Ponsel sebagai alasan

Hari pertama kerja membuatku sangat lelah dengan kesibukan yang cukup menguras pikiran, begitu banyak kesalahan pencatatan yang terdapat pada data-data sebelumnya yang ditinggalkan staf accounting terdahulu, dan aku harus memperbaiki itu semua dengan benar.

Jam istirahat makan siang membuatku lebih lelah lagi, tidak ada kantin di kantor tempatku bekerja, perusahaan ini memang terbilang baru berkembang, dan tidak terlalu besar. Kebanyakan para karyawan memesan makan siang mereka lewat online atau membawa bekal dari rumah. Dan itu mereka lakukan setidaknya satu jam yang lalu sebelum masuk jam makan siang untuk memesan makanan.

Aku yang belum mengerti aturan main pun terpaksa keluar dari kantor, membuang waktu istirahat melajukan mobil yang Emil berikan untuk mencari restoran terdekat, ah,,,, kalau begini terus rasanya gajiku hanya cukup untuk uang makan.

***

Aku duduk menunggu menu pesananan sambil memainkan ponsel berbalas pesan dengan Aretha yang berada di Indonesia, bertukar kabar dan bercerita banyak hal, ah,,,, Titaku sayang, bayi perempuan kecil itu nampak semakin lucu dan menggemaskan dengan bando minny mouse yang ia kenakan.

^^^[Dia sudah pandai merangkak!]^^^

Pesan balasan atas video singkat yang Aretha kirimkan.

Makan siangku datang, aku hanya bisa menghela nafas merindukan makanan Indonesia, terutama masakan ibu.

^^^[Lihatlah, bagaimana aku tidak semakin kurus, Aretha. Menu makanku seringkali seperti ini, tak setiap hari aku bisa menjumpai nasi.]^^^

Kukirim gambar menu makanku.

[Apa itu, aunty?]

^^^[sup bawang dan foie gras disajikan dengan sayuran.]^^^

[Wah, pasti lezat!]

^^^[Yah, lumayan, dari pada mati kelaparan.]^^^

[Baiklah, selamat makan. Kami merindukanmu,]

Kukirim emot cinta begitu banyak sebagai balasan, lalu mengantongi kembali benda pipih itu dan mulai menyantap menu makan siangku.

Sekitar 15 menit aku fokus pada makananku dan buru-buru menghabiskannya karena harus kembali ke kantor, dan saat aku mendongak mengangkat gelas berisi air putih untuk meneguknya, pandanganku tertuju ke depan, hampir saja air yang baru masuk mulut kusemburkan, tiba-tiba saja pria itu sudah duduk di sana dengan tiga pria lain dan seorang wanita, seksi. Tentu saja.

Menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Menertawakan? Mungkin, karena aku di sini duduk seorang diri tanpa sesiapa menemani. Tapi, sejak kapan dia ada di sana? Apa dia memperhatikanku sedari tadi? Oh, tentu saja tidak, memangnya siapa aku?

Sedikit gugup, itu yang kurasakan.

Okay, ini bukan kali pertama aku bertemu Emil di luar rumah, dan seperti biasa, bersikaplah tenang, lalu abaikan.

Kuraih tas jinjing yang berada di atas meja, lalu melangkah untuk segera pergi dari tempat ini, tiba-tiba saja stok udara terasa menipis, membuat dadaku terasa sesak.

"Apa makanannya enak, Sir? Aku harap kamu suka," begitu yang kudengar dari celoteh wanita berpakaian kurang bahan itu yang terus menatap dalam dengan sorot mata menggoda pada suamiku menggunakan bahasa Perancis. Hey, salahkah aku jika menyebutnya begitu? Suamiku, tapi memang benar, bukan? Dia suamiku walaupun hanya karena sebuah ikatan pernikahan kontrak.

"Apa kantormu di dekat sini?" langkahku yang melewatinya terhenti kala kudengar suara berat pemilik aroma bvlgary itu berbicara dengan bahasa Indonesia. Siapa lagi yang diajaknya bicara jika bukan aku? Bahkan ketiga pria dan seorang wanita seksi yang bersamanya itu menatap heran padanya yang berbicara menggunakan bahasa asing bagi mereka.

"Lumayan!" jawabku singkat lantas kembali melangkah cepat meninggalkannya. Ya Tuhan,,,, kenapa kau ciptakan hati yang begitu lemah bersarang pada tubuhku? Begitu saja sudah cukup membuatku berdebar. Ah, sial.

***

Kubuka pintu apartemen dengan malas, lelah, sumpah demi apapun sungguh aku sangat lelah. Hari pertama kerja sudah disuguhi pekerjaan yang menumpuk segunung, dan bahkan harus lembur selama 2 jam.

"Aahh,,,, tubuhku rasanya mau remuk!" kupukul pelan bahuku beberapa kali sambil menggeleng ke kiri dan kanan untuk melemaskan otot leher yang tegang. Belum lagi punggung, dan kakiku yang sepertinya kaku mati rasa.

Kulihat sekeliling, sepi, belum ada tanda-tanda tuan muda O'clan itu pulang, bahkan tadi saat aku masuk lampu dalam keadaan padam.

"Dia belum pulang," lirihku sedikit kecawa, kecewa? Selalu seperti itu, saat ia tak ada aku rindu dan ingin melihatnya, namun saat bertemu pertengkaran kami tak terelakkan. Well, apa itu namanya?

***

Pukul 9 malam, aku keluar dari kamar memeriksa keadaan rumah, tetap sama, sepi. Lalu aku melangkah menuju kamar tidurnya.

Tanganku terangkat untuk mengetuk daun pintu itu, tunggu, untuk apa aku melakukannya? Memastikan apa dia ada? Tapi untuk apa? Bahkan untuk menanyakan kabarnya saja itu terdengar menggelikan.

Ah, sudahlah. Pura-pura saja pinjam ponsel untuk menghubungi ponselku sendiri yang lupa kuletakkan di mana. Strategi, itu yang kulakukan untuk bersandiwara. Setidaknya aku tahu dia di kamar atau belum pulang.

Aku masuk ke dalam kamarku sendiri untuk meletakkan ponsel di bawah bantal, kemudian lari kembali keluar untuk mengetuk pintu kamarnya.

"Emil,,,, tok tok tok!"

Hening, tak ada jawaban.

"Emil,,,, tok tok tok!"

Kuulangi sampai beberapa kali dan tetap sama, tidak ada jawaban. Aku pun memberanikan diri memegang handle pintu lalu memutarnya.

'Klek!' tidak terkunci dan terbuka.

Kamar yang sangat berantakan, lampu yang dibiarkan menyala, celana yang tersangkut di atas sofa, kemeja kotor dan handuk basah tergeletak di atas tempat tidurnya. Okay, 11 12 dengan aku yang dulu saat hidup dalam asuhan ibu.

"Apa dia juga lembur? Atau sedang berpesta?" menyebalkan, rasanya aku ingin menangis menjalani hidup seperti ini.

Aku terdiam beberapa saat tanpa pergerakan, ingin membersihkan kamarnya namun aku takut akan terjadi kesalah pahaman. Yang nantinya justru akan memancing keributan.

Sudahlah, pergi dan abaikan.

Aku memutar badan untuk kembali keluar, namun langkahku terhenti ketika sepasang mataku menangkap satu figura kecil berisi foto pernikahan kami berdua yang diletakkan di atas nakas.

Apa? A-a ada foto pernikahan kami? Untuk apa dia menyimpannya? Tanganku terulur untuk meraih benda kecil itu sebelum akhirnya kedatangannya yang tiba-tiba membuatku terkejut seketika.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?"

D.AM.N

Aku terhenyak menyentuh dada merasakan jantung yang hampir saja melompat dari tempatnya.

"Emil,,,, kau mengagetkanku."

"Aku? Ini kamarku, dan kau di sini, apa yang kau lakukan? Apa kau,,,," ia menjeda.

"Melakukan sesuatu? Memasang kamera pengintai, misalnya."

"Diam, bang.sat! Untuk apa aku melakukan hal bodoh seperti itu,"

"Lantas apa yang kau lakukan?" Emil masuk, melempar jas yang tadi menggantung pada pundak dan berakhir di atas sofa bertumpuk dengan celana yang tergeletak sebelumnya.

"A-a aku,,,," gugup. Penyakit yang sulit tuk disembuhkan adalah merasa gugup.

Emil membuka dasi yang tadinya tersampir ke pundak, lantas membuka satu demi satu kancing kemejanya mulai dari kedua lengan dan berlanjut pada kancing bagian dada atas.

"Aku keluar!" seruku sambil berjingkat lari menghindari pemandangan yang sebentar lagi akan memanjakan mata jika aku tetap berada di sini.

"Aahh!" namun dengan cepat Emil meraih lenganku, mencengkeramnya kuat membuatku menjerit panik, kaget lebih tepatnya.

"Emil, lepaskan!"

"Kau belum menjawabku, Nami. Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau,,,," matanya menatapku begitu dalam, membuatku risih karena ia menelisik penampilanku dari ujung kaki hingga kepala. Ralat, darahku berdesir hebat hanya dengan tatapannya.

"Merindukanku?" lanjut Emil tersenyum smirk.

Kudorong kuat dadanya setelah berhasil menepis genggaman tangannya pada lenganku.

"Berhenti berpikiran kotor, Emil. Dasar breng.sek. Aku kemari untuk," 'Memastikan apa kau sudah pulang? Aku rindu.'

"Untuk meminta bantuan, aku lupa menaruh ponselku di mana. Jadi aku mencarimu untuk meminjam ponsel untuk menghubungi nomorku, hanya itu, aku juga sudah mengetuk pintu berkali-kali tadi, tapi tak ada jawaban, jadi untuk memastikan, aku terpaksa membuka pintu dan masuk kamarmu." ucapku menggebu dengan cepat hampir tanpa jeda. Sial, jantungku semakin berdegup kencang.

Emil tersenyum sinis. Sebuah senyuman, merendahkan? Ya Tuhan,,,, bolehkah aku meninju rahangnya yang seksi itu?

"Keluar!" ia mendorong tubuhku keluar dari kamarnya, lalu menutup kembali pintu dengan rapat, aku hanya bisa pasrah menahan kesal mendapat perlakuannya yang menyebalkan.

Bibirku bergerak hampir mengumpat dengan genggaman tangan kanan yang siap meninjunya, sampai pintu itu tiba-tiba kembali terbuka.

'Klek!'

Kaget bukan kepalang.

"Ini!"

"Aahh!"

Emil melempar ponselnya yang untung saja dengan tangkas kutangkap benda pipih itu hingga tak sampai jatuh membentur lantai.

'Ck.'

"Iblis sialan!" gerutuku kesal kembali melangkah ke kamar membawa gawainya.

***

Terpopuler

Comments

Diankeren

Diankeren

xixixixi

2024-02-08

0

Kadek Pinkponk

Kadek Pinkponk

wah bkin gemes

2022-05-30

0

𝕸y💞Alrilla Prameswari

𝕸y💞Alrilla Prameswari

wkwkwk kalo cinta bilang dong nami and emil 😂😂😂❤❤❤🌹🌹🌹

2022-05-30

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!