Untuk yang kesekian kali

Waktu istirahat sudah lewat tiga puluh menit, namun Deva baru kembali ke kantornya. Dia menenteng kantong plastik bening berisi makanan untuk makan siang Tino. Langkah gadis itu terlihat buru-buru. Bukan karena takut akan dimarahi oleh atasannya, namun lebih pada tanggung jawab akan pekerjaan yang masih menumpuk.

Begitu melihat pintu lift terbuka, Deva bergegas ingin masuk ke dalamnya. Lagi dan lagi, karena terburu-buru, Deva kembali membuat kesal seseorang. Bahunya menyenggol lengan orang yang akan keluar dari lift dengan lumayan keras.

"Astaga! Kebetulan macam apa ini? Kenapa kamu lagi dan lagi yang membuat hidupku sial," umpat sosok yang tidak lain tidak bukan adalah Dewa.

"Maaf, saya tidak sengaja. Saya buru-buru." Deva kembali menekan tombol open di dinding samping lift. Karena lumayan lama, membuat lift yang tadi sudah sempat terbuka, kembali tertutup lagi.

Berbeda dari sebelumnya yang hanya pasrah tapi mengumpat, kali ini Dewa bertindak sedikit nekat. Pria tersebut menahan pergelangan tangan Deva dengan berani.

"Jangan lari kamu." Dewa memberikan tatapan tajam pada Deva. "Hampir saja saya celaka gara-gara kamu menyebrang sembarangan. Coba kalau rem mobilku tidak cakram, pasti kamu sudah ada di kursi roda sekarang. Bukannya meminta maaf, malah lari dan berani meledekku," tambahnya.

"Oh, itu ... maafkan saya soal yang tadi. Ehm, sebentar. Anda Pak Dewa bukan? Kalau iya, anggap saja kita impas. Lagian tidak ada kerugian yang Anda alami. Bumper mobil tidak mungkin penyok hanya karena melakukan rem mendadak di depan badan saya. Dan lengan Anda tidak mungkin tergores hanya karena saya serempet. Jadi apa lagi masalahnya?" Deva membela diri dengan santainya, sembari pura-pura mengingat dan memastikan sosok di depannya sama dengan sosok yang menabrak mobilnya.

Dewa melepaskan tangan Deva dengan buru-buru. "Sepertinya, kamu memakai jasa joki saat menghadapi psikotest. Kalau tidak, sangat aneh orang seperti kamu bisa lolos dan bekerja di perusahaan sebagus ini."

Deva membalas tatapan Dewa dengan berani dan lebih tajam. "Sikap saya terhadap Anda, tidak mewakili kemampuan dan kinerja saya. Jangan menilai seenak sendiri."

"Saya tidak menilai seenaknya. Lihat! Jam segini seharusnya tidak ada seorang pun yang berseliweran di lobby, tapi kamu? Malah seenaknya baru datang dengan santainya. Yang lain pasti paham, kerja itu harus efektif. Saat jam kerja, sudah seharusnya fokus kerja. Tidak keluyuran kayak kamu. Mereka memanfaatkan waktu istirahat dengan baik, jadi tidak perlu lagi ektra time. Ini namanya kamu sudah korupsi waktu," cerocos Dewa, tanpa memedulikan raut wajah Deva yang sudah nampak menahan kekesalan.

"Sudah selesai? Atau masih ada lagi yang perlu disampaikan? Dengar baik-baik Bapak Dewa yang terhormat. Jangan membiasakan diri menilai orang lain terlalu berani jika Anda tidak mengenal dengan baik orang tersebut. Jika Anda tidak terima dengan tindakan saya, silahkan lapor ke kantor polisi. Mungkin Anda bisa menggunakan pasal 335 KUHP dengan tuntutan perbuatan tidak menyenangkan. Saya tidak terlalu suka berdebat. Permisi." Deva menekan tombol open sembari melirik sinis pada Dewa.

"Jika aku menjadi atasanmu, yang akan aku lakukan pertama kali adalah memecatmu. Catat itu baik-baik, gadis angkuh!" Dewa mengatakan dengan nada ancaman penuh penekanan.

Deva melemparkan senyuman sinis. "Seperti yang Anda katakan tadi. Perusahaan ini tidak akan mungkin menerima karyawan dengan asal-asalan. Bisa jadi, Anda pun tidak akan diterima kalau mau melamar pekerjaan di sini. Jangankan sebagai atasan tertinggi, menjadi security pun, Anda belum tentu diterima."

Melihat Deva memasuki lift. Dewa tidak lagi berminat untuk menahan gadis tersebut. Harga dirinya sebagai pria tampan, rupawan, mapan, dan penakhluk wanita merasa diinjak-injak. Bagaimana mungkin seorang perempuan memperlakukan dan berbicara padanya seolah berbicara dengan orang lain pada umumnya.

***

Deva memasuki ruangan Tino dengan raut wajah yang membuat atasannya itu mengernyitkan kening tanda keheranan. Walaupun Deva sudah berusaha bersikap biasa, namun Tino masih dengan jelas merasakan ada yang tidak beres dengan asisten pribadinya tersebut. Cara Deva memberikan paper lunch untuknya pun tak selembut biasanya.

"Ada masalah, Dev?" Tanya Tino sembari membuka paper lunch dengan gerakan cepat.

Deva menggeleng ragu. Tino lebih dari sekedar atasan baginya. Baik Tino maupun Deva, sering bertukar pikiran dalam segala hal. Namun kali ini, Deva tidak mungkin berbagi kegalauan dengan Tino. Atasannya itu sendiri sedang pusing dengan masalah pekerjaan, tentu dia tidak ingin menambah keruwetan pikiran Tino dengan permasalahan pribadinya.

"Cerita saja, Dev. Aku masih bisa denger kok. Aku sudah gak terlalu stres. Ternyata, penggantiku nanti adalah teman SMA-ku. Cuman kami beda jurusan. Barusan kita sudah ngobrol-ngobrol." Tino mengatakan dengan wajah yang memang sudah tidak terlalu penuh tekanan seperti sebelumnya.

Deva duduk di kursi putar di depan meja Tino. Berpikir sejenak sebelum menceritakan apa yang menjadi beban pikirannya saat ini. Selain Dave, Deva memang tidak mempunyai teman dekat lagi. Bukan karena introvert atau susah bergaul. Tapi beban hidup membuatnya tidak banyak mempunyai waktu untuk bersenang-senang.

Jalan hidup Deva tidak mudah. Terlahir sebagai anak tunggal dari pasangan terpandang karena memiliki jabatan, nyatanya tidak menjanjikan kehidupan Deva berkelimpahan hingga akhir. Peristiwa yang terjadi pada papanya, merubah hidup Deva begitu dratis. Satu hal yang dia syukuri adalah cara didik orangtua yang tidak pernah memanjakan berlebihan. Hingga membuat Deva gigih bekerja keras dan berdiri tegar hingga saat ini.

"Dev, ceritalah! Jangan sampai menyimpan beban sendiri. Tapi aku dengernya sambil makan, ya? Aku laper. Sepertinya, setelah ini aku mau coba jadi wiraswasta saja. Buka kafe kecil-kecilan kayaknya oke. Aku pengen banyak punya waktu luang, umurku sudah hampir tiga puluh lima, Dev. Pacaran belum pernah. Selama ini aku terlalu serius mikirin perusahaan orang lain."

"Dih, kenapa Pak Tino malah curhat duluan."

Tino tidak menanggapi reaksi Deva yang mencibirnya dengan santai. Pria itu memilih untuk mulai menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya sendiri.

"Hubungan saya dan Bang Dave sudah berakhir, Pak. Bang Dave dijodohkan dengan perempuan lain. Dunia politik itu memang kejam. Tapi sepertinya Papa Bang Dave lebih beruntung ketimbang papa saya. Masih ada orang yang mau menolong dengan kekuasaannya untuk membuat kasus yang dihadapi berhenti. Ya sekali pun harus mengorbankan Bang Dave." Tatapan mata Deva menerawang jauh entah pada titik mana dia meletakkan fokusnya.

Mendengar cerita singkat Deva, berhasil membuat Tino susah menelan makanannya. Dari yang dia dengar selama ini, Dave begitu sayang dan pengertian. Setiap kali lembur atau meeting malam di luar kantor, Dave dengan setia menjemput dan menunggui Deva. Meski dia tidak pernah mengenal sosok tersebut secara langsung, namun Tino yakin, apa yang diceritakan Deva tentang Dave memang benar adanya.

Dave adalah pribadi yang pilih-pilih dan sedikit tertutup, dia tidak suka berbaur atau berteman dengan banyak orang. Profesi Dave sebagai Dokter Spesialis Kandungan, sudah sangat menyibukkannya. Itulah mengapa Dave lebih memanfaatkan waktu luang semaksimal mungkin untuk keluarga dan juga untuk Deva.

"Tuhan pasti mempunyai rencana lain, Dev. Selama apa pun kamu menjalin hubungan, jika memang bukan jodoh, kamu bisa apa? Sebaliknya, jika seseorang sudah ditetapkan sebagai jodohmu, baru bertemu beberapa minggu pun, bisa berakhir di penghulu." Tino memberikan pandangan bijaknya.

"Ketika jomblo senior memberikan nasehat." Deva menanggapi dengan tidak serius. Dia segera beranjak berdiri. "Terimakasih waktunya, Pak. Saya kembali ke ruangan saya dulu," pamitnya.

Sebelum Deva benar-benar menghilang dari ruangannya. Tino menghentikan langkah asistennya itu dan berkata, "Tetap semangat, Dev. Waktu tidak akan berhenti berputar meski kamu hidup tanpa seorang kekasih. Ingatlah! Langit masih biru ketika tidak ada awan yang menghalanginya. Kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan itu hanya milik kamu. Dunia tidak perlu dan tidak mau tahu. Selama kamu masih bernapas, ujian akan selalu datang menghampirimu. Ambil waktumu untuk menikmati apa yang kamu rasakan sekarang. Resapi baik-baik. Yakinkan dirimu, akan ada saatnya nanti, kamu akan berterimakasih pada Tuhan karena memisahkanmu dengan orang yang tidak tepat untukmu."

Terpopuler

Comments

Reni

Reni

Nama mereka mirip ya, Deva dan Dave tp sayang sekali gk jodoh.

2023-10-24

0

tria ulandari

tria ulandari

udah di ulang2 ttep ngena bnget kata2 pak Tino ini 😍😍

2023-04-29

0

☆chika

☆chika

terhura aku mendengar kata² mu pak tino🥲🥲🥲
🤣🤣🤣🤣

2023-01-20

0

lihat semua
Episodes
1 Pertunangan Dave
2 Hubungan yang kandas
3 Accident
4 Lagi-lagi
5 Untuk yang kesekian kali
6 Mengunjungi Amar
7 Setan berwajah bidadari
8 Dunia tidak lebar
9 CEO baru
10 Seperti Arjuna
11 Sama-sama karyawan
12 Takut Hantu
13 Playgirl?
14 Presentasi
15 Bertemu Dave
16 Sumber kemacetan
17 Teman
18 Datang lagi ujian
19 Menjual semua aset
20 Sama-sama terluka
21 Bertemu si pembeli
22 Dipertemukan lagi
23 Pamit
24 Antara Dewa dan Deva
25 Sesekali jangan nolak
26 Beda kelas
27 Mantan empat tahun
28 Bukan bakat
29 Api mulai berkobar
30 Terlalu cepat menilai
31 Tim siapa?
32 Ingin berteman
33 Berkabut duka
34 Rasa di antara duka
35 Cerita dari Debora
36 Jiwa yang terguncang
37 Pemakaman
38 Memilih pergi
39 Teman-teman Amar
40 Tamu dini hari
41 Tamu adalah raja
42 Kilah Debora dan mamanya
43 Club Dewa
44 santap pagi bersama
45 Egoisnya Dira
46 Tawaran dari Dewa
47 Teman ngobrol
48 Deswita , Nyil dan Nyong
49 Salah Dewa
50 Bukan teman
51 Bukan calon mertua
52 Bertemu Deswita
53 Hampir keceplosan
54 Kecocokan Deswita dan Deva
55 Dave sakit
56 Cinta atau obsesi
57 Masih punya privasi
58 Ke rumah sakit
59 Memilih berteman dengan Dira
60 Kesambet Mantan
61 Kenapa Unyil?
62 Dibalik panggilan Nyil
63 Hukuman untuk Deswita
64 Misi Club Dewa
65 Sebatas teman
66 Tamu tidak terduga
67 Rasa ingin tahu Dewa
68 Dave, Dira dan siapa?
69 Rencana Debora
70 Perdebatan masalah rumah
71 Dira mulai berulah
72 Keteguhan hati Dave
73 Dewa dan Deswita
74 Umpan Dewa
75 Sekilas cerita masa lalu
76 Kejelasan tentang Jason
77 Luka sisa rasa
78 Amukan Dira
79 Melepaskan kesedihan
80 H-1 pernikahan
81 Raga tanpa jiwa
82 Salah duga
83 Dewa versus Dave
84 Menuju akad
85 Sah
86 Setelah sah
87 Tamparan jiwa
88 Cermin
89 Menjelang resepsi
90 Resepsi part 1
91 Resepsi part 2
92 Memuji suami orang
93 Rencana ke Jogja
94 Menuju kenangan pahit
95 Dave dan Dira di masa lalu
96 Sebatas angan Dira
97 Bukan Dave
98 Rencana berdua
99 Telepon penting
100 Pegangan di pundak
101 Menikmati sunset berdua
102 Adakah pertemanan di antara mantan?
103 Kembali ke Jakarta
104 Ke rumah Debora
105 Nama Amar mulai disebut
106 Ancaman Rudi
107 Rudi versus Agas
108 Rumah untuk Deva
109 Bertemu di makam
110 Tentang rasa yang bukan sekedar sisa
111 Kerokan versus murahan
112 Masing-masing punya cerita
113 Uang perawatan untuk Dira
114 Pagi yang sibuk
115 Hati Dewa semakin berkhianat
116 Nina masih kritis
117 Kondisi Nina
118 Tamparan Agas
119 Menghangatkan hati dengan kenangan
120 Tidak sengaja mendengar
121 Deva tidak sendiri
122 Dave mulai melakukan penyelidikan
123 Membuka buku harian Amar
124 Nina terbebas dari kasus
125 Menikah?
126 Bertemu dengan Dermawan
127 Tidak ada kata maaf
128 Akankah Fira menceritakan semuanya?
129 Kekecewaan Dave
130 Langkah awal Dave
131 Tinggal di rumah Dira
132 Deva bukan malaikat
133 Harapan Dave untuk Dewa
134 Ada apa?
135 Keyakinan Dewa
136 Mulai menjalankan rencana
137 Berkas sudah di tangan
138 Kesedihan Dewa
139 Dua orang
140 Keterlibatan Dira
141 Akhirnya Dave tahu
142 Divorce
143 Dira
144 Ada apa dengan Dewa?
145 Ajakan Dewa
146 Ungkapan hati Dewa
147 Salam Terakhir
148 Kemana Deva?
149 Permintaan Debora
150 Absurd-nya Dewa
151 Kehancuran Agas
152 Keluar dari rumah Dewa
153 Kenapa dengan Dewa?
154 Jawaban Deva
155 Tidak Jadi
156 Perbedaan sikap Dewa
157 Akankah Deswita tahu?
158 Memilih pura-pura tidak tahu
159 Mengajak Dewa berbicara
160 Pelukan hangat
161 Buta sebelum waktunya
162 Akhir pekan bersama
163 Kambing Etawa
164 Tutup mata part satu
165 Tutup mata part dua
166 Belum bisa Up
167 Pada ladang persahabatan
168 Bonus Chapter 1
Episodes

Updated 168 Episodes

1
Pertunangan Dave
2
Hubungan yang kandas
3
Accident
4
Lagi-lagi
5
Untuk yang kesekian kali
6
Mengunjungi Amar
7
Setan berwajah bidadari
8
Dunia tidak lebar
9
CEO baru
10
Seperti Arjuna
11
Sama-sama karyawan
12
Takut Hantu
13
Playgirl?
14
Presentasi
15
Bertemu Dave
16
Sumber kemacetan
17
Teman
18
Datang lagi ujian
19
Menjual semua aset
20
Sama-sama terluka
21
Bertemu si pembeli
22
Dipertemukan lagi
23
Pamit
24
Antara Dewa dan Deva
25
Sesekali jangan nolak
26
Beda kelas
27
Mantan empat tahun
28
Bukan bakat
29
Api mulai berkobar
30
Terlalu cepat menilai
31
Tim siapa?
32
Ingin berteman
33
Berkabut duka
34
Rasa di antara duka
35
Cerita dari Debora
36
Jiwa yang terguncang
37
Pemakaman
38
Memilih pergi
39
Teman-teman Amar
40
Tamu dini hari
41
Tamu adalah raja
42
Kilah Debora dan mamanya
43
Club Dewa
44
santap pagi bersama
45
Egoisnya Dira
46
Tawaran dari Dewa
47
Teman ngobrol
48
Deswita , Nyil dan Nyong
49
Salah Dewa
50
Bukan teman
51
Bukan calon mertua
52
Bertemu Deswita
53
Hampir keceplosan
54
Kecocokan Deswita dan Deva
55
Dave sakit
56
Cinta atau obsesi
57
Masih punya privasi
58
Ke rumah sakit
59
Memilih berteman dengan Dira
60
Kesambet Mantan
61
Kenapa Unyil?
62
Dibalik panggilan Nyil
63
Hukuman untuk Deswita
64
Misi Club Dewa
65
Sebatas teman
66
Tamu tidak terduga
67
Rasa ingin tahu Dewa
68
Dave, Dira dan siapa?
69
Rencana Debora
70
Perdebatan masalah rumah
71
Dira mulai berulah
72
Keteguhan hati Dave
73
Dewa dan Deswita
74
Umpan Dewa
75
Sekilas cerita masa lalu
76
Kejelasan tentang Jason
77
Luka sisa rasa
78
Amukan Dira
79
Melepaskan kesedihan
80
H-1 pernikahan
81
Raga tanpa jiwa
82
Salah duga
83
Dewa versus Dave
84
Menuju akad
85
Sah
86
Setelah sah
87
Tamparan jiwa
88
Cermin
89
Menjelang resepsi
90
Resepsi part 1
91
Resepsi part 2
92
Memuji suami orang
93
Rencana ke Jogja
94
Menuju kenangan pahit
95
Dave dan Dira di masa lalu
96
Sebatas angan Dira
97
Bukan Dave
98
Rencana berdua
99
Telepon penting
100
Pegangan di pundak
101
Menikmati sunset berdua
102
Adakah pertemanan di antara mantan?
103
Kembali ke Jakarta
104
Ke rumah Debora
105
Nama Amar mulai disebut
106
Ancaman Rudi
107
Rudi versus Agas
108
Rumah untuk Deva
109
Bertemu di makam
110
Tentang rasa yang bukan sekedar sisa
111
Kerokan versus murahan
112
Masing-masing punya cerita
113
Uang perawatan untuk Dira
114
Pagi yang sibuk
115
Hati Dewa semakin berkhianat
116
Nina masih kritis
117
Kondisi Nina
118
Tamparan Agas
119
Menghangatkan hati dengan kenangan
120
Tidak sengaja mendengar
121
Deva tidak sendiri
122
Dave mulai melakukan penyelidikan
123
Membuka buku harian Amar
124
Nina terbebas dari kasus
125
Menikah?
126
Bertemu dengan Dermawan
127
Tidak ada kata maaf
128
Akankah Fira menceritakan semuanya?
129
Kekecewaan Dave
130
Langkah awal Dave
131
Tinggal di rumah Dira
132
Deva bukan malaikat
133
Harapan Dave untuk Dewa
134
Ada apa?
135
Keyakinan Dewa
136
Mulai menjalankan rencana
137
Berkas sudah di tangan
138
Kesedihan Dewa
139
Dua orang
140
Keterlibatan Dira
141
Akhirnya Dave tahu
142
Divorce
143
Dira
144
Ada apa dengan Dewa?
145
Ajakan Dewa
146
Ungkapan hati Dewa
147
Salam Terakhir
148
Kemana Deva?
149
Permintaan Debora
150
Absurd-nya Dewa
151
Kehancuran Agas
152
Keluar dari rumah Dewa
153
Kenapa dengan Dewa?
154
Jawaban Deva
155
Tidak Jadi
156
Perbedaan sikap Dewa
157
Akankah Deswita tahu?
158
Memilih pura-pura tidak tahu
159
Mengajak Dewa berbicara
160
Pelukan hangat
161
Buta sebelum waktunya
162
Akhir pekan bersama
163
Kambing Etawa
164
Tutup mata part satu
165
Tutup mata part dua
166
Belum bisa Up
167
Pada ladang persahabatan
168
Bonus Chapter 1

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!