umpatan yang membuat sosok yang ditabraknya kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
Ifanda Rian
sangat bagus
2023-08-28
0
Rustin Zunan
dave deva agak.membingungkan karna mirip 🤣🤣
2023-08-02
0
St.rkyyh
wahh keren sih ini gaya bahasanya.. semangat author
2023-07-25
1