Aku masuk ke dalam kamar sambil memegangi jantung yang masih terasa berdebar, sisa keterjutanku akan datangnya Emil yang tiba-tiba. Hampir saja membuatku malu sampai dasar tanah. Bodoh, untuk apa pula aku mencarinya sampai masuk ke dalam kamarnya? Mengkhawatirkannya? Merindukannya? Sungguh bodoh, bodoh, bodoh. Tanganku memukul pelan kepalaku sendiri beberapa kali merutuki kebodohan yang baru saja kulakukan.
Kutarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Satu kali, dua kali. Tenang, just relax, Namira.
Kulihat ponsel Emil yang kini berada di tanganku, aku tersenyum sinis. Untuk apa aku membawa benda ini? Melanjutkan sandiwara yang tadi kucipta? Tunggu, mungkin ada sedikit hiburan yang bisa kudapatkan dengan melihat galery atau aplikasi pesannya. Tapi, bukankah itu namanya memasuki ranah privasi seseorang? Apalagi aku ingat betul poin pertama perjanjian kita adalah tidak boleh ikut campur urusan pribadi pasangan.
Aku duduk di tepi ranjang, mengamati benda pipih kesukaan berjuta umat milik Emil. Buka, tidak. Buka, tidak. Pikiranku berperang antara Ying dan yang, Ah, buka sajalah, lagi pula mana dia tahu.
Saat kugeser layar, screen itu menunjukkan sandi angka sebagai kunci utama.
"Aiiisshh,,,, sial. Kalau ponselnya dikunci? Kenapa dikasih? Memangnya aku mau buka pakai apa? Kunci Inggris? Ck, dasar."
Aku berdecak kesal, dia memberikanku ponselnya tanpa memberitahu sandinya.
"Drrttt,,, drrtt,,,,"
"Woh!"
Aku terkesiap, satu panggilan masuk dan itu berasal dari nama yang sudah cukup familiar bagiku, Sexyola.
"Angkat, tidak. Angkat, tidak." lagi, perlu banyak pertimbangan sebelum memutuskan.
Aku masih dilanda kebingungan sampai getar ponsel itu berhenti menandakan panggilan tak berlanjut.
'Ping!'
Satu pesan masuk dan dari atas notif bisa terbaca meski ponsel dalam keadaan terkunci. Ternyata dia tidak mengunci applikasi pesannya.
[Aku berangkat duluan Emil, kita bertemu di sana,,,,] begitu yang kupahami atas isi pesan singkat dari Sexyola yang menggunakan bahasa Perancis. Oh, jangan lupakan emot kiss di akhir pesan.
Aku mencebik, dasar ja.lang. Bahkan meski dia tahu Emil sudah menikah, tetap saja mengejarnya. Emil juga sama saja. Dasar pria Bastard, setiap harinya ia habiskan hanya untuk bersenang-senang dengan para ja.lang.
'Klek.'
Jantungku hampir mencolos kala pintu kamarku terbuka tiba-tiba.
"Sudah selesai?" tanya Emil datar sambil melangkah masuk ke kamarku, tanpa permisi dariku, ia berjalan menghampiriku yang duduk di tepian ranjang, sedikit terkesiap karena terekjut dan, bengong.
Aku terbengong melihat penampilannya, dia nampak sangat berbeda, Emil yang tinggi, tegap, berotot dan bertubuh atletis, malam ini tampak lebih tampan, dan seksi menggunakan setelan jas hitam yang rapi. Aroma bvlgary dari tubuhnya membuatku hampir kehilangan akal.
Tanpa kata Emil merebut ponselnya yang berada dalam genggamanku. Ia lantas melihatnya, memainkan jari jempol pada screen ponselnya.
"Kau belum menghubungi ponselmu?"
"Hah?" kesadaranku belum sepenuhnya terkumpul, terkesima oleh penampilannya. Ya Tuhan,,,, Emil terlewat tampan, seperti dewa Yunani yang turun dari kayangan.
Bagaimana jika malam ini dia benar akan berkencan dengan Sexyola? Membayangkan betapa panas permainan mereka membuatku merasa? Sakit. Mungkin seperti ini gambarannya.
"Ponsel, Nami!" ucapnya tegas sembari membangunkanku dari khayalan yang cukup menyakitkan.
"Aahh,,, iya ya ya ya," aku mengangguk, lalu menggeleng cepat menyadari kebodohanku, bagaimana aku bisa lupa jika aku bahkan tidak sempat membuka ponselnya.
"Aah,,,, tidak tidak tidak, m-maksudku, aku belum menghubungi ponselku, aku tidak bisa membuka kunci sandinya, jadi,"
"Jadi kau hanya memegangnya saja dan membaca pesan-pesanku yang ada di notifikasi atas?"
"Tidak," aku langsung berdiri tegap, tak terima dengan tuduhannya. Yah, meski aku melakukannya, tapi aku tidak sengaja.
Kualihkan pandanganku karena Emil menatapku dengan sorot menelisik.
"Tidak percaya tidak apa, aku hanya tidak sengaja membacanya, lagi pula, kau harus pergi, kan? Pergi saja. Atau kau bisa terlambat menghadiri pesta sek.s bebasmu itu," kesal, aku sadar aku sedang kesal, mungkin karena pesan dari Sexyola dan bayangan percinta.an panas mereka, tapi kenapa aku harus menunjukkannya?
"Nami!" geram Emil terdengar tak terima aku mengatainya demikian, bukankah itu kenyataan? Memangnya apa lagi yang seorang Emil Cornelius O'clan lakukan bersama wanita-wanita seksi sampai larut malam.
"Jangan lupa bersihkan tubuhmu dengan benar, Emil, aku tidak ingin tinggal bersama orang yang menjangkitkan penyakit menular,"
"Emmpphh!"
Hukuman, itu yang mungkin Emil berikan padaku atas lancangnya mulutku barusan.
"Emil,,,, Plak!" Kutampar keras pipinya sebagai balasan atas tindakan Emil yang Kunilai keterlaluan, ia menciumku begitu saja, bahkan sempat memberikan lu.matan sampai aku berhasil mendorong dadanya dan memberikannya pelajaran. Ciuman pertama kami setelah kami menikah selama satu bulan.
"Lancang! Kau anggap apa aku ini, hah? Berhenti memperlakukanku seperti ini, aku bukan wanita ja.lang yang bisa kau permainkan. Sekarang keluar, aku tidak mau melihatmu, aku tidak mau bertemu denganmu, dasar bajingan!" aku berteriak sangat kencang sembari mendorong tubuhnya keluar dari kamarku, lalu menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
Aku menangis, air mataku luruh begitu saja, entah mengapa hatiku terasa begitu sakit menerima ciuman itu dari Emil, meski kurasakan jantungku yang berdebar namun lara hatiku nyatanya lebih besar.
Ada penghinaan yang kurasakan di sana. Seolah Emil ingin mengatakan bahwa apa bedanya aku dengan para wanita ja.lang yang ku teriakkan, sedangkan dia pun begitu mudahnya dapat menyentuh diriku.
Ya Tuhan,,,, aku bisa gila jika terus memikirkan itu, memikirkan seberapa rendah harga diriku di mata Emil, yang sudah terlanjur menganggapku sebagai wanita murahan.
"Hiks hiks hiks...." aku duduk bersimpuh di depan pintu kamar yang tertutup rapat dan terkunci. Meratapi nasib hidup yang terasa begitu perih, menikahi pria yang tak menganggapku ada, menikahi pria yang sebenarnya kucintai tapi hanya menganggapku wanita murah. Aku merasa lemah dan mungkin tidak akan kuat untuk bertahan.
Haruskah aku menyerah? Tidak, semua akan usai sebentar lagi, setidaknya, dua bulan lagi, aku harus bertahan sampai hari kebebasan itu tiba.
Aku mengusap air mataku cepat kala mendengar ponselku berdering. Emil. Kenapa dia menghubungiku?
Satu kali panggilan kuabaikan namun benda pipih itu setia dalam genggaman dan aku masih memperhatikannya penuh. Hingga dering kedua, dan aku memilih untuk mengangkatnya.
[Halo!]
'Tut,,, Tut,,, Tut,,,'
Sambungan dimatikan, aku mengernyit heran, apa maksudnya? Kenapa dia menghubungiku dan setelah aku mengangkatnya malah segera dimatikan? Apa dia hanya ingin mempermainkanku?
"Ting!"
Satu pesan masuk.
[Hanya memastikan jika ponselmu sudah kau temukan.]
S.hi.t, bagaimana aku bisa lupa? Tentu dia menghubungi hanya untuk membantuku mencari di mana keberadaan ponselku yang tadi kukatakan hilang karena lupa menaruhnya.
^^^[Yeah, thanks!]^^^
Balasku, singkat.
***
Malamku yang hening terasa sepi nan mencekam. Aku kesepian, sendirian, di negeri orang, tanpa sesiapa yang kukenal, tanpa memiliki seorang teman.
Aku merindukan rumahku, kamarku, bantal dan gulingku, serta suara bising ibu yang setiap pagi meneriakiku.
Aku rindu Aretha dan Tita, gelak tawa mereka, tangisnya, juga kelucuannya. Aku juga merindukan teman-teman kantorku, cerita seru kami yang membahas pria-pria tampan, atau sekedar berghibah ria membicarakan staf perusahan yang terlibat skandal, aku rindu semua itu, ayah,,,, ibu,,,,
Aku terisak dalam kesendirian, duduk bersandar pada dinding pembatas balkon, sambil menekuk kedua kaki dan wajah yang kutenggelamkan di antara kedua lutut.
"Ayah,,,, aku merindukan kalian,,,," lirihku dalam bersahut isakan.
'Klek, BRAK!'
Suara pintu yang dibuka lalu dibanting keras itu mengagetkanku. Hingga aku lekas mendongak, sepertinya Emil sudah pulang, kulirik jam di ponsel. Pukul 2 pagi. Ya Tuhan,,,, aku sendiri tidak tidur dan hanya menangis saja sedari tadi? Pasti sebentar lagi aku benar-benar bisa gila jika terus mengajalani hidup dalam tekanan.
Aku lekas aku masuk ke dalam kamar lalu berkaca, s.hi.t, wajahku terlihat sangat buruk, benar-benar buruk, mata merah yang bengkak, wajah sembab dan bibir yang seperti lebam. Ya Tuhan,,,,
Ini tidak boleh dibiarkan, masih ada sisa dua bulan untuk terus berjuang, fighting Namira, berjuang.
Aku berhambur ke dalam kamar mandi untuk membasuh muka, lalu keluar dan memakai masker berharap esok hari saat bangun tidur wajahku sudah kembali segar. Tak lupa minum air putih agar aku lebih tenang.
Well.... Selamat malam.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Nena Anwar
itulah resikonya menikah dengan cassanova, sabar Namira kuatkan dirimu 😥😥😥
2022-05-30
0
Citra Regina Andola
semoga namira bertemu jodoh yg bener2 menerima dia apadanya
2022-05-30
0
𝓡𝓲𝓷𝓳𝓪 🌼
Namira malang nian nasibmu 🙈
2022-05-30
0