"Hei... kenapa jadi aku yang salah? Apa perlu kita melihat CCTV? Siapa yang berjalan terburu-buru? Siapa yang jalan menunduk seperti orang sedang mencari recehan jatuh?" Laki-laki yang di tabrak Deva memberondong dengan pertanyaan bernada sinis. Tatapan matanya menyelidik dari ujung kepala hingga ujung kaki Deva.
"Enak saja kalau ngomong. Terus ngapain lihat saya sampai segitunya?" Deva malah semakin nyolot.
"Pede sekali, kamu. Aku cuman heran, kok ada perempuan tidak punya etika seperti kamu. Kalau salah, tinggal minta maaf. Bukan malah marah-marah," timpal laki-laki di depan Deva tersebut.
"Jadi saya tidak boleh marah? Apa saya harus menerima keadaan begitu saja? Ikhlas dan pasrah ketika orang-orang mengkhianati saya? Jangan harap!"
Deva menjawab diluar permasalahan. Pikirannya memang sedang kacau. Raganya di depan orang lain, namun pikirannya ada pada Dave dan peristiwa yang baru saja meremukkan hati Deva.
Laki-laki itu semakin mengernyitkan keningnya, bahkan dia menepuk pipinya sendiri untuk memastikan bahwa apa yang didengar bukan sekedar halusinasi.
"Kamu sehat? Atau kamu sedang kehabisan obat?" Tanya laki-laki yang ditabrak Deva dengan nada yang sudah agak direndahkan.
"Sudahlah! Saya tidak punya waktu untuk meladeni Anda. Jika memang menurut Anda saya yang salah, saya minta maaf." Tanpa menunggu jawaban, Deva bergegas meninggalkan laki-laki tersebut tanpa permisi.
"Dasar tidak waras. Pasti dia baru saja memergoki kekasihnya memainkan squisy di dada perempuan lain," umpat laki-laki tadi.
Sepertinya, laki-laki yang ditabrak Deva juga belum puas dengan reaksi yang diberikan oleh perempuan tersebut. Rasa penasaran masih melintasi pikirannya. Baru kali ini dia bertemu dengan perempuan yang terguncang jiwanya begitu parah. Sampai-sampai bisa melewatkan ketampanan dan pesonanya yang membius begitu saja.
***
Walaupun dengan keterpaksaan, Dave tetap menjalankan prosesi pertunangan yang diam-diam dipersiapkan untuknya. Siapa pun yang menyaksikan acara tukar cincin, pasti akan merasakan betapa enggannya Dave saat memasang cincin di jari manis Dira.
"Aku Dira." Gadis yang baru saja resmi menjadi tunangan Dave itu mengulurkan tangannya dengan ramah. Dia mengambil kesempatan disela yang lain sedang antri mengambil makanan yang sengaja dibuat Buffet. Dave yang duduk sendirian di meja tempatnya tadi hanya diam. Dira tetap berinisiatif untuk mendekati Dave.
"Tidak perlu basa-basi, jelas kamu sudah tahu namaku. Bagaimana seorang perempuan mau bertunangan dengan laki-laki yang tidak dikenal sebelumnya? Apakah kamu tidak bisa mencari calon suami sendiri? Atau memang tidak ada laki-laki yang mau denganmu?" Tanpa menyambut uluran tangan Dira, Dave menatap perempuan di sampingnya dengan sinis.
Dira hanya tersenyum tipis mendengar serentetan pertanyaan Dave. Dia tidak ingin berdebat. Pada kenyataannya, dia yang menginginkan pertunangan ini. Maka apa pun reaksi yang diberikan Dave, sudah menjadi resikonya.
"Aku tidak keberatan jika Bang Dave ingin mengajakku keluar atau meminta nomer ponselku. Kita bisa berkenalan pelan-pelan. Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata peribahasa. Kita hanya butuh waktu."
Dira memberikan ponselnya pada Dave. Tapi dengan tegas pria itu menolaknya. Dia tidak sudi bertukar nomer ponsel dengan Dira. Lagipula, meski sama sekali tidak mengenal sosok Dira, Dave tidak berniat sedikit pun untuk mengenal perempuan yang sudah menjadi tunangannya itu lebih jauh. Semua yang dilihatnya pada Dira, seakan tidak lebih baik dari Deva.
Ketika para tamu sudah meninggalkan ruangan, termasuk juga Dira dan keluarganya, Dave pun langsung berniat untuk ke rumah Deva. Namun Fira dan Agas menghalangi niat anaknya tersebut. Fira bersikukuh akan menemui Deva secara langsung keesokan harinya.
"Besok pagi sekali, Mama akan menemui Deva. Mama janji. Mama juga perlu meminta maaf. Jangan temui Deva sekarang. Beri Deva waktu untuk menenangkan diri," lirih Fira. Gurat kesedihan yang disebabkan rasa bersalah, jelas nampak di wajahnya.
"Tega, Mama sama Dave. Salah apa Deva sama Mama dan Papa? Kalau kalian tidak setuju atau tidak merestui hubungan kami, tidak seharusnya kalian memperlakukan Deva seperti ini," sesal Dave. Suaranya bergetar karena menahan amarah dan kekecewaan.
"Kamu tahu persis kondisi papamu, Dave. Pak Rudi menawarkan uluran tangan pada kita. Bukan syarat yang sulit. Dira sangat cantik dan terpelajar. Kamu cukup membuka diri. Cinta karena terbiasa. Sesederhana itu. Jangan merumitkan keadaan. Mama jamin, Deva akan memahami keadaan ini. Kalian masih bisa menjalin persahabatan," Fira menatap Dave dengan lembut. Kata-katanya tegas, namun sebisa mungkin tidak membuat putra satu-satunya semakin kecewa.
"Umur Papa mungkin tidak lama lagi, Dave. Apakah kamu tega membiarkan Papa menghabiskan waktu yang singkat ini, seperti Papanya Deva? Lagi pula, Papa tidak bersalah sama sekali." Agas turut memohon pada Dave.
"Papa Amar juga tidak bersalah. Beliau hanya korban dari orang-orang pengecut yang serakah," sahut Dave seraya membalas tajam tatapan Agas.
"Tapi Papa tidak mau kisah hidup Papa seperti Amar, Dav!" tegas Agas, kesabarannya sudah mulai habis.
Fira melerai suami dan putranya itu dengan suaranya yang lembut. "Kita pulang. Kita bicarakan nanti di rumah."
Dave dan papa mamanya meninggalkan room, melangkah tenang tanpa suara menuju beranda lobby. Mobil Lexus hitam dengan Agus sebagai drivernya sudah menunggu di sana. Ketiganya langsung naik ke dalam mobil tersebut. Perlahan Agus mengendarai mobilnya meninggalkan halaman hotel bintang lima tersebut dengan kecepatan sedang.
***
Tanpa membersihkan wajah dan mengganti bajunya terlebih dahulu, Deva langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia menumpahkan air matanya di atas bantal. Tangannya tidak henti memukul-mukul pada guling yang menjadi pelampiasan kekesalan dan sakit hati yang sedang dirasakan.
Di tengah isak tangisnya, lirih suara Deva tidak henti mengucap istighfar. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk menghibur lara hatinya. Deva benar-benar merasa sendiri sekarang.
"Ma ... Deva kangen sama mama. Beri tahu Deva, ma. Kenapa harus berakhir seperti ini? Apa memang Deva tidak pantas bahagia?" Deva memeluk tubuhnya sendiri. Tidak ada suara lain yang terdengar selain isak tangisnya.
Setelah puas menangis dan menumpahkan kekesalan, Deva beringsut turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi. Gadis itu membasuh wajahnya agar sedikit segar.
Deva memperhatikan bayangan dirinya yang terpantul di cermin toilet. Memang tidak ada yang pasti dalam kehidupan ini. Segalanya bisa terjadi dengan cepat, tanpa rencana dan tanpa bisa diduga sebelumnya. Jangankan dalam hitungan jam, dalam hitungan detik sekali pun, Tuhan bisa membolak balik peristiwa yang terjadi dengan begitu mudah sesuai kehendak-Nya.
Seperti yang terjadi pada Deva. Dua jam yang lalu, dia masih tersenyum lepas dan begitu optimis. Namun sekarang? Senyuman itu memudar, dan berganti dengan tangisan. Harapan akan masa depan sebuah hubungan pun kandas tiba-tiba. Tanpa alasan, apalagi penjelasan yang pasti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
tria ulandari
pak Ewa bisa wae
2023-04-29
0
Siti Fatimah
itu namanya orang tua yg egois. tidak memikirkan perasaan anaknya.
2023-01-29
0
📴🍀⃟🐍 🥜⃫⃟⃤
cerita cinta segitiga ya gini ribet amat..
2022-12-19
0