Hari pertama kerja

Layar ponsel terus kugeser naik turun melihat-lihat laman lowongan pekerjaan, sudah sebulan lebih aku tinggal di kota asing ini tanpa melakukan apa pun yang berarti, hanya rebahan, makan, jalan, belanja, dan sedikit minum saat malam, dan setelah kupikir-pikir, tidak mungkin bukan jika aku hanya akan mengandalkan uang nafkah yang Emil berikan padaku terus menerus? Sedang aku harus memikirkan masa depanku dan memiliki tabungan. Maka kuputuskan untuk mencari pekerjaan.

Sebenarnya mudah saja bagiku mendapatkan pekerjaan jika saja aku bersedia bekerja di perusahaan O'clan yang di pimpin Emil di Paris, sebuah perusahan yang bergerak pada dunia fashion. Tapi aku tak ingin menjadi bonekanya yang dapat ia kendalikan, dengan bekerja di bawah kepemimpinannya pasti membuatku sesak harus selalu bertemu dengannya dan melihat dirinya bermain gila dengan para ja.lang yang biasa dia lakukan.

Bekerja di tempat lain pasti lebih menyenangkan, meminimal kemungkinan bertemu dengan si brengsek itu dan menikmati hidup bebas yang mendiri, meski yang sebenarnya kurasa adalah sepi, yah, aku kesepian, hidup di negeri orang tanpa memiliki teman dan sesiapa yang kukenal. Itu seperti kau adalah makhluk asing yang berasal dari dunia lain tak kasat mata.

Kopi hitam yang mulai hilang kehangatannya itu kusruput untuk terakhir kali sebelum aku berdiri meninggalkan Cafe out door yang menjadi tempatku berlangganan.

Kutemukan sebuah lowongan di salah satu perusahan make up sebagai seorang accounting, dan itu cocok dengan pengalamanku yang pernah bekerja di perusahaan O'clan sebelumnya sebagai staf keuangan. Setelah beberapa kali melamar dan penolakan yang kudapat, akhirnya aku kembali mendapat satu kesempatan.

Lagi-lagi bahasa menjadi kendala utama, karena pelafalan bahasa Perancis ku buruk meski aku dapat memahami apa yang mereka katakan, dan untunglah, perusahaan ini tidak menuntut kesempurnaan dari kekuranganku itu, aku diterima setelah wawancara menggunakan bahasa Inggris.

Tunggu, bukankah ini sedikit aneh? Aku baru saja menyerahkan lamaran pekerjaan, langsung diwawancara dan diterima. Luar biasa, apakah ini sebuah keberuntungan?

"Kami sedang sangat membutuhkan karyawan untuk segera bisa menempati posisi ini, dan kami senang melihat pengalaman serta kinerja anda, selamat bergabung," ucap seorang wanita bagian HRD yang mewawancaraiku sambil memberikanku tes ringan untuk mengoperasikan Microsoft Power point'.

"Thankyou," kami saling berjabat tangan sambil mengembangkan senyum sebelum akhirnya kulangkahkan kaki keluar dari ruangannya.

Aku berhasil mendapat pekerjaan, bukan lagi seorang pengangguran yang hidup dari belas kasihan orang yang memberikanku nafkah karena ikatan sebuah pernikahan, kontrak.

'Huffftt,,,,' menghela nafas kasar.

***

Minum memang menjadi kebiasaan yang sulit tuk kuhilangkan, apalagi merasa senang seperti sekarang, aku butuh sedikit minum untuk merayakannya, yah, meski sedih pun pelarianku juga pada minuman. Karena hanya itu yang mampu membuatku merasa tenang.

Kunikmati sebotol bir yang tadi kubeli di supermarket dekat apartemen, dari tempatku berdiri bisa kulihat dengan jelas pemandangan megah kota Paris yang nampak mewah di malam hari, dan sebuah menara yang sangat terkenal berdiri tinggi menjulang di kejauhan sana menjadi pemandangan yang tak bosan untuk kunikmati.

Menara Eiffel, siapa yang tidak tahu akan salah satu keajaiban dunia yang terkenal dengan sejarah dan kisah romantisnya ini?. Tidak, sebenarnya menara Eiffel adalah simbol puncak kejayaan.

Ah,,,, ada rasa ingin berkunjung ke sana lalu bersua foto, seperti para pasangan kekasih yang berciuman di bawah menara Eiffel untuk menjadi bukti pengabadian cinta mereka. Itu pasti sangat romantis. Bodoh, satu bulan lebih aku tinggal di kota ini dan enggan pergi ke sana karena aku hanyalah seorang wanita yang kesepian.

"Tok tok!"

Seseorang mengetuk pintu kamar dari luar, siapa lagi jika bukan Emil pelakunya. Aku hanya berseru masuk tanpa berniat membukakan pintu, dan pintu kamar segera terbuka menampakkan sosok pria tampan beraroma bvlgary itu yang pernah sangat kucintai, yah, mungkin sampai saat ini aku masih mencintainya andai aku tak memikirkan tentang harga diri. Harga diri yang sudah diinjak-injaknya begitu tega.

Emil mengambil paksa botol minumanku dalam genggaman, membuatku tersentak dan hanya dapat menahan amarah saat ia menenggak habis sisa alkohol di dalam sana.

"Aaahh,,,," desahnya lalu mengusap mulutnya yang sedikit basah.

Kualihkan pandangan tak ingin membuat hatiku berdebar-debar tidak karuan karena perasaan ini yah sungguh sangat menyiksa.

"Apa lagi sekarang?" tanyaku tak ingin berbasa-basi. Selama ini dia hanya menemuiku jika dia membutuhkan sesuatu. Seperti,,,, ingin merengkuh pinggangku, misalnya, dan jurus jaihtsu kukeluarkan untuk menendang pusakanya, cukup membuatnya jerah dan tak lagi berani menyentuhku.

"Tidak ada, aku hanya ingin datang," kutatap dalam kedua manik hazel itu lalu kembali melihat pemandangan di kejauhan.

"Minum? Aku yang traktir." tawar Emil. Siapa yang tidak tahu jalan pikirnya, dia pasti berpikir jika aku akan menyerahkan diriku saat aku mabuk. Haaah,,,, lupakan, aku tidak ingin kembali terjebak dalam permainannya.

Aku tersenyum sinis, sejak kapan dia memiliki tujuan baik? Bahkan sejak pertama kali dia mendekatiku dulu demi mendapat informasi tentang Aretha, dan malah menjerumus ke dalam hubungan pemuasan naf.su belaka.

"Tidak, terimakasih. Aku ingin tidur cepat karena besok aku mulai bekerja, jadi silahkan keluar dari kamarku dan biarkan aku beristirahat dengan tenang."

"Kerja?"

Aku mengangguk sambil melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Emil yang menatapku heran dari arah balkon.

"Kau bekerja? Di mana?" tanya Emil mengikuti langkahku, menutup pintu kaca lalu merapikan tirai putih sebelum ia berhenti di dekatku yang bersiap ke kamar mandi untuk melakukan ritual malam sebelum tidur.

"Aku tidak ingin mengatakannya, itu urusan pribadiku, keluarlah, dan jangan melupakan poin pertama pada berkas perjanjian kita." Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, meninggalkannya yang nampak tidak suka, biar saja. Toh selama ini aku juga tidak pernah ikut campur urusan pribadinya meski itu membuatku setengah mati tersiksa.

"Apa kau sudah tidak mencintaiku, Nami?"

"DEG."

Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar mandi, apa ada bedanya jika aku mengatakan yang sebenarnya? Dia hanya akan menekankanku menggunakan alasan cinta itu untuk menyentuh tubuhku, sedang dirinya sendiri tak sedikitpun memiliki cinta di hatinya untukku. Bukankah selalu seperti itu selama ini? Yang dilakukannya padaku? Hanya sebagai pemuas naf.su.

"Kau tahu jawabannya!"

Aku lekas menutup pintu rapat, lalu menguncinya dari dalam, tiba-tiba saja mataku basah karena buliran bening itu datang tak tertahan mengiringi hati yang perih karena rasa cinta. Lebih tepatnya, cinta tak berbalas.

***

Lagi-lagi aku kesiangan, kini aku harus hidup mandiri tanpa ada ibu yang berteriak membangunkanku di pagi hari, dan kebiasaanku satu bulan ini yang bangun pagi saat jam 9 membuatku cukup sulit bisa bangun pada jam 6.

'Bugh!'

"Aahh!"

Aku dan Emil yang sama-sama baru keluar dari kamar bertabrakan karena aku yang gugup takut terlambat hari pertama masuk kerja.

"Emil!" teriakku kesal. Pria itu nampak baru bangun tidur, menggaruk kepala dan sesekali menguap, matanya masih enggan terbuka dan apa yang dia kenakan? Hanya sebuah kolor pendek tanpa menggunakan atasan.

Oh Tuhan,,,, otot perutnya yang kotak-kotak menjadi ujian berat pagi hariku, ingatkan aku jika dia adalah pria yang telah menyakitiku begitu dalam, jangan sampai aku tergoda oleh keindahan tubuhnya lalu kembali jatuh pada lubang yang sama.

"Bisakah kau memakai pakaian yang benar saat keluar dari kamar?" mataku sangat berdosa karena sulit sekali mengalihkan pandangan dari se.langkangannya, cobra miliknya yang besar dan panjang menyembul di balik celana pendek itu. Pasti saat ini junior kesayangan sedang dalam keadaan terbangun, bukankah semua pria seperti itu?

"Minggir," Emil menggeser tubuhku dengan gerakan kasar, menyadarkanku akan kebodohan menikmati vitamin mata. Aku mendengkus kesal dan membaca mantra tanpa terdengar telinganya. Umpatan tak hentinya kulafalkan sebagai doa.

Emil melangkah ke dapur mengambil air putih dan meminumnya, kulirik dalam kamarnya yang nampak jelas karena pintu kamarnya yang ia biarkan terbuka.

"Ya Tuhan,,,, tisu-tisu itu lagi, sama sekali tak berubah, dasar ayah jahanam, begitu tega membuang anak-anak yang mungkin saja akan menjadi para sultan."

"Berhenti menggerutu dan cepatlah pergi jika kau tidak ingin terlambat!" celoteh Emil yang mendengar ocehanku melihat keadaan dalam kamarnya.

Sial, kenapa aku bisa sampai lupa jika ini adalah hari pertamaku bekerja, aku kembali tergesa melangkah keluar dari apartemen menuju kantor berharap tidak melakukan kesalahan dengan terlambat datang di hari pertama. Atau mereka akan menendangku dan aku kembali menjadi pengangguran yang mengenaskan.

***

Terpopuler

Comments

martina melati

martina melati

minum apa y... wiski? beer?

2025-02-11

0

Erlin Novianti Ahmad

Erlin Novianti Ahmad

ngakak part ini benar2 menghibur

2022-07-18

0

Hisyam Ainur

Hisyam Ainur

jangan2 emil main solo, mangkanya tisunya bertebaran dmn mn 🤣🤣🤣🤣🤣

2022-05-30

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!