Pagi yang buruk,
Ya Tuhan,,,, memangnya sejak kapan pagiku baik-baik saja semenjak aku menikah dengan pria Bastard itu dan pindah ke negri orang ini. Negri yang seharusnya penuh dengan keindahan dan kemewahan, namun menjadi salah satu tempat sejarah penderitaan hidupku.
Sungguh, mengingat tangisku tadi malam, aku benar-benar sangat merindukan rumahku dan teriakan ibu di setiap pagiku, dulu.
Ah, gara-gara kejadian semalam, aku yang terlalu banyak menangis dan hanya tidur beberapa jam, membuatku bangun kesiangan. Belum lagi dengan rumah berantakan yang membuatku berdecak kesal. Dan buru-buru membersihkannya sebelum aku berangkat kerja atau apartemen ini akan berubah menjadi gudang.
Lihatlah, Bu. Putri malasmu yang dulu kini telah berubah, setidaknya aku mulai berubah, berusaha membersihkan dan membereskan rumah, catat, rumah, bukan hanya sekedar kamar tidurku yang dulu saja kubiarkan hancur dan ibu yang akan membersihkannya.
Dan kini, seperti sebuah karma, aku harus membereskan semua kekacauan yang disebabkan oleh Emil.
Jas-nya yang berbau alkohol diletakkan sembarangan di punggung sofa ruang tamu, sepatu mahalnya yang tadi tak sengaja kuinjak tergeletak begitu saja di lantai, dan juga,,,, lagi, tisu, apa lagi memangnya?
Aku mendengkus kasar, tak ingin berteriak memakinya seperti pagi-pagi yang biasa kulakukan, aku masih marah atas tindakannya menciumku dan aku akan mendiamkannya saja. Jadi aku membersihkan kekacauan hasil karya Emil semalam dalam diam.
"Kenapa dia suka sekali bermain solo? Bukankah begitu banyak wanita seksi yang mengelilinginya? Apa mereka tidak dapat memuaskan Cobra miliknya itu? Atau karena dia begitu buas sehingga tak terpuaskan? Mengerikan." aku hanya bisa ngedumel sambil mengambil tisu yang tercecer di lantai lalu membuangnya ke tempat sampah. Tisu yang berbau khas anak-anak yang terbuang.
"Selamat tinggal, Arjuna, Kevin, Liyora, Sarah, siapa saja, hahahaha!" aku tertawa akan kekonyolanku sendiri yang memberi nama calon anak-anak Emil itu.
"Apa dia bermain di sofa semalam?" kembali ngedumel karena di sofa pun masih ada sebuah tisu kotor.
"Memalukan, apa dia tidak takut jika kelakuannya itu sampai terlihat olehku?"
"Kau sudah pernah melihat semuanya, apalagi yang harus kusembunyikan."
"Aahh!"
Aku membalik badan cepat, mendapati Emil yang sepertinya baru selesai mandi, keluar dari kamar hanya menggunakan handuk yang ia lilitkan sepinggang. Aroma sabun dan sampo menguar dari tubuh harumnya memenuhi Indra penciumanku, membuat degub jantungku berdetak lebih kencang.
Aku menelan saliva susah payah, pemandangan indah dari tubuhnya yang selalu menggoda kewanitaanku itu sukses membuatku mati-matian mengumpulkan akal sehat.
Dada bidangnya, otot lengannya yang kekar, perutnya yang kotak-kotak, dan saat ia bergerak mengacak rambut basahnya, lali buliran-buliran bening sisa air mandi yang berjatuhan membuatnya terlihat sangat seksi.
Namira, fokus.
Tak ingin terjebak dalam pesonanya, aku,,,, hey, ralat, tak ingin berdebat dan memperpanjang masalah, aku pun lekas pergi dari sana. Melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air dan dengan cepat kuteguk hingga tandas. Emil adalah maha karya indah ciptaan Tuhan yang nyata. Tapi, ingatkan aku, dia adalah sumber deritaku, pria yang menganggapku lebih rendah dari sampah. Terimakasih, aku tidak lupa dan sudah mengingatnya kembali.
Kulihat sekeliling dapur, untunglah kami selalu makan di luar atau makanan siap antar, jadi dapur ini selalu bersih tanpa harus menambah daftar pekerjaan tambahan.
Saat aku hendak keluar, Emil sudah berdiri di tengah pintu dapur sambil bersandar pada sisi dinding. Oh ya, yang kusebut pintu ini sebenarnya lebih tepat adalah sebuah lowongan jalan penghubung saja, antara dapur dan lorong yang sebelah kanannya dua kamar tidur kami, dan sebelah kiri kamar mandi, tak terdapat daun pintu di sana meski aku menyebutnya pintu dapur.
Aku mendengus, lalu berjalan berniat melewatinya saja. Namun bukan Emil namanya jika tak memancing masalah.
Emil mengangkat sebelah kakinya pada sisi dinding yang lain memblokade jalan yang harus kulewati, dan sumpah, aku terkejut saat belahan handuk yang hanya melilit sepinggang itu tersingkap sampai paha atas bagian dalam miliknya terlihat.
"Emil,,,," teriakku spontan sambil menutup muka. Jantungku sungguh tidak aman, kenapa Emil selalu membuatku serasa ingin lepas kendali?
"Itu yang ingin kudengar," ucap Emil sambil menurunkan kembali kakinya, lalu melenggang pergi begitu saja kembali masuk ke dalam kamarnya.
Apa? Hanya begitu? Apa yang dia inginkan? Ingin menunjukkan betapa seksi dan tampannya dirinya? Lalu aku akan kembali jatuh ke dalam pelukannya dengan mudah? Jangan harap. Aku memiliki cinta, tapi aku juga akan mempertahankan harga diriku yang tersisa walau nyawa taruhannya.
"Dasar pria bastard." umpatku menahan kesal. Mengelus dada, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Relax, Namira, Relax...."
***
Hari kedua bekerja cukup menyenangkan, satu dua teman mulai mengajakku ngobrol, meski dengan bahasa yang terbatas, mereka yang lemah berbahasa Inggris dan pelafalanku yang cukup buruk dalam bahasa Perancis, untunglah aku masih bisa memahami bahasa ini meski sedikit dan intinya saja.
"Kau makan siang di mana? Kemarin aku tidak melihatmu di pantry karyawan." tanya Patricia, teman dekat kubikelku, staf administrasi.
"Aku harus keluar dari kantor untuk mencari Restoran." jawabku berusaha sebaik mungkin melafalkan bahasa Perancisku dengan benar.
Patricia tertawa geli, mungkin terdengar aneh, dan aku ikut tertawa saja, biar suasana di antara kami terasa lebih cair. Bukankah aku butuh seseorang untuk menjadi teman?
"Kalau sekarang?" tanya Patricia lagi. Karena jam makan siang sebentar lagi tiba.
"Entahlah, mungkin aku akan memesan makanan online saja." jawabku sambil menggerakkan jemariku dengan lincah pada papan keyboard komputer.
"Bagaimana kalau kita ke restoran OC. Aku rindu makan menu Indonesia, tempatnya juga tidak terlalu jauh."
"Menu Indonesia?" aku berhenti mengetik, menatap Patricia yang duduk di kubikelnya dengan lekat. Mendengar nama Indonesia disebut membuatku sangat bersemangat. Apalagi menu makanannya.
"Hemm!" Patricia mengangguk sambil tersenyum.
Tentu aku langsung setuju, aku merindukan apa saja yang berhubungan dengan Indonesia, lebih-lebih makanannya, setidaknya ada menu nasi yang bisa kutemui nanti.
***
Aku dan Patricia keluar dari mobil yang kuparkir di laman parkiran Restoran yang Patricia tunjukkan, sebuah Restoran yang cukup besar. Dengan lambang OC yang dominan berwarna black & gold.
Tunggu, OC, bukankah itu terdengar tidak asing? Bahkan lambang itu, aku masih sangat ingat, sebuah lambang hasil designe Aretha, yang menjadi awal mula kisah cintanya dengan Mr. CEO Fabrizio.
"Patricia, tunggu." aku menarik tangan Patricia saat kami sudah hampir memasuki pintu masuk.
"Ada apa, Namira?" tanyanya heran, aku masih terus melihat ke lambang OC yang terdapat di dinding kaca dekat pintu dorong.
"Ehm,,,, apa makanan di sini enak? Bagaimana kalau kita makan di restoran lain, aku tahu tempat yang lumayan, kemarin aku dari sana." Entah mengapa aku menjadi ragu, ada rasa yang entah apa di dalam hatiku jika aku harus masuk ke dalam sana, yah, aku tahu, belum tentu juga aku bertemu Emil di dalam sana, bukankah dia lebih sibuk di kantor fashion dari pada mengurusi bisnis kuliner? Namun tetap saja, aku merasa gugup.
"Kenapa Namira? Di sini makanannya sangat lezat, dan hanya ini Restoran yang menyediakan menu indonesia yang ada di dekat sini, ayolah,,,, jangan buang waktu!" Patricia menarik tanganku dan aku hanya pasrah, memasuki tempat makan itu yang membuatku serasa Dejavu. Serasa aku berada di Indonesia, karena Designe restoran ini, baik eksterior maupun interiornya sama persis dengan OC Restauran yang ada di Indonesia.
***
Ketegangan, tidak nyaman, dan entah apa lagi, aku berusaha tenang menikmati makan siangku bersama Patricia.
Wanita muda yang akhirnya kuketahui sudah memiliki seorang anak laki-laki tanpa hubungan pernikahan ini ternyata sangat menyenangkan. Dia terbuka dan berpikiran dewasa, hubungannya dengan sang kekasih berjalan baik meski mereka memutuskan tidak menikah. Itu yang kutangkap dari cerita Patricia.
"Lalu, bagaimana denganmu? Apa kau sudah punya pacar?" kini Patricia bertanya padaku. Ia memasukkan satu potong daging rendang tanpa nasi.
"Aku,,, Aku sudah menikah." jujur, aku memutuskan berbicara statusku yang sebenarnya, memang itu kenyataannya meski nanti kami akan berpisah.
"Wow, luar biasa, kau sangat beruntung, Namira. Aku merasa iri padamu, kau tahu? Sebenarnya aku ingin dia menikahiku, tapi dia belum siap, dan aku hanya bisa menerima keputusannya tanpa bisa memaksanya."
Aku hanya tersenyum menanggapi komentar Patricia, andai dia tahu kisah yang sebenarnya, masihkah dia akan merasa iri padaku? Aku yang justru merasa iri padanya karena meski tanpa menikah, mereka masih tetap bersama dalam ikatan cinta.
"Apa kau sudah memiliki anak?" tanyanya lagi, kali ini ia meneguk segelas wine, mengusap mulut dengan tisu. Dan mengeluarkan sebatang rokok, okay, Patricia juga merokok.
"Tidak," jawabku singkat, meletakkan sendok lalu meminum air putih, aku tidak begitu suka meminum alkohol di siang hari.
Obrolan kami berlanjut hingga waktu yang mengharuskan kami kembali ke kantor. Dan kali ini, Patricia yang memaksa membayar bill karena dia yang mengajak, tentu aku juga akan mentraktirnya nanti lain hari saat ada kesempatan.
Saat keluar dari restoran, ponselku berdering, satu panggilan masuk. Emil.
Haruskah aku mengangkatnya? Bagaimana nanti jika dia mematikan sepihak dan menertawakanku? Tidak, tidak perlu diangkat. Kubiarkan ponsel itu tanpa berniat mengangkatnya, hingga dering itu berhenti dengan sendirinya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Patricia. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Ting!"
Satu pesan masuk.
[Bagaimana makanannya? Apa kau suka?]
D.a.mn.
Dia ada di sekitar sini? Di mana dia? Aku menoleh ke kiri, kanan dan belakang, tapi tak kutemui wajah tampan yang selalu menyebalkan itu.
"Namira, ada apa?"
Aku tak bisa menyembunyikan ekspresi panik ketika mendapat pesan dari Emil, dan pasti itu membuat Patricia merasa khawatir.
"Oh, tidak. Bukan apa-apa."
'Ting.'
[Jangan berteman dengannya.]
Apa ini? Dia mengirimiku pesan lagi dan berisi sebuah larangan? Apa yang dimaksud adalah Patricia? Emil melarangku untuk berteman dengan Patricia? Tapi kenapa? Apa Emil mengenal Patricia? Atau, mereka pernah menjadi partner ranjang? What the f.u.ck. Kenapa aku berpikir terlalu jauh?
^^^[Itu bukan urusanmu, Mr. Emil.]^^^
Balasku, lalu mengantongi kembali benda pipih itu ke dalam saku blazer setelah menonaktifkannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Diankeren
et dah bambang
2024-02-08
0
Diankeren
tisu sksi bisu hhaahhaay de
2024-02-08
0
Kadek Pinkponk
semakin seru..... satu capter terasa kurang
2022-05-31
0